Raja Brawijaya duduk di atas singasana megah. Ia sedang mengikuti jalannya pertemuan dengan salah satu Laksamana terkenal yang sudah berjasa membawa Tan Eng Kian ke Majapahit puluhan tahun yang silam. Laksaman Cheng Ho namanya. Ia membawa armada besar di era Dinasti Ming. Saat ini Cheng Ho datang berkunjung sekaligus menemui Brawijaya.
"Kudengar daratan Melayu mengalami penyerangan oleh pasukanmu. Apakah itu benar?"
"Darimana kau mendapat berita itu? Aku bahkan masih sibuk dengan pengelolaan pasar beras yang kudistribusikan ke wilayah Nusantara."
"Aku mendengarnya dari para pedagang yang mengambil kain dari penyuplai asal Cina. Yang paling membuatku terkejut adalah kabar penumpasan pekerja saudagar asal Cina itu. Dan kau tau? Dia pernah satu pelayaran denganku."
Menyeruput teh sejenak Brawijaya menatap Cheng Ho dengan lekat. Kabar yang dibawa laksama itu tentu saja cukup mengejutkan baginya. Selama ini, tidak sekali pun ia menyentuh keris ma
Mulanya semua terlihat normal. Makanan terhidang di atas meja. Minuman segar sudah diracik di dalam teko. Harusnya semua yang ada disana sudah dapat menikmati sarapan pagi. Namun, kekacauan baru bermula ketika Zahra datang membawa serta seekor kuda."Kudaku belum makan seharian ini. Apakah kalian tidak memiliki rumput yang bagus untuknya?"Mereka minus Raden Patah menganga lebar melihat kuda putih itu masuk ke dalam rumah. Zahra nampak tenang tanpa rasa bersalah telah mengotori lantai di rumah. Tan berdiri--merangkul Zahra membawa serta Hans--kudanya untuk keluar."Bibi, kudaku butuh makan.""Ibu, panggil aku Ibu!" Tan tersenyum mengelus rambut Zahra. "Aku tau dimana rumput bermutu ditanam.""Kasihan Hans. Dia terlihat tidak baik setelah memakan rumput perkarangan rumah kalian."Tan melirik Arya yang hampir menyemburkan minum ke depan. Pasti ulah suaminya yang telah memberikan obat racun agar rumput liar lekas mati dan mudah untuk dibersihka
Dedaunan kering berguguran. Angin berembus lembut membawa dedaunan rapuh menyentuh tanah yang lembab. Sinar mentari menyembul dari balik pepohonan di hutan. Koloni hewan keluar dari sangkar mencari makanan. Begitu pula dengan para penduduk warga Palembang yang sudah mulai beraktivitas.Ada lelaki tua yang membopong cangkul di atas pundak. Ia membawa serta anak istrinya yang menenteng teko dan keranjang kecil berisi makanan. Terlihatlah mereka berbelok ke kiri menuju sawah. Kerbau yang di bawa si anak berbunyi lembut menunjukkan semangatnya bekerja.Di tempat lain seorang lelaki berkelompok membawa jaring dan pelita kecil dari arah laut. Orang di belakang mereka membawa beberapa keranjang berisi ikan segar. Nampaknya, petang malam tadi baru saja mereka melaut.Di rumah Arya Damar lha kini beberapa pejabat Palembang berkumpul. Mereka sengaja datang untuk bertemu Raden Patah murid dari Sunan Ampel yang merupakan keturunan langsung Raja Brawijaya V dari keraja
Menikah? Bahkan kata itu terdengar begitu nyata sekarang. Mengenai dua orang asing yang nantinya disandingkan untuk menjalani hidup bersama. Ingatkan Zahra jika saat ini usianya bahkan masih belum menginjak usia 18 tahun. Ia memang hidup lebih lama dari usia itu, namun mau bagaimana pun raga yang ia tempati tidak benar-benar ia miliki. Dimensi Zahra dan Raden Patah begitu berbeda jauh. Tidak seharusnya Zahra merebut kehidupan Kinara. Waktu wanita itu kini seakan berhenti karena dirinya.Kini, hanya suara angin yang membantu selayar kapal berlayar. Zahra memalingkan wajahnya--memandang hamparan ombak laut yang bergelung lembut. Ia tidak pernah segugup dan seragu ini sebelumnya. Ia tidak memiliki tujuan apa pun selain mati dan berharap kembali ke dunianya. Namun, untuk sekali lagi. Raden Patah memberikan energi baik yang mencegah keinginan itu membucah. Lelaki itu seakan membawa tiap napas Zahra berembus pelan pada tiap tutur kata dan perilakunya."Aku sangat terkejut ka
Menikah? Bahkan kata itu terdengar begitu nyata sekarang. Mengenai dua orang asing yang nantinya disandingkan untuk menjalani hidup bersama. Ingatkan Zahra jika saat ini usianya bahkan masih belum menginjak usia 18 tahun. Ia memang hidup lebih lama dari usia itu, namun mau bagaimana pun raga yang ia tempati tidak benar-benar ia miliki. Dimensi Zahra dan Raden Patah begitu berbeda jauh. Tidak seharusnya Zahra merebut kehidupan Kinara. Waktu wanita itu kini seakan berhenti karena dirinya.Kini, hanya suara angin yang membantu selayar kapal berlayar. Zahra memalingkan wajahnya--memandang hamparan ombak laut yang bergelung lembut. Ia tidak pernah segugup dan seragu ini sebelumnya. Ia tidak memiliki tujuan apa pun selain mati dan berharap kembali ke dunianya. Namun, untuk sekali lagi. Raden Patah memberikan energi baik yang mencegah keinginan itu membucah. Lelaki itu seakan membawa tiap napas Zahra berembus pelan pada tiap tutur kata dan perilakunya."Aku sangat terkejut ka
Jika aku mati, aku ingin kembali dimana seharusnya aku berada, Tuhan. Ini bukan tempatku. Aku tidak sanggup menahan penderitaan yang seharusnya bukan tanggunganku. Ini lebih sulit ketika semuanya masih di atas putih abu-abu. Aku tidak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar.Perasaanku sudah rapuh. Sudah sepatutnya perasaan ini berlabuh sampai disini. Aku tidak dapat menahan rasa sakit itu. Aku jatuh cinta kepada orang yang salah, Tuhan. Dia bukan milikku, namun kuingin memilikinya. Aku tak kuasa bila harus melepasnya dengan mata yang sekarang aku lihat. Aku tidak sanggup! Aku ingin semua ini selesai ketika aku tidak lagi bernapas di dunia ini.Tapi kenapa?! Sekalipun dadaku sudah sesesak ini aku masih ingin menangisinya? Airmataku sudah bersatu dengan lautmu, tapi mengapa engkau masih menghidupiku dengan perasaan ini?! Kapten, Bibi Galih, pelayan, semuanya pergi meninggalkan Zahra. Harus bagaimana aku menahan rasa yang sama untuk orang yang aku cintai?Tuhan, b
Senja menanti malam. Langit Jingga pun perlahan menghilang. Raja Brawijaya menutup pintu akses pintu balkon menuju kamarnya. Ia menghidangkan senyum kepada Amarawati yang sedang duduk di pinggiran ranjang."Dinda sudah pulang?"Amarawati mengangguk khidmat. Dua bulan ini ia memang sengaja pergi ke salah satu pulau Sumatra untuk meninjau komoditi gula pasir dan rempah-rempahan."Saya mendengar jika Kanda baru saja tiba ke Istana tadi pagi. Ada urusan apa yang membuat Kanda pulang selambat itu?""Penting." Brawijaya tidak menanggapi secara panjang lebar. Ia bahkan duduk di atas kursi dan dilanjutkan dengan pergantian busana oleh beberapa dayang yang datang."Boleh saya tau sepenting apa urusan Kanda?"Brawijaya mengangkat tangannya setengah tiang. Para dayang lekas pergi dari dalam kamar Raja setelah mendapatkan isyarat tersebut."Kanda menelusuri jejak pemberantasan keluarga Kapten Bumyen yang rumornya dihabisi oleh prajuri
Suara tapak kuda mengalun serempak dengan roda kereta yang membawa seorang gadis bercadar. Pelan-pelan gadis itu mengeluarkan tangannya dari dalam kereta menikmati hawai angin senja yang membentangkan jingga di langit angkasa. Manik matanya terpejam selembut sutra yang ia kenakan bulu mata lentik itu perlahan naik dibantu kelopak matanya yang menyipit jelita."Zahra? Kau sudah sadar?!""Chan! Kemari, cepat!"Gadis dengan pakaian indah senada bunga melati itu meletakkan dagunya diantara sekat jendela. Sudah seminggu sejak ia siuman dan mengingat wajah Ling dan Chan yang begitu terpana dengan kesadarannya."Tidak, Zahra! Kau tidak boleh pergi! Raja Brawijaya akan memberikan kami sanksi jika sampai sesuatu terjadi padamu!"Bahkan wajah keputus asaan yang dia lihat beberapa hari yang lalu masih terbayang jelas di kepala. Berputar bak gasing baru dan bagaimana Ling Yie menjelaskan pola kronologi yang mengakibatkan dirinya terdampar di wilayah sunyi tida
Rintik hujan selalu membawa cerita di tiap kedatangannya. Ia datang dan pergi secepat itu. Tidak membiarkan seseorang menyelesaikan urusannya yang begitu penting. Baginya, tugas yang ia bawa telah tersampai dan terserap akar tanaman di muka bumi. Dia tidak akan peduli sekali pun seseorang menangis darah memintanya kembali dengan apa yang telah ia bawa."Jinbun ...." Walaupun ia tahu jika rintik itu datang kembali. Tetapi apa yang sudah pergi mengapa begitu sulit kembali? Nyatanya Zahra sudah datang dalam wujud nyata. Sejauh ini ia mengorbankan nyawa orang yang begitu kekeh melindungi ia dari keegoan manusia serakah. Raden Patah mengeluarkan mimik yang begitu ia damba. Senyum yang ia imajinasikan melalui taburan bintang di langit."Boleh kan aku ikut mengantarmu? Kebetulan pula aku berniat pergi ke Demak.""Raden?" Sayyidah nampak tidak menyetujui usulan Patah. Zahra tahu dari bagaimana bibir perempuan itu melipat ke dalam. "Para santri disini masih perlu ilmu