Sejak keberangkatan Jenny dan Amirta ke prancis, mata Arumi tidak bisa terpejam. Entah sudah berapa gelas kopi yang dia minum untuk menahan rasa mengantuk. Arumi juga tidak bisa menghubungi Randika karena ponsel tunangannya itu mati. Entah itu sengaja atau batrey ponsel nya yang habis.
Satu jam ....
Dua jam ...
Tiga jam
Hingga malam berlalu, sosok pria yang di nantinya tidak kunjung tiba. Gadis itu sampai berulang kali memastikan apakah ada suara mobil yang datang atau tidak.
Lama menunggu membuat matanya mulai lelah dan terasa bsrat. Gadis berusia 23 tahun itu mulai mengantuk, dia memilih untuk memejamkan mata sebentar saja hingga suara garing Minora membangunkannya.
Manik cokelat itu membuka matanya yang sembab akibat tangisan. Arumi bangkit dan menatap pelayan pribadinya itu dengan mata setengah terpejam. " Ada apa."
"Kenapa anda tidur di sini? Jika ada yang keluar masuk di sini mereka akan mendapatkan pemandangan gratis yang indah
Tubuh itu terus bergerak gelisah, tidak ada posisi tidur yang membuatnya nyaman. Arumi kembali membuka matanya. Memikirkan Randika yang belum juga kembali membuat dia tidak tenang."Di mana kau sekarang, apa kau tidur bersama wanita itu?"Mansion terasa sunyi saat Arumi membuka jendela. Biasanya di pagi musim gugur, Mom Jenny akan berdiri di taman belakang untuk bersantai dengan secangkir kopi panas. Tentu saja wanita setengah abad itu duduk di temani suami tercinta. Sesaat Arumi memanjatkan doa untuk bisa mendapatkan kebahagiaan seperti kedua orang tua angkatnya. Mereka adalah pasangan serasi. Gadis itu terus berdiri sambil memejamkan mata hingga suara seorang pria membuatnya membuka mata."Kau akan masuk angin jika terus berada di situ."Arumi tidak ingin menoleh, dia hafal betul dengan suara itu. Itu adalah suara pria yang yang membuat sakit di hatinya."Pembohong!"Arumi menoleh dan memberikan tatapan tajam yang berhasil membuat Randika te
"Dia menjadi berbeda," ujar Evanya menepuk sisi sofa yang masih kosong.Brian menggeleng, dia memilih duduk di kursi lain depan bartender. "Kau membawanya semalam.""Yah, dia tidur denganku.""Kau seperti pemangsa!"Bukannya marah Evanya malah tertawa terbahak-bahak merasa senang dengan sebutan itu. Tawa itu mengundang banyak perhatian, beberapa mata pengunjung klub tampak melihat ke arah mereka.Berbeda dengan Brian yang menggeleng pelan. Dia merasa kasihan kepada gadis yang tertawa keras tapi terdengar hambar. Sungguh pemandangan yang menyeramkan."Berhenti tertawa Evanya kau menyeramkan!"Wanita itu tidak berhenti, dia tetap tertawa sampai gelas wiski menyentuh bibir merahnya."Perempuan aneh.""Apa kau tahu dimana gadis itu tinggal?" tanya Evanya saat wiski yang di teguknya tertelan habis."Siapa?""Arumi.""Kau tidak tahu di mana dia tinggal?""Jika aku tahu, untuk apa bertanya padamu."
"Rumi," sapa Randika canggung."Aku akan ke dapur.""Rumi dengarkan aku." Randika menahan tangan Arumi menatap sesaat kedua sahabatnya yang terlihat pura-pura sibuk berbincang."Ada yang ingin kau katakan?""Aku minta maaf," ucapnya tulus.Arumi menatap datar meski sebenarnya dia tahu kalau Randika sudah sangat menyesal dengan kejadian tadi malam, hanya saja, adegan ciuman antara Randika dan Evanya yang ada di dalam ingatannya masih terlalu jelas. Itu alasan kenapa dia begitu marah dan memilih bersikap diam."Apa kau tidak lelah terus meminta maaf seperti ini."Randika menggelengkan kepalanya. "Tidak sampai aku mendapatkan maaf darimu.""Kalau begitu tinggalkan Evanya.""Aku tidak bisa melakukannya sekarang.""Whay?""Kau tahu, aku mencari Evanya selama beberapa tahun ini. Ada banyak hal yang harus aku pastikan dengannya. Aku janji, setelah itu selesai aku tidak akan menemuinya lagi."Randika terus m
Tidak ada yang bisa menghancurkan keterdiaman Randika dan tatapan tajamnya. Bahkan keberanian Arumi tidak cukup untuk sekedar menyapanya.Randia menghubungi kedua orang tuanya, menanyakan tentang kondisi ayahnya. Jenny sang ibu mwnjelaskan demgan baik hingga membuat pria itu sedikit tenang. Merasa cukup santai, Arumi lalu mendekat saat Randika menutup teleponnya. " Bagaimana keadaan Dady.""Bukankah kau lebih tahu."Raut wajah Arumi berubah sedih seketika. "Jadi lau masih marah padaku.""Kau pikirkan sendiri."Wanita itu terdiam cukup lama. Tidak terfikir olehnya Randika akan semarah ini. Dia bahkan belum memberi maaf untuk pria bermata hitam itu. Namun, kini dia yang harus meminta maaf atas kesalahannya."Maaf merahasiakan-nya, tapi aku hanya menuruti ucapan Mom. Dia hanya tidak ingin kau khawatir.""Tinggalkan aku sendiri!'"Ran?""Berhenti memanggil nama ku!"Teriakan keras Randika membuat Arumi tersentak hingg
"Quebec, Kanada...Brian yang berada di sekitar kafe miliknya memutuskan untuk melihat keadaan pria itu. Dia cukup tahu ke mana tempat yang akan di datangi sahabatnya jika sedang ada masalah. Di dalam hati dia berharap tidak menemukan-nya sedang berduaan dengan Evanya."Ran?"Pria itu memanggil-manggil mengingat tempat ini privasi dan hanya ada dua orang bartender yang selalu berjaga."Apa Randika kemari?""Di sana."Brian melangkah menuju arah yang di tunjuk salah saru bartender. Dia mencari di balik kursi-kursi yang tersusun rapih, hingga matanya melihat pria yang sedang merokok di lantai dengan botol alkohol yang berhamburan di mana-mana."Kau minum sebanyak ini?""Sedang apa kau di sini.""Mungkin kau butuh teman.""Aku tidak but
"Jam berapa kau kembali.""Baru saja."Arumi terdiam jawaban singkat Randika membuatnya bertanya-tanya di dalam hati apa yang harus dia katakan lagi agar memancing pembicaraan.Melihat Arumi yang sedang berfikir, Randika mengira wanita itu salah paham karena dia terbangun dengan dirinya yang tertidur di sampingnya."Aku hanya tertidur, tidak ada yang terjadi.""Maaf, tapi pikiranku tidak sampai ke situ."Jleb ....Kini balik Randika yang salah mengira. Pria itu menelan luda kasar karena gugup. "Aku hanya menjelaskan agar kau tidak salah paham," ujarnya untuk menutupi rasa gugupnya."Apa hari ini kau akan makan malam di rumah?""Entahlah.""Jika kau kembali, aku bisa memasak makanan untuk---""Jangan menunggu ku.""Baiklah, aku mengerti." Suara Arumi mengecil sampai akhir kalimat."Aku hanya ingin sedikit menenangkan pikiranku, jadi mengertilah."Arumi langsung terdiam. Baru sehari merek
"Bagaimana, kau berhasil?""Biarkan aku mengambil napas."Keduanya pun terdiam. Pria bermanik biru itu menyalakan mesin mobil dan melaju sebelum Randika menemukan mereka."Kau berkeringat Nona.""Aku sangat gugup tadi" Arumi menarik napas panjang dan mengembuskan-nya kembali. "Apa pakaian ku pantas?"Pria yang sedang menyetir itu terkekeh "Kau terlihat sangat seksi."Arumi menatap tajam sesaat "Dasar pria mesum.""Hei, santai. Jangan terlalu marah, itu akan membuatmu semakin seksi."Bugh ... plak ... bugh ...."Auh, sakit Arumi. Hentikan!"Bugh ... plak ... bugh ...."Hentikan, atau kita akan menabrak.""Baiklah." Arumi kembali menghembuskan napas panjang, menetralkan detak jantungnya yang berpacu cepat sebelum lanjut berkata."Antar aku ke tempat di mana aku bisa mengganti pakaian ku, ini sangat tidak nyaman.""Bisakah kau gunakan itu sebentar lagi, kau terlihat sanga
Mobil yang di tumpangi Arumi dan Brian sudah melaju berjam-jam namun Arumi masih belum mengatakan berhenti."Rumi, apa kita tidak salah jalan?""Tidak jalurnya benar.""Bukankah di sekitar sini tidak ada bukit?.""Jalan saja. Sebentar lagi kita akan sampai""Sebenarnya kita akan ke bukit mana?""Gros morne.""What?"Apa kau gila. butuh 1 hari perjalanan untuk sampai di sana Arumi. Aku tidak mau kita terlambat kembali. Randika dan Rilan bisa membunuhku.""Kau cukup mengantar, kedua pria itu biar aku yang urus.""Wanita keras kepala. memangnya untuk apa kita ke sana," teriaknya dengan wajah kesal.Arumi memilih diam sejenak, lalu menarik dalam-dalam napasnya dan mulai berkata."Itu adalah tempat di mana kedua orang tuaku mengalami kecelakaan. aku tidak tahu persis di jalanan mana mereka meregang nyawa. Jalanan Gros morne cukup panjang jadi aku memilih bukit untuk melepaskan rasa rinduku.Brian h