Share

24. Secuil Kebenaran

Mulanya semua terlihat normal. Makanan terhidang di atas meja. Minuman segar sudah diracik di dalam teko. Harusnya semua yang ada disana sudah dapat menikmati sarapan pagi. Namun, kekacauan baru bermula ketika Zahra datang membawa serta seekor kuda.

"Kudaku belum makan seharian ini. Apakah kalian tidak memiliki rumput yang bagus untuknya?"

Mereka minus Raden Patah menganga lebar melihat kuda putih itu masuk ke dalam rumah. Zahra nampak tenang tanpa rasa bersalah telah mengotori lantai di rumah. Tan berdiri--merangkul Zahra membawa serta Hans--kudanya untuk keluar.

"Bibi, kudaku butuh makan."

"Ibu, panggil aku Ibu!" Tan tersenyum mengelus rambut Zahra. "Aku tau dimana rumput bermutu ditanam."

"Kasihan Hans. Dia terlihat tidak baik setelah memakan rumput perkarangan rumah kalian."

Tan melirik Arya yang hampir menyemburkan minum ke depan. Pasti ulah suaminya yang telah memberikan obat racun agar rumput liar lekas mati dan mudah untuk dibersihkan.

"Kudamu akan segera baik-baik saja." Iya, karena racun itu terbuat dari bahan alami dan tidak memiliki efek kuat jika tidak sengaja terkonsumsi. 

"Bib--Ibu, boleh aku bertanya sesuatu?"

"Nanti dulu. Sekarang, lepaskan kudamu ke kebun Arya." 

Zahra menurut. Hans berlari dan langsung memakan buah-buahan yang tertinggal di kebun. Nampaknya, buah-buahan disana baru saja dipanen. Kembali kepada Tan mereka berjalan menuju rumah. Keduanya memang belum sempat sarapan karena urusan Hans tadi.

"Jadi, kamu ingin bertanya apa?"

"Ibu mengenalku sebelum aku datang ke sini?" Zahra menoleh ke samping. Ia melihat Tan tengah tersenyum hangat kepadanya.

"Jika Ibu mengatakan iya bagaimana?"

"Aku akan meminta Ibu menceritakan Kinara kepadaku. Kenapa dia disebut jahat dan menjadi sebuah aib bagi kerajaan Majapahit. Ibu tau kan? Keluargaku dibunuh oleh mereka karena keberadaan gadis terkutuk ini." Tangannya bergetar gugup. Zahra merasakan sentuhan hangat dari tangan Tan yang menyentuh.

"Kita sarapan dulu, ya?"

"Tapi--"

"Jangan memaksakan diri untuk berpikir lebih keras. Manusia makhluk biasa yang memiliki batasan saat bekerja."

"Baik, Ibu."

***

Selesai menyantap sarapan pagi Zahra membantu Tan merajut di teras rumah. Walaupun terlihat sudah berumur namun Tan cekatan memasukkan jarum ke tiap pola di atas kain rajut. Merasakan seseorang memperhatikan terlalu dalam akhirnya Tan meletakkan rajutannya di atas dipan. Zahra tercekat usai mendapati senyuman Tan. Ia tertangkap basah tidak melakukan apapun selain menggagu konsentrasi Ibu dari Jinbun.

"Kinara itu pemain musik terhebat yang pernah kukenal." 

"Ha?" Zahra mengangkat kepala--menatap Tan bersungguh-sungguh. "Ibu mengenal Kinara dengan baik?"

"Tidak juga. Dulu, Ibu mengenalnya karena Raja sering meminta Kinara menjamu para tamu di kerajaan."

"Lalu, bagaimana Ibu dapat mengenalnya?"

"Dia yang menolongku ketika aku sedang mengandung Jinbun, nama kecilnya si Raden Patah."

"Menolong? Yang seperti apa dia lakukan?"

"Tan menggantikan posisiku ketika aku menghadiri pesta jamuan di rumah salah satu petinggi Majapahit. Mereka, yang saat itu sangat tabu dengan Islam begitu membenci kehadiranku. Kinara tau, jika aku sedang mengandung saat itu dan dia berusaha membujukku agar tidak datang."

Zahra memperhatikan senyum Tan yang nampak sendu. Dia meraih tangan Zahra, membelainya perlahan dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tidakkah kau ingat itu, Kinara?"

"Apa maksud Ibu?"

"Jika saja aku tidak--" Tan menahan suaranya. Raden Patah keluar dari rumah menghampiri mereka yang sedang merajut. "Patah? Ada apa?"

"Ibu sedang membuat pakaian untukku atau siapa?"

Zahra memperhatikan beberapa kain jadi yang diletakkan di atas keranjang rotan. Nampak beberapa pakaian mungil disana.

"Tidak mungkin untukmu atau Husain." Zahra mengeluarkan opini. Dia melirik Tan yang terdiam di tempat.

"Itu, untukmu." Tan menyerahkan isi keranjangnya pada Zahra. Tentu, hal itu mengundang kebingungan yang luar biasa. "Jika kau nantinya sudah menikah, aku ingin kau menyimpannya untuk anakmu."

Sedetail itu Tan memperkirakan kedatangan Kinara? Zahra tidak mengerti apa yang sedang terjadi di masa lalu Kinara. Ia bukanlah sosok sebenarnya dari jiwa yang mendiami raga ini. 

"Terimakasih, Ibu. Dan satu lagi! Aku akan membawa Zahra ke Ampeldenta besok pagi. Apakah Ibu mau memberikan pakaian hangat untuknya?"

"Tentu!" Membelai pipi Zahra dengan lembut, Zahra dibuat canggung oleh perhatian keluarga Raden Patah. Tan masih membelai wajahnya, hingga beberapa detik kemudian ia memeluk Zahra dengan hangat.

"Aku akan sangat bahagia dapat bertemu denganmu."

"Terimakasih," kata Zahra, canggung. 

Raden Patah membiarkan ibunya bersama Zahra sejenak. Sebelum ia akan memboyong Zahra pergi ke tempat dimana para walisongo berkumpul dan belajar. Disana, akan banyak dijumpai para penyebar ajaran Islam terkemuka di tanah Jawa.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status