Udara Roma siang itu sangat hangat. Orang orang lebih suka menghabiskan waktu mereka dengan berbincang ringan di sebuah Cafe atau menikmati angin pantai dengan keluarganya.
Sebuah Alfa Romeo Giulia berwarna merah melesat melintasi jalanan Via Venti Settembre. Mobil mewah keluaran terbaru ini tampak cantik melenggok dikemudikan pria muda berperawakan tinggi dan berwajah tampan itu. Tampak sekali dia sangat handal membawa kendaraan dengan semburan 480 tenaga kuda itu menuju D'Angelo Gastronomia Caffe.
Rayhan tersenyum simpul ketika melihat mobil itu mendekat dan berhenti tepat di hadapannya. Senyum lebar Aldi tersungging saat dia membuka jendela mobil barunya. “Kau pergi ke Italia untuk mendapatkan ini, bukan? aku seharusnya sudah tahu,” celetuk Rayhan.
“Ayolah...Ayo jalan.” Aldi merajuk seperti anak kecil yang ingin ditemani bermain.
“Aku senang di sini, terima kasih,” tolak Rayhan yang sangat faham bagaimana kebiasaan sahabatnya itu mengendarai mobil-mobil sport nya.
Aldi tetap ngotot membujuk sahabatnya. “Ayo, Rayhan, kita cari cafe lain untuk ngobrol dan minum-minum juga membeli beberapa oleh-oleh sebelum kembali ke Indonesia. Disini terlalu ramai."
Aldi berkilah dengan alasan yang tak masuk akal, bukankah cafe yang rame artinya bagus, batin Rayhan hanya saja sebelum pengunjung lain mengusir mereka karena suara mesin mobil Aldi yang sangat kencang, Rayhan pun terpaksa menyetujuinya, “Tapi jangan dibawa ngebut ya,” pinta Rayhan sambil membuka pintu mobil baru Aldi.
Aldi hanya tersenyum kecil menanggapinya. “Jangan khawatir.” Cetus Aldi.
Rayhan langsung protes pada Aldi. “Kau bangun lebih awal dan melakukan hal-hal yang kau inginkan. Kita di Italia. Dengan persetujuan mu, mari kita lakukan beberapa hal yang aku inginkan juga,” Aldi menjawab celotehan Rayhan dengan satu injakan di pedal mobil yang langsung membawa mereka pada kecepatan 80km/jam.
“Aldi!” Teriak Rayhan hampir tak terdengar diantara raungan mobil Aldi.
***
Di sudut lain kota Roma, di sebuah gedung pertemuan dokter pediatric internasional. Seorang dokter muda cantik berdiri menjadi pembicara program pengobatan gagal ginjal pada anak-anak yang dicanangkan beberapa tahun belakangan ini. Wanita itu bernama Sasha, keuletan Sasha atas berbagai permasalahan penyakit yang banyak diderita anak-anak, telah membawanya ke Italia, ini adalah hari terakhir Sasha bertugas.
Linda, sahabatnya menghampiri Sasha untuk memberikan ucapan selamat. Selain itu Linda juga mempunyai misi supaya Sasha mau bergabung di tempatnya bekerja. Ini adalah usaha Linda yang entah ke berapa kalinya. Linda tidak akan berhenti sampai sahabatnya mau pindah kerja.
“Bagaimana tadi?” Tanya Sasha pada Linda.
Linda memuji penampilan Sasha, “Sangat sempurna!”
“Betulkah?”
“Itu sangat bagus. Sha, lihat. Aku harus memberitahumu ini. Kepala dokter kami mengatakan kepadaku untuk tidak kembali tanpamu,” Linda kembali membujuk Sasha agar mau bekerja di tempatnya.
“Aku menyukainya, tolong sampaikan salamku. Tapi itu tidak mungkin.” jawab Shasa.
“Betapa keras kepalanya kau,” dengus Linda sambil menyesap minuman di gelasnya.
Sasha langsung memberikan alasanya tidak mau bergabung dengan Linda. “Aku tidak bisa meninggalkan anak-anak aku ... aku masih menulis tesis aku, belum selesai.”
“Kau bisa menulis tesis mu bersama kami juga,” tampaknya Linda tidak menyerah begitu saja.
Shasa bersikeras dengan keputusan nya. “Aku bisa menulis tesis aku tapi anak-anak membutuhkan aku, Lin.”
“BAIK! Kita akan bekerja sama,” Linda memasang wajah cemberut.
“Jangan marah! apa yang kamu kerjakan hari ini?
Mengapa kau tidak ikut dengan aku?” Sasha berusaha mengalihkan arah pembicaraan mereka.
“Aku berhutang kepada tim. Kita akan makan siang. Apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Linda.
“Pertama, aku akan berganti pakaian. Lalu aku pikir aku akan berbelanja dan….”
“Oke. Sampai jumpa di bandara…” Linda langsung memotong ucapan sahabatnya yang keras kepala.
Sore itu Sasha memutuskan untuk menghabiskan waktu di pusat pertokoan di Via Bocca de Leone sekedar membelikan orang rumah oleh-oleh. Iseng-iseng dia masuk ke sebuah toko buku dan menemukan buku berjudul Toy’s for Boy’s yang berisi gambar gambar mobil mewah terkini beserta ulasannya yang sangat lengkap. Sasha tersenyum kecil dia yakin Emir suaminya akan menyukai buku itu. Emir yang selama ini hanya mengelola bengkel mobil kecil miliknya bersama dua sahabatnya Indra dan Gery, selalu bercita-cita mendesain sebuah mobil mewah yang terjangkau harganya. Segera Sasha ambil ponsel lalu menelepon pria tercintanya. “Halo, Emir. Apa kabar?”
“Aku baik-baik saja, sayang. Bagaimana denganmu?” dari seberang sana suara Emir terdengar bahagia karena Sasha menghubunginya.
“Aku juga baik-baik saja. Aku akan segera menuju bandara….Sebentar Emir tahan…” Sasha terjebak di pintu putar toko buku. Aldi dan Rayhan bermaksud masuk ke dalam bersamaan dengan Sasha yang hendak keluar toko.
“Rayhan, kau belum pernah melihat pintu seperti ini sebelumnya, kan?” Ejek Aldi.
Sasha tertawa mendengar pembicaraan mereka, “Emir, kau tidak akan percaya ini. Tiga orang Indonesia terjebak di pintu putar di Italia! Luar biasa.” Sasha bergegas keluar meneruskan belanjanya. Sedangkan Aldi berjalan ke sebuah rak dimana dia yakin menemukan buku yang bagus sebelumnya. Anehnya buku itu sekarang tidak ada. Aldi memutuskan bertanya pada pelayan toko.
“Excuse me..i’m looking for book Toys for Boy’s?”
“I remembered we only have one left, maybe it sold.”
“Thank you…”
“Ayo pergi, aku kelaparan,” kata Rayhan. Mata Aldi malah tertuju pada sebuah pena yang dipajang di etalase toko lalu memerintahkan pegawai toko membawanya ke kasir karena dia berniat membelinya. “Wah lihat harga segitu. Bagaimana kau bisa membayar begitu banyak uang untuk sebuah pena? kau gila!” Rayhan tak habis pikir dengan selera sahabat nya ini.
Aldi dengan enteng menjawab. “Rayhan, seperti yang kamu tahu peradaban dimulai dengan menulis.”
Di Luar toko, Sasha segera memberi kabar suaminya tentang oleh oleh yang dia belikan. “Ingat buku tentang mobil yang kamu cari cari? aku telah menemukan di sini.” Ujar Sasha.
“Tidak mungkin, kau tidak membelinya, bukan? Buku itu pasti mahal, jangan dibeli,” sahut Emir.
Sasha tidak menggubris perkataan Emir. “Sayang, aku sudah dapatkan oleh oleh untuk ibu, tapi apa yang harus aku beli untuk Joyce? bantu aku.” Sasha meminta pendapat Emir tentang apa yang harus dia belikan untuk adik perempuan Emir.
“Bagaimana mungkin aku mengetahuinya. Kamu lebih tahu.” Jawab Emir. “Aku kira beberapa pakaian.”
“Oke, aku akan menemukan sesuatu aku akan meneleponmu sebelum berangkat. Emir, aku sangat merindukanmu.”
“Aku juga sayang. Hati hati. Aku cinta kamu. Selamat tinggal.”
Bersambung...
Emir meletakkan ponsel selepas Sasha meneleponnya. Begitu rindunya Emir pada wanita yang selama ini selalu setia menemaninya. Meskipun Emir merasa sebagai laki-laki dia belum bisa membahagiakan Sasha, dia hanya memiliki Kaz Speed bengkel yang sebenarnya tidak terlalu menguntungkan, akan tetapi Sasha selalu menerima Emir apa adanya. Juga tulus mencintai ibu dan Joyce, adik perempuan Emir.“Emir, kamu datang lebih awal?” suara Indra membuyarkan lamunan Emir.“Pikiranku sibuk dengan sesuatu yang sedang aku kerjakan,” jawab Emir sambil kembali fokus pada layar monitor di hadapannya.“Tapi kau tidak di sini sepanjang malam, kan?” nada suara Indra sangat mengkhawatirkan Emir.“Aku….”
Sebelum meninggalkan Kevin bekerja, Dea sempat mengobrol sedikit dengan bibi Ema. Wanita setengah baya yang mengasuh Kevin dari kecil ini berpamitan pada Dea karena dia harus pindah ke Bogor untuk mengurus cucunya. Sebenarnya Dea masih sangat membutuhkan bantuan bibi Ema. Dia sudah sangat percaya bahwa bibi Ema hafal karakter Kevin karena mengasuhnya dari kecil. “Kapan kamu pergi, Ema?” “Jika terserah aku aku tidak akan pernah pergi. Tapi anakku memanggilku. Aku tidak bisa mengatakan tidak. Dia akan segera melahirkan,” jawab Ema. “Kamu benar. Aku sudah terbiasa dengan si kecil ini.” Ema terlihat sangat berat meninggalkan mereka. “Apa yang bisa kita lakukan? Kami akan menemukan jalan untuk mengatur hal-hal dalam beberapa hari berikutnya.” Dea begitu berat melepaskan bibi Ema. Tapi dia juga tidak bisa b
"Aldi, bagaimana bisa kau bisa mengeluarkan uang sebesar itu untuk sebuah pena?” tanya Rayhan sambil melirik MonteGrappa di tangan Aldi yang baru saja dia pakai untuk menandatangani tagihan RS. “ Dimana Sasha?” lanjut Rayhan saat tersadar kalau pena Aldi telanjang karena body nya masih dipegang Sasha saat menolongnya untuk bernafas.“Aku akan mencarinya,” kata Aldi “Simpan ini, jaga-jaga kau terlalu banyak bicara.” Sambil tertawa, Aldi memberikan penanya pada Rayhan.Di Luar ruangan Aldi melihat Sasha seperti kebingungan karena gagal mendapatkan penerbangan buat hari itu. Berkali-kali Sasha menelepon maskapai penerbangan, mencari jadwal hari ini, tapi selalu gagal. Dia langsung menghampirinya untuk menawarkan bantuan. “Aku sungguh minta maaf, kau ketinggalan pesawat gar
Sebelum pesawat lepas landas, ponsel Sasha kembali berbunyi. Alvin kembali menghubunginya berkenaan dengan Diva, pasien kecil Sasha yang menderita kelainan ginjal. Menurut Alvin, demam Diva sudah diatas normal hingga 41 derajat dan mengharuskan dia diselimuti selimut dingin. Sasha menyuruh Alvin mencari luka di tubuh Diva dan membuangnya.Setelah selesai memberi pengarahan pada Alvin. Sasha menghubungi Emir dan mengabarkan berita gembira bahwa dia akan pulang hari itu juga.“Aku harap itu tidak mendesak.” Rayhan berkomentar setelah Sasha menutup teleponnya.“Semoga kita tidak terlambat,” cetus Sasha dengan wajah yang sangat khawatir.***Disaat Aldi sedang dalam perjalanan menuju Indonesia. Agus, sebagai orang kepercayaan keluarga Erlangga, dia mencoba meyakinkan klien besar nya untuk bersedia bertemu dengan Tn Farouk sebagai ketidakhadiran Aldi. Untung saja hari itu Mr. William menerima kehadiran Tn Farouk dan negosiasi pun berjalan
Makan malam yang sudah dipersiapkan Aisya untuk anaknya telah terhidang di atas meja. Sementara itu di ruangan lain, Fatima sibuk bertanya pada Joice darimana dia bisa mendapatkan uang untuk membeli tas barunya. Sasha yang tidak langsung ke rumah tapi malah pergi ke RS melihat kondisi Diva, kembali menelepon Emir, menyuruh dan ibunya nya agar makan malam duluan karena Sasha masih harus memastikan keadaan Diva baik-baik saja.“Aku mengerti, akung...Tapi hanya karena kau datang, mereka telah melakukan banyak persiapan...itu tidak sopan.”“Apa yang terjadi?” tanya Aisya pada menantunya.“Dia harus pergi ke rumah sakit,” singkat Emir menjawab. “Ayo mulai. Ayo, Bu….” Emir mengajak ibu, ibu mertua nya makan malam duluan.***Suasana persiapan makan malam keluarga di rumah keluarga Erlangga juga tampak tidak terlalu menyenangkan. Sementara semua asisten rumah tangga mempersiapkan makanan. Tampak mereka sedikit
Sebelum kembali ke rumahnya tak lupa Nisa juga mampir ke tempat Aldi Erlangga. Dia mencoba meyakinkan Aldi untuk tidak mundur dengan usahanya menjalin lagi kedekatan bersama Feyza dan Ayahnya.“Pak Aldi, aku tidak bisa menyelesaikan ini tanpa bantuan Anda,” tutur Feyza.“Lihat, kamu bersikeras dan aku datang ke makan malam itu. Apakah ada yang berubah?,” Nada suara Aldi sedikit putus asa.“Tetapi Anda tidak boleh menyerah begitu saja. Dengar, kita rayakan ulang tahunmu. Ini adalah kesempatan besar untuk keluarga berkumpul. Anda dapat berbicara dengan Feyza di sana.” Nisa memberi usul agar Aldi mau merayakan ultahnya yang hanya beberapa bulan lagi.“Merayakan ulang tahun dan konfrontasi. Dua kata yang tak berarti dalam hidupku,” sanggah Aldi.“Mungkin Anda harus menghadapi diri sendiri terlebih dahulu.”“Maaf tapi aku tidak butuh terapi. Jika aku membutuhkannya, aku akan memberitahumu.”“Sebaiknya aku pergi….” Nisa beranjak dari sofa mewah di kediaman Aldi. “Teri
ruDea baru saja selesai mempersiapkan makanan untuk anaknya. Buah potong yang diberi susu adalah cemilan favorit Kevin disela-sela waktu makan dia.Kevin merasa keheranan karena beberapa minggu ini ibunya selalu berada di rumah. Dia langsung bertanya. “Apakah kau tidak akan bekerja lagi, Bu?”“Tidak, ibu tidak kerja lagi sayang,” jawab Dea.“Hore! Kita selalu akan bersama terus,” teriak Kevin kegirangan.” Dea tersenyum sambil membelai rambut anaknya. Kevin meneruskan makan cemilan buahnya dengan sangat lahap. Dea kemudian dia berdiri mengambil ponselnya. Diam sejenak karena ragu dengan apa yang akan dia kerjakan. Dia pandangi lagi kontak yang akan dia hubungi. “Baba” seketika air mata menetes di wajahnya yang pucat. Akankah ayahnya mau bicara dengannya? Bagaimana jika Baba masih marah padanya? Tanpa berfikir lagi Dea langsung menghubungi Baba.Terdengar suara seorang laki-laki tua, suara yang begitu Dea kenal. Karena laki-laki itu teramat dia cintai dan dia hormati.
Sasha masuk ke dalam rumah. Selang beberapa menit Emir juga menyusul masuk ke dalam rumah. Raut wajah Emir sudah tidak bagus. Sasha tetap menyambut Emir dengan suka cita.“Selamat datang sayang. Bagaimana malammu? kau mabuk ya? tahan, biarkan aku membuatkanmu kopi dan menyadarkanmu,” sahut Sasha“Siapa pria yang mengantarmu pulang?” pertanyaan dengan nada suara yang tinggi Emir langsung to the poin.“Aku sudah memberitahumu tentang dia. Dia adalah teman dari orang yang jatuh sakit di Italia. Jika kau sudah melihat kami tadi diluar kenapa kamu tidak menyapa?” Sasha balik bertanya sambil mengernyitkan dahinya.“Mengapa aku harus datang dan menyapa?” Emir mengelak “Apa yang dilakukan teman pria itu saat makan malam?”“Dia adalah temannya, dia mengundangnya juga. Haruskah aku bertanya mengapa dia mengundangnya?” Sasha merasa Emir terlalu memojokkan dia.“Iya!” cetus Emir.“Kamu serius?” mata Sasha yang bulat kini terbelalak seakan tidak mengenal pria yang kini berdi