Jam sudah menunjuk-kan pukul 6 sore saat Arumi terbangun, ternyata dia sadar lebih awal dari waktu yang di perkirakan Aurela. Arumi membuka matanya perlahan, silaunya lampu membuat dia merasa masih hidup.
Wanita bermanik cokelat itu mengedarkan pandangan melihat sekeliling yang tampak asing baginya, ruangan dengan perpaduan warna putih dan biru, dekorasi ini mirip sekali dengan sebuah ruang VIP rumah sakit.
Jantung Arumi berdetak kencang karena merasa kakinya seperti tidak bisa di gerakan, dia juga merasakan sakit yang teramat pada sekujur tubuhnya. Arumi terus mendengus kesakitan Hingga suara seseorang membuka pintu terdengar olehnya. Dia berusaha bangun untuk melihat siapa yang masuk. Namun, pusing kepalanya membuat dia kembali bersandar pada bantal.
Aurela, nama wanita yang selalu memakai jubah putih itu sengaja masuk untuk melihat keadaannya. "Maaf apa aku mengganggu tidurmu?"
"Apa aku di rumah sakit?"
"Non, ini klinik ku. Brian membawamu padak
Brian keluar setelah menyelimuti Arumi, dia tidak berkata apa-apa setelah kepergian kedua pria itu, hingga akhirnya dia lelah memandang jendela besar itu dan kembali tertidur."Apa yang kalian bicarakan di dalam sana?"Brian menggelang."Apa dia tidak mengatakan apapun?"Brian masih menggelang dan itu membuat Rilan kesal."Brian!!"Brian tertawa, sudah cukup lama menjalin hubungan dengan wanita, dan banyak hal yang sudah dia lalui. Namun, kali ini adalah keadaan yang sangat membingungkan. Saat Brian hendak berucap Rilan menyela. "Katakan kenapa sampai kau menabraknya.""Dimana Randika?""Dia sedang menenangkan diri.""Bersama Evanya?""I do not know."Brian tersenyum. "Pria bodoh itu benar-benar tidak tahu apa-apa.""Katakan Brian, jangan berbelit-belit.""Okey ... okey .... tapi Randika harus mengetahuinya.""Aurela sudah mengatakan kau pelakunya Brian."Kini Brian beralih menat
Evanya kembali ke apartemennya dengan wajah gusar dan kesal, hatinya menjadi tidak tenang saat aksinya di bukit De La Reine harus melibatkan Brian. Seharusnya dia lebih berhati-hati, jika Brian melihatnya saat melarikan diri tadi, pria itu akan segera melaporkannya kepada Randika. Terlebih dia akan mendekam di penjara."Shitt," teriak Evanya sambil mengacak rambutnya frustasi. "Apa Brian melihatku tadi? apa pria gemuk itu memberitahu orang-orang kalau aku yang mendorongnya?"Pikiran Evanya menjadi kemana-mana, khawatir jika dirinya tertangkap maka semua rencana yang sudah setengah jalan ini akan ketahuan. Dan dia akan gagal menjadi seorang Pianis terkenal, bahkan dia tidak akan bisa memiliki Randika.Sebenarnya dia sudah mengerti betul dengan keadaan, Randika memiliki prinsip yang kuat. Sekali dia membenci maka selamanya akan seperti itu. Namun, melihat bagaimana Randika begitu mencintai Arumi, hatinya seakan tidak rela dan ingin memiliki cinta Randika kembali.
Mustang hitam itu memasuki Area yang sudah tidak asing baginya, wajah datar yang terasa begitu dingin membawa hawa yang tidak baik untuk sekitarnya. Randika melangkah cepat dan sampai pada sebuah kamar Apartemen milik wanita yang dulu pernah sangat dia cintai.Suara bel yang berbunyi kencang mengalihkan seorang wanita yang tengah memuji diri. Dia berjalan dengan senyuman menuju pintu tanpa merasa curiga seseorang telah menunggunya dengan penuh kebencian di luar sana.Dan saat suara pintu terbuka."Hai, kau da-- akh ...."Tanpa bicara Randika mendorong Evanya masuk hingga tubuhnya terbentur tembok dengan sangat keras. Pria bermanik hitam itu mencekik leher Evanya hingga dia memekik tak bernapas."Kau melewati batasanmu Evanya Mastaw.""Akh ... A-p-a yang kau ... akh." jeritan Evanya semakin kerasa saat jemari kekar pria itu menahan lehernya lebih kuat.
Jenny menggelengkan kepalanya menatap wanita yang berdiri di depannya, baju yang menempel pada tubuhnya sangat jelas memperlihatkan dia berasal dari mana. Emy, dia adalah ibu dari Evanya. Sesuai namanya dia tampak sangat cantik, tubuhnya yang ramping membuat wanita itu terlihat seksi. Jenny tidak bisa melihat wajah Emy dengan jelas karena wanita itu terus saja meliuk liuk di depannya seperti seekor ular. Sesekali dia akan berdiri dengan punggung yang menempel pada pintu lalu berbalik dan berjalan seperti model di depan Jenny hingga wanita itu merasa pusing. "Bisakah kau berhenti, kau membuatku pusing." "Aku?" "Yah, kau!" Emy tertawa keras, membuat Jenny yang duduk di depannya bisa mencium bau alkohol dari dalam mulutnya. "Kau tidak tahu siapa aku?" "Tidak!" "Baiklah." Dia mengulurkan tangan jenjangnya. "Emy, aku pemilik tempat ini. Kau bisa memanggilku Madam Emy." "Kau mabuk?" "No, aku hanya sedikit menegu
Mendengar Jenny berucap, Evanya langsung memalingkan wajah. Wanita berambut pirang itu menyembunyikan wajahnya di balik pelukan Emy, yang mana membuat Jenny semakin geram hingga mencengkeram dagu Evanya dan memaksa pemilik rambut pirang itu untuk menatapnya."Lihat! lihat video ini, kau akan hancur seperti mobil itu jika kau terus menyangkalnya Nona Evanya Mastaw."Evanya menangis keras, dia menghempaskan tangan Jenny dengan sangat kuat."Tidak! Aku tidak melakukan-nya. Tidak! tidak!""Pada kenyataannya seperti itu Evanya, seberapa kuat kau menyangkalnya kenyataan tidak akan pernah berubah." Jenny kembali mencengkeram tangan Evanya menariknya dengan kuat hingga menjauh dari Emy."Dan yah, aku bisa membayar siapa pun untuk menghancurkan kalian. Ingat, kau yang telah mengangkat bendera perang denganku. Kau dan keluargamu akan merasakan akibat dari penyangkalan ini. Aku bersumpah kau akan me dapatkan penderitaan dari perbuatanmu."Jenny melepas
Seharusnya Malam ini Evanya sedang bahagia bersama Randika, melewati setiap detik dengan belaian lembut dari kekasih hatinya. Namun kini berbanding terbalik, Evanya terbaring lemah pada lantai apartemennya. Darah segar terus mengalir dari tangannya akibat tembakan tadi. "Aakh ...." Evanya meringis kesakitan, kesadarannya semakin melemah karena darah yang keluar cukup banyak. Dia berjalan tertatih mencari ponsel yang dia buang saat sebelum mandi. Wanita yang kesakitan itu menarik napas dalam saat menemukan ponselnya, kembali dia menarik napas lalu fokus menekan beberapa tombol dan melakukan panggilan untuk seseorang. Tutt ... tutt ... tutt .... Seseorang di sana berkerut saat melihat nama pada layar ponselnya. "Akhirnya kau mencariku, ada apa?" "Ba-bantu a-aku ...." "Ada apa dengan suaramu, apa kau baik
Cerita ini sah milik Aurumi Sabbi, jangan plagiat apalagi ganti nama pena hanya karena ingin mendapatkan uang. Anda dosa ngambil tulisan orang tanpa ijin dan du publis dengan nama pena yang lain.....Arumi berteriak dengan histeris melihat dua pria itu tersungkur oleh senapan milik Rilan, matanya menatap ketiga pria itu penuh pertanyaan. "Sebenarnya ada apa ini?""Tenanglah," ucap Randika menarik perempuan itu kedalam pelukannya. Nakun, Arumi menolak dan mendorong Randika menjauh."Jangan mendekat! Aku membencimu!""Arumi ak--""Aku bilang jangan mendekat," teriak Arumi saat Randika akan menyentuhnya.Dengan tubuh bergetar Arumi menatap dua pria yang terbaring dengan peluruh yang di tembakan oleh Rilan. Darah yang terus mengalir membuat dia merasa pusing, sedetik setelahnya wanita berambut panjang itu pingsan. Ran
"Kau tidak tidur? ini sudah sangat malam." "Aku takut kau akan meninggalkanku setelah tertidur." Randika tertawa dan memeluk tubuh mungil kekasihnya. dia menaikan selimut untuk menutupi keduanya hingga batas dada. "Apa kaki mu masih sakit?" "Tidak, hanya sedikit nyeri pada bagian pahaku." Arumi memukul tangan Randika yang hendak menyentuh bagian itu, meski pernah melihatnya rasanya aneh jika dalam keadaan sadar. "Kenapa? kau malu?" Pipi Arumi memerah, dia menyembunyikan wajahnya di balik selimut membuat Randika kembali terkekeh dan mengeratkan pelukannya. Dia mengecup puncak kepala Arumi cukup lama. Randika yang bersandar di kepala ranjang itu menunduk mengelus lembut jemari Arumi dimana cincin pertunangan mereka tersemat di sana. Dari semua ini, Randika belajar bahwa jujur adalah nomor satu. Apapun yang akan terjadi, dia ha