Senja menanti malam. Langit Jingga pun perlahan menghilang. Raja Brawijaya menutup pintu akses pintu balkon menuju kamarnya. Ia menghidangkan senyum kepada Amarawati yang sedang duduk di pinggiran ranjang.
"Dinda sudah pulang?"
Amarawati mengangguk khidmat. Dua bulan ini ia memang sengaja pergi ke salah satu pulau Sumatra untuk meninjau komoditi gula pasir dan rempah-rempahan.
"Saya mendengar jika Kanda baru saja tiba ke Istana tadi pagi. Ada urusan apa yang membuat Kanda pulang selambat itu?"
"Penting." Brawijaya tidak menanggapi secara panjang lebar. Ia bahkan duduk di atas kursi dan dilanjutkan dengan pergantian busana oleh beberapa dayang yang datang.
"Boleh saya tau sepenting apa urusan Kanda?"
Brawijaya mengangkat tangannya setengah tiang. Para dayang lekas pergi dari dalam kamar Raja setelah mendapatkan isyarat tersebut.
"Kanda menelusuri jejak pemberantasan keluarga Kapten Bumyen yang rumornya dihabisi oleh prajuri
Suara tapak kuda mengalun serempak dengan roda kereta yang membawa seorang gadis bercadar. Pelan-pelan gadis itu mengeluarkan tangannya dari dalam kereta menikmati hawai angin senja yang membentangkan jingga di langit angkasa. Manik matanya terpejam selembut sutra yang ia kenakan bulu mata lentik itu perlahan naik dibantu kelopak matanya yang menyipit jelita."Zahra? Kau sudah sadar?!""Chan! Kemari, cepat!"Gadis dengan pakaian indah senada bunga melati itu meletakkan dagunya diantara sekat jendela. Sudah seminggu sejak ia siuman dan mengingat wajah Ling dan Chan yang begitu terpana dengan kesadarannya."Tidak, Zahra! Kau tidak boleh pergi! Raja Brawijaya akan memberikan kami sanksi jika sampai sesuatu terjadi padamu!"Bahkan wajah keputus asaan yang dia lihat beberapa hari yang lalu masih terbayang jelas di kepala. Berputar bak gasing baru dan bagaimana Ling Yie menjelaskan pola kronologi yang mengakibatkan dirinya terdampar di wilayah sunyi tida
Rintik hujan selalu membawa cerita di tiap kedatangannya. Ia datang dan pergi secepat itu. Tidak membiarkan seseorang menyelesaikan urusannya yang begitu penting. Baginya, tugas yang ia bawa telah tersampai dan terserap akar tanaman di muka bumi. Dia tidak akan peduli sekali pun seseorang menangis darah memintanya kembali dengan apa yang telah ia bawa."Jinbun ...." Walaupun ia tahu jika rintik itu datang kembali. Tetapi apa yang sudah pergi mengapa begitu sulit kembali? Nyatanya Zahra sudah datang dalam wujud nyata. Sejauh ini ia mengorbankan nyawa orang yang begitu kekeh melindungi ia dari keegoan manusia serakah. Raden Patah mengeluarkan mimik yang begitu ia damba. Senyum yang ia imajinasikan melalui taburan bintang di langit."Boleh kan aku ikut mengantarmu? Kebetulan pula aku berniat pergi ke Demak.""Raden?" Sayyidah nampak tidak menyetujui usulan Patah. Zahra tahu dari bagaimana bibir perempuan itu melipat ke dalam. "Para santri disini masih perlu ilmu
Chan sedang duduk di depan pendopo. Ia meneguk teh buatan istrinya dengan senyap. Sejak sejam yang lalu, Chan setia menemani Ling Yie yang nampak mondar-mandir menunggu Zahra yang tidak lain adalah amanah dari Raja Brawijaya. Padahal, perempuan itu sudah berjanji akan pulang hari ini. Namun, sudah larut malam pun batang hidungnya belum terlihat jua."Kenapa dirisaukan? Zahra bukan anak kecil lagi yang harus ditunggu waktu kepulangannya." Begitulah Chan. Semenjak diamanahkan Raja tentang Zahra sebenarnya dia kurang setuju. Mau bagaimana pun, Zahra masih memegang sebutan 'kutukan' yang benar-benar mencelaikai beberapa orang di sekitarya. Jika bukan karena Ling Yie yang memaksa ia tidak akan mungkin bermukim di wilayah terpencil sambil merawat perempuan berlogo 'kutukan'."Chan!" Mata Ling hampir keluar jika saja urat sarafnya tidak bekerja dengan baik. "Zahra adalah perempuan biasa! Kemampuan bela dirinya masih sangat minim! Bagaimana jika sesuatu di dalam hutan me
Tidak ada yang mengetahui letak ruangan tersembunyi yang menyimpan rahasia besar dari seorang permaisuri Majapahit. Tengah malam dia datang membawa sebuah obor. Ruangan gelap nan sunyi lekas menjadi terang benderang dan dipenuhi derap kaki dari sepatu kulit yang ia kenakan. Gaunnya menyeret tanah. Namun tidak membuatnya terganggu sedikit pun. Ia berbelok ke arah kanan mengikuti alur tumbuhan merambat yang menjadi penutup sebuah ruangan rahasia. Tepat di balik semak, ia membuka sebongkah kayu. Permaisuri masuk ke dalam lubang kayu tersebut. Ia kembali melangkah ke bawah yang memiliki lebih dari dua terowongan."Dia sudah makan?"Salah satu penjaga di dalam ruangan itu mengangguk khidmat."Sudah, Permaisuri."Dewi Amarawati melanjutkan langkahnya. Ia membuka salah satu pintu menuju sel rahasia yang ada di dalam. Setelah mendapati orang yang dituju Dewi pun membuka sel penjara tersebut. Disana seorang lelaki berkulit putih duduk me
Seorang perempuan melintasi petak sawah di tengah malam. Kakinya telanjang dengan rambut yang urak-urakan. Dia nampak begitu tergesa-gesa hingga lebih terlihat setengah berlari. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang. Tangannya memegang perut yang sudah membesar.Sret"Akh!" pekik perempuan itu tertahan. Sebuah anak panah menembus lengannya yang hanya ditutupi selendang. Dia mempercepat langkah, namun puluhan anak panah kembali datang menerjang tubuh ringkih itu."Kinara!"Perempuan itu kini berlari. Dia menembus perkebunan tebu yang bersebelahan dengan persawahan. Derap kaki di belakang sana semakin menghujam. Kinara--nama perempuan yang menjadi buruan itu tertarik oleh sebuah tangan yang tiba-tiba muncul di balik rimbunnya batang tebu. Mulutnya di bekap dan pergerakkannya benar-benar dikunci."Aku tidak akan melepaskanmu. Sampai kapan pun, sampai aku bisa melindungimu dan mengenalkanmu kepada rakyatku."***"Dia tidur lagi?"
Keadaan Istana terbilang cukup damai dengan datangnya tamu dari Ampeldenta. Dua orang tersohor itu menyambangi Raja Brawijaya yang baru saja tiba dari pemukiman penduduk. Ia baru saja melakukan pengecekan terhadap komoditi beras dan beberapa rempah yang akan dikirim ke luar kerajaan Majapahit.Raja begitu bergembira melihat dua pemuda di hadapannya yang memajang senyum sarat akan kerinduan. Bukan tanpa alasan. Dua orang pemuda itu ialah Sunan Kalijaga yang merupakan sahabat Raja Brawijaya dan Raden Patah, anak kesayangan. Tidak membutuhkan basa-basi bagi Raja untuk memeluk dua orang yang begitu berarti. Ia sedikit menumpahkan tangisan ke bahu Raden Patah. Kendati demikian, Raden tetap menerima ayahandanya dengan tangan terbuka."Menangislah, tidak apa. Tumpahkan semua." Raden Patah tertawa kecil diakhir. Brawijaya menepuk pundak anaknya sejenak, lalu melepas pelukan. "Ayahanda tidak berubah sama sekali. Tetap tampan dan masih cengeng," komentar Raden, disambu
Sunan kalijaga meneguk teh bersama Raden Patah di salah satu warung milik penduduk di Demak. Dia baru saja bertemu dengan Raden Patah malam tadi dan berencana berkunjung ke pelabuhan Demak sore harinya. Siang ini usai melaksanakan solat dzuhur bersama santri mereka menyambangi warung dan berbincang di sana."Bagaimana pertemuanmu dengan Gusti Brawijaya?""Ayahanda menyerahkan seluruh niat itu kepadaku, tapi tidak diberikan untuk Majapahit. Anggaran pembangunan pelabuhan mungkin berasal dariku. Inilah yang masih kupikirkan Sunan. Apakah aku sanggup membangun rencana besar itu?""Insya Allah, jika niatmu sudah bulat, dan kau bersunguh-sungguh untuk melakukannya, Allah akan memudahkan niat baikmu."Raden Patah masih tampak ragu dengan dirinya sendiri. Mengingat bagaimana luasnya Demak dan besarnya pelabuhan yang akan menjadi dermaga pusat pemberhentian kapal dari seluruh wilayah ke Demak."Menurut Sunan, apakah Ayahanda memiliki rencana yang begitu b
Ling Yie menunduk dalam. Suaminya berulang kali memanggil namanya namun ia hanya diam. Kini Ling sudah tertangkap basah oleh Chan. Dia bersekongkol dengan Zahra dan membiarkan perempuan itu pergi dari persembunyian. Padahal beberapa hari yang lalu Brawijaya telah memberikan perintah agar Zahra tidak pergi kemana pun."Jangan salahkan aku jika sesuatu terjadi padanya." Chan berjalan menarik pedang yang selama ini ia simpan rapi di sudut ruangan. Melalukan kegiatan bersih-bersih kini dialihkan kepada para pelayan yang beberapa bulan belakangan didatangkan Brawijaya."Chan, kumohon!" Ling menarik tangan Chan--menghentikan pergerakan suaminya yang berniat pergi dari pondok di tengah hutan itu. "Biarkan Zahra merasakan kebahagiannya sejenak saja, Chan.""Kebahagian Zahra adalah siksaan bagi kita!" Chan berbalik, memegang bahu Ling lalu mendorongnya masuk ke dalam kamar milik Zahra. "Aku akan menguncimu di kamar ini sampai aku kembali membawanya.""Chan!"