"Ngapain?" tanya Livia mengangkat satu alisnya.
"Naik!" titah Rafael. Perintah itu membuat Livia terdiam sejenak, memandangi punggung Rafael yang samar-samar terlihat kekar.
Rafael menoleh ke arah belakang, menatapi Livia yang melihat punggungnya, lalu menggeleng kesal. Tanpa mendengarkan penolakan apapun yang keluar dari mulut Livia, Rafael mulai menggendongnya memaksa. Sempat kaget, Livia melihat kelakuan Rafael kini, dia sampai memukul-mukul pelan bahu lebarnya berulang. Namun pukulan itu terhenti, ketika kepalanya mulai pusing dan terasa seperti nut-nut tan.
"Raf, Raf. Gue ga kuat ini, pusing banget," ujar Livia menghentikan langkah Rafael.
Livia menidurkan kepalanya tepat pada bahu milik lelaki itu. Berbicara semakin membisik, karena rasa sakitnya yang mungkin membuat Livia tidak sanggup berbicara seperti biasa.
"Pulang aja ya, gausah ke tempat makan. Nanti makan di rumah aja!" pinta Livia lirih.
Livia mulai memejamkan matanya, terpejam begitu saja pada punggung Rafael.
Kepalanya menjadi berat tidak karuan, rasa sakit itu benar-benar dapat melumpuhkan seluruh tubuhnya. Rafael terus menggendong Livia menuju parkiran, menidurkan Livia hati-hati di jok mobil miliknya.
Ban mobil itu kini mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Membawa mereka berdua dengan cepat menuju rumah Livia.
"Liv, udah sampe," cakap Rafael membangunkan perlahan Livia.
Livia membuka matanya, menyipitkan kelopak matanya. Wajahnya terlihat pucat sayu, suhunya berubah menjadi dingin dengan keringat yang bercucuran. Rafael kini hendak membantu Livia untuk keluar dari mobil. Niat awalnya Rafael hanya ingin memapah Livia menuju kamar, namun melihat Livia saja begitu lemas, membuat Rafael mengurungkan niatnya. Mengganti niatnya dengan membopong Livia, hingga merasakan betapa ringannya gadis itu.
'Liv, ko bisa kaya gini sih?' pikir Rafael melihat wajah orang yang dia sayang.
Rafael merebahkan gadis itu di ranjang empuk yang Livia punya. Dia mulai meninggalkan Livia, mencari dimana letak dapur berada, tujuannya agar bisa cepat membuatkan kompressan untuk Livia. Setelah dia menyiapkan semuanya, dengan gesit dia kembali menuju kamar Livia. Menempelkan handuk basah untuk menghentikan demamnya.
"Liv, cepet bangun, gue ga tega liat lo kaya gini," gumamnya memperhatikan Livia yang tengah tertidur.
Rafael tau kini Livia sedang tertidur pulas. Namun dia benar-benar terpaksa harus membangunkannya agar dia bisa makan dan meminum obat. Jika tidak, badannya mana mungkin bisa kembali vit.
"Liv, bangun dulu yah. Makan dulu!" bisik pelan Rafael membangunkan Livia.
Terlihat Livia yang membuka matanya dan berusaha untuk duduk sebelum Rafael menawarkannya.
"Makan yah, nanti minum obat kalo udah selesai."
Livia hanya mengangguk di setiap kalimat yang Rafael katakan. Perhatian Rafael kepadanya bukan sekedar perhatian kecil lagi, jika dilihat dari sisi manapun. Setelah Livia selesai makan dan minum obat, dia tampaknya kembali tertidur pulas. Mungkin juga karena efek dari obat yang dia minum.
Jam terus berdenting, sore telah menjadi malam yang sunyi diantara mereka. Rafael yang tidak tega meninggalkan gadisnya sendirian di rumah gedongnya itu, berfikir untuk menjaganya hanya sampai dia sehat kembali. Tidak tegalah jika harus meninggalkan Livia sendirian, bagaimana jika dia membutuhkan sesuatu dan tidak ada yang membantunya.
Malam ini, waktu berasa sangat lama. Rafael sedari tadi hanya memperhatikan wajah Livia.
"Ma ..." Livia mulai mengigau, tangisan kekakutan itu terdengar begitu jelas oleh Rafael.
"Liv, tenang," ujar Rafael menenangkan Livia yang tengah mengingau tanpa membangunkan tidurnya.
"Kamu kenapa si?" Guman Rafael begitu khawatir.
Jelas saja, laki-laki mana yang biasa saja melihat keadaan gadisnya seperti ini. Walupun lelah, dia terus menemani Livia sampai dia terlelap tanpa sengaja dengan genggaman tangannya yang erat. Putaran jam itu kini mengubah indahnya malam menjadi pagi yang sangat cerah, membangunkan Livia yang tertidur.
"Ah. Malam ini, gue tidur nyenyak," gumamnya sebelum melihat lengannya yang saling menggenggam erat. Dia menatap lelaki yang tengah berada di hadapannya.
"Rafael. Lo nemenin gue disini?" sambungnya merasa tidak percaya.
"Gue, beneran minta maaf yah, seharusnya kita have fun bareng. Tapi gue ngerusak semuanya dengan sakit kaya gini."Lengannya mulai bergerak, menyentuh rambut Rafael yang hitam. Ingin rasanya Livia mengelus perlahan lelaki itu. Namun, dia takut membangunkannya dan membuat dia salah paham. Belum juga sedetik dia memikirkan itu, Rafael benar-benar terbangun dari tidurnya. Membuka matanya yang langsung menemui lensa mata Livia.
"Lo, udah bangun?" tanya Rafael.
Livia memalingkan wajahnya malu.
"Iya, makasi udah temenin gue yah," ujarnya."Hah? Makasi?" jawabnya sinis.
Rafael mengangkat alis kanannya.
"Gue ga akan maafin lo!" sambungnya memalingkan wajah.
"Ko gitu, gue kan ga sengaja bisa sakit kaya gini. Lagian kalo lo gamau nolong gue, gausah nolong! Garepot kan?" kesalnya menatap Rafael yang memberikan sikap begitu dingin.
Rafael mulai terkekeh geli memperhatikan Livia yang marah-marah karena ulahnya.
"Gue gaakan maafin lo, kalo lo sampe sakit lagi gara-gara lupa makan lagi."
Amarah Livia mulai reda, tatapan Rafael mulai dalam. Benar-benar membuat suasana jadi tidak karuan.
"Iya," Livia hanya menjawab tersipu, seperti tidak bisa mengomentari hal apapun lagi.
Tangan Rafael mulai menyentuh pucuk rambut gadis itu, mengelus pelan dengan senyuman yang manis.
"Anak baik," ujar Rafael gemas.
Iqbal yang sedari tadi menguping, mendengarkan pembicaraan mereka di balik pintu kamar yang terbuka lebar. Dia memutuskan untuk masuk, memutuskan obrolan mereka.
"Anak baik ...," ledek Iqbal menyelonong masuk tanpa permisi.
" ... Bucin banget si, pagi-pagi, gue kan juga mau!" kekeh Iqbal memperhatikan Rafael."Anjim, ganggu banget ya!" kesal Rafael.
Mengapa Iqbal selalu datang di waktu yang tidak tepat. Dan membuat semuanya menjadi ancur. Kadang Rafael benar-benar kesal dengan tindakannya yang seolah tanpa berfikir panjang.
"Ini gue bawain makanan, kemarin kan kata Rafael lo lagi sakit. Gue gamau anak cakep sakit," ujarnya berbicara dengan Livia.
"Makasi Iqbal, baik banget sih," jawab Livia membawa paper bag berisikan makanan itu.
Livia membuka isi paper bag itu, memeriksa apa yang ada di dalamnya.
"Loh ko cuman satu?" tanya Livia keheranan.
"Iya itu buat lo aja, tadi gue masak kebanyakan jadi sekalian aja bawain buat lo,"
"Lo bener-bener ga inget sama gue?" serobot Rafael menjitak Iqbal.
"Aduhhh... Sakit masnya. Gue kira lo gaada disini," elak Iqbal yang sebenarnya tau.
Iqbal mulai tersenyum membuat wink kecil pada Rafael. Dia ngaja membawakan satu porsi makanan itu, berharap mereka berbagi satu sama lain. Anggap saja baktinya sebagai teman yang membantu tentang percintaanya. Rafael sangat tau hal itu.
"Yaudalah, makan bareng-bareng aja, gausah berantem!" ajak Livia membuka makananya.
"Gausalah, lo aja yang makan," tolak Rafael menatap Iqbal kesal.
Livia akhirnya menyuapkan satu sendok itu untuk dirinya.
"Iqbal udah makan?" tanya Livia.
"Aduh belum, gue tadi buru-buru kesini. Takut lo belum makan," jawabnya sembari memegang perutnya lapar.
"Yauda makan yah, nih" Livia mengayunkan sendoknya menuju mulut Iqbal, Iqbal membuka dengan senang hati dan memakannya.
Kini dia menatap Rafael merayu, dia tau betapa kesalnya Rafael tehadap dirinya. Senyuman Iqbal mengisyaratkan sebagai permintaan maafnya sekaligus kode untuk Rafael.
'Sikat!'
Mereka berbicara melalui batinnya, Rafael paham betul apa yang Iqbal arahkan.
'ga bisa, gue gabisa,'
Rasa malu dalam tubuh Rafael menggebu. Tidak sanggup meminta Livia untuk berkongsi. Tapi dia ingin mencoba, akhirnya Rafael mulai memberanikan diri.
"Liv ma-"
Belum juga kalimatnya terlontar. Teriakan Aka berhasil menghentikan Rafael.
"IQBAL, BOCAH. LO NINGGALIN GUE GITU AJA," teriak Aka kesal karena Iqbal meninggalkannya saat sedang bersiap-siap untuk berangkat.
Iqbal menepak keningnya pelan, menghela nafas tidak percaya.
"Hahhh ... " keluhnya.
Iqbal juga Rafael saling menatap. Iqbal mengangkat satu alisnya tersenyum. Merlihat begitu banyak kekesalan Rafael. Iqbal tersenyum bingung mengelus pundak Rafael.
"Sabar bro!" Iqbal mulai mengingatkan Rafael agar bisa bersabar, mendapatkan teman seperti ini."Sabar banget gue!" tekan Rafael kesal.Iqbal merangkul bahu Aka, menyekiknya pelan. "Gatau sitkon banget yah lo" ujarnya tidak sadar diri.Livia kini sedang asik memakan makanan yang Iqbal berikan. Dengan ekspresi datar, seperti sedang menonton sebuah serial drama tentang pertemanan itu."Siniiiiii!" ujarnya memegang dagu Rafael memutar, membuat lensa matanya saling bertemu. Livia kini memberikan satu suapan kecil untuk pangeran kodoknya itu."Nih, lo mau kan? AAA" sambungnya memberi aba-aba.Rafael tersenyum puas, menikmati satu suapan ini. Iqbal tersenyum melihat teman kecilnya yang manja, berhasil mendapatkan suapan pertama dari seorang wanita setelah ibunya. Aka tidak mengerti apa yang sedang mereka senyumi, tak paham dibuatnya Aka hanya memutuskan untuk duduk dan berusaha melepaskan lengan Iqbal yang masih merangkulnya.Ringtone dari sa
Menurut Kiara Awal petemuan diantara mereka, tidak dapat dia lupakan. Awal pertemuan yang menumbuhkan rasa cinta di dalamnya. .FLASHBACK ON. "IQBAL, KA IQBAL DIMANA?" teriak Kiara mencari-cari Iqbal. Waktu itu Iqbal hanya meninggalkan Kiara untuk membelikan ice cream. Iqbal sempat berpesan, untuk menunggunya kembali dan jangan pergi kemana-mana. Namun, kupu-kupu yang indah menghampiri Kiara secara tidak sengaja. Membuat Kiara menatap gemas melihat kupu-kupu itu, terus memperhatikannya. Sampai kupu-kupu itu pergi, terus dan terus, Kiara mengekornya. Disitulah awal Kiara sampai bisa terpisah dengan Iqbal. Saat Iqbal kembali, Kiara sudah tidak ada di tempat yang sempat dia duduki. "RARA, DIMANA?" teriak Iqbal mencari-cari. Iqbal mulai cemas mencari kembarannya itu, umur mereka memang tidak selisih berjauhan. Namun Kiara tidak sepintar Iqbal dalam menjaga dirinya. Kiara berlari mencari-cari dimana Iqbal berada sambil menangis
Kiara pun mulai melepaskan kedua tangan dari matanya. Dia pun mulai berbalik, melihat keberadaan Dafa yang tengah menahan buku-buku itu agar tidak terjatuh. "Gapapa?" Dafa mulai bersuara setelah memandangi Kiara beberapa saat. "Iya," Kiara mengangguk tersipu, dia benar-benar salah tingkah oleh perlakuan Dafa. "Hati-hati!" Ingat Dafa pada Kiara. "Iya, makasi," Kiara memperlihatkan wajah malunya, lalu pergi meninggalkan Dafa. Membuat Dafa tersenyum manis melihat tingkah laku anak satu ini. Setelah benerapa lama menunggu, akhirnya satu jam pelajaran pun berakhir. Kiara memutuskan memasuki kelas tanpa mengajak Dafa. Dia masih mengingat kejadian yang membuatnya malu, sekaligus sangat senang. Diapun pergi meninggalkan Dafa yang tengah duduk di perpustakaan. "Lo mau kemana?" tanya Dafa melihat Kiara yang pergi tanpa permisi. Sontak Kiara pun menoleh, tanpa menjawab pertanyaan Dafa dan hanya kembali melanjutkan langkahnya. Dafa seseger
Iqbal menggeleng tak percaya. Satpam itu hendak menutup gerbangnya, meninggalkan Kiara yang masih di luar gerbang. Kiara kini berjalan mendekati mobilnya, masuk kedalamnya dengan wajah tertekuk. Kiara terdiam tak percaya di dalam mobil itu. Menatap Iqbal bingung dengan mata yang menggenang air di dalamnya. Iqbal juga benar-benar tak percaya, dia mendesah pelan menyebut nama Dafa. Kiara menatap Iqbal kembali, meneteskan air matanya yang sedari tadi dia tampung. Tak habis pikir dengan semua ini, Iqbal akhirnya memeluk Kiara erat. "Gapapa. Rara, gaboleh nangis ya, kan ada gue," ucap Iqbal menegelus pelan Kiara berusaha menenangkan Kiara. Kiara mengangguk, berhenti menangis. Dia memejamkan matanya sesaat. 'Dafa, Dafa jahat banget,' batinnya menggerutu. Pelukan itu terhenti, Iqbal menghapus semua air mata Kiara yang terjatuh. Dafa benar-benar tidak ber hati, untuk urusan sepenting ini saja, dia tidak berbicara.Mereka memutuska
Jelas sekali kemarin Iqbal mendengar jeritan Kiara memanggil nama Dafa. Itu semua kadang membuat Iqbal khawatir, dia takut hal yang sama terulang kembali. Waupun mereka sangat dekat. Tapi terlihat dari tatapan Dafa, dia hanya menganggap Kiara sebagai seorang teman. Kenyataan itu sangatlah berbeda dengan Kiara, dia terus memendam perasannya sehingga menjadi sangat dalam. Waktu itu saja Kiara hampir mengangis di setiap malam yang gelap memikirkan Dafa. Iqbal tidak dapat membantu banyak, apapun yang Iqbal katakan. Satu perkataan pun tidak ada yang Kiara dengar, dia hanya berfokus terus mencintai Dafa."Iqbal, jangan marah," ujar Kiara merayu."Ternyata bener," desah Iqbal."Iqbal gu-gue kangen Dafa dan nyoba hubungin dia. Ternyata dia angkat telepon gue, lo jangan marah ya. Jangan marah ka," jelas Kiara terbata-bata."Gue ga marah Ra, gue gapapa kalo lo mau berhubungan sama Dafa. Tapi apa lo tau perasan Dafa ke elo gimana? Apalagi setelah 3 tahun ga ada kaba
"Misiiiii, Mas Rafael ganteng laper Ka," ujarnya pada Aka.Aka benar-benar sudah tau tentang kode yang Rafael bicarakan. Dia meminta makanan yang sedang berada di pangkuan Aka."Ga mau yang lain emang? Ini lagi gue makan loh?"Rafael menggeleng. Aka dengan berat hati memberikan makanan yang sedang dia nikmati. Sebagai balasannya dia merebut makanan yang sedang Iqbal makan, juga mengambil satu minuman yang sedang Iqbal minum."Aduh, Aka temen gue yang baik. Ga boleh jadi rampok makanan," tekan Iqbal merasa kesal. Bayangkan saja dia sedang di posisi yang sangat menyenangkan dengan beberapa makanan juga minuman yang ia nikmati. Namun Aka tiba-tiba merampasnya."Gapapa lah, lo ambil yang lain lagi aja," ujar Aka kesal.Iqbal yang melihat Aka kini uring-uringan akhirnya menatap Rafael."Lah, makanan lo di ambil Rafael? Kenapa ga lo marahin aja anaknya?" tanya Iqbal menggeleng."Ck. Lo, takut ya sama Bos Besar?"Decak Iqbal.
Pagi telah datang, percakapan berat tadi malam itu berakhir begitu saja. Semua kecemasan Rafael kadang menghilang begitu saja, namun juga kembali ketika dia menginginkannya. Iqbal berhasil memberikan saran terhadap Rafael, semua itu membuat Rafael dapat berfikir jernih. Kini Aka terlihat bangun terlalu dini, dia mulai membangunkan Rafael yang tengah tertidur pulas."Raf, Rafael! Bangun dong, jogging yu!" teriak Aka membangunkna Rafael."Iya Liv, ayo," jawab Rafael meracau.Aka benar-benar keheranan di buatnya. Dia memukul Rafael, agar dia segera bangun dari ranjangnya."Gue Aka anjim, ko Livia sih? Bangun ga!" Aka menarik paksa lengan Rafael berniat mendudukan Rafael yang tengah tertidur.Rafael benar-benar dibuat kaget, dia kesakitan saat Aka menarik lengan kanannya. Dia membuka matanya, melihat Aka yang sedang berusaha membangunkannya."Heh anjim lo?" teriak Rafael yang baru saja terbangun dari tidurnya.Dia benar-benar kaget, bagai
"Ge, ngapain disitu?" tanya Aka yang baru saja merapihkan badannya.Gea yang panik hanya membuat alasan klasik yang tengah dia pikirkan."Nggak, gue nyari angin aja ko," jawabnya.Aka benar-benar tak percaya, dia menggeleng dan mulai bertanya dengan senyum gelinya."Jangan-jangan, lo ngintipin mereka yah?" lontar Aka.Gea benar-benar dibuat panik oleh Aka. dia bingung mengenai apa yang harus dia katakan."Hah? Siapa? Gue?" jari telunjuknya kini menunjuk ke arah dirinya."Iya, lo nguping kan dan merhatiin mereka?""Hah engga. Buat apa kaya gitu?" ujar Gea mengelak."Hha. Gue tau ko," Aka mulai terkekeh tanpa suara, menertawakan Gea.Semua tebakan Aka sangat mengenai hati Gea, semua itu sukses membuat Gea kesal.'Ngapain sih anak ini? Kenapa tiba-tiba so paling tau?' keluh Gea dalam hatinya.