“Aku malu untuk mengatakannya Bu,” jawab Anin seraya menundukkan kepalanya.“Kenapa malu? Coba katakan pada Ibu sekarang,” desak Ibu Harris.“Sebenarnya Anin merasa malu karena tak tahu banyak jenis bumbu dapur Bu,” ucap Anin akhirnya mengatakan apa yang menjadi ganjalan hatinya.”“Ternyata hanya masalah itu saja, Nin. Tak apa jika kamu tidak tahu bumbu dapur, lama kelamaan juga akan hafal sendiri,” sahut Nyonya Besar, ia terlihat lega setelah Anin mengatakan yang sebenarnya.Mobil terus bergerak menuju tempat tujuan keduanya, jalanan yang lengang membuat keduanya segera sampai. Waktu tempuh yang seharusnya satu jam menjadi 45 menit saja. Dari jauh simbol supermarket tersebut sudah terlihat jelas.Kendaraan berwarna putih itu semakin lama semakin pelan dan akhirnya berhenti di depan pintu masuk supermarket terbesar itu, Anin segera mengeluarkan kereta dorong milik Bhima sedangkan bayi mungil itu digendong terlebih dahulu oleh Ibu Harris sebelum diletakkan di dalamnya.Setelah memastik
“Apa maksudmu, Ris?”“Ibu salah paham, sebenarnya yang terjadi tidak seperti itu. Anin sama sekali tidak menghubungiku,” jelas Harris. “Aku tahu tentang Bhima karena aku mendadak kangen dengannya sehingga aku menghubungi Anin, dia memberi tahu jika Bhima sedang rewel,” sambungnya.“Meskipun begitu seharusnya Anin tidak memberitahumu tentang keadaan Bhima karena pasti akan merasa khawatir, kamu jadi tidak konsentrasi ketika bekerja,” ujar Nyonya Setya masih menyalahkan Anin.“Harris akan sangat marah jika Anin melakukan itu, bagaimanapun aku harus tahu keadaan anakmu yang sebenarnya, Bu. Lagipula Harris mendengar tangisannya,” sahut Harris, ia tak terima jika perempuan yang dicintainya terus disalahkan.“Sudah ya Mas,” lirih Anin seraya menarik tangan Harris. “Anin janji Bu tidak akan berbuat seperti itu lagi, maafkan Anin ya Bu,” kata Anin, ia menundukkan kepalanya. Tangan kurusnya mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya.Melihat Anin bersikap seperti itu membuat Nyonya Sety
“Silakan lapor, Tuan,” jawab Damar. “Saya rasa Pak Harris tidak akan langsung percaya tuduhan tersebut,” lanjut Damar. Pria muda itu tampak percaya diri dengan perkataannya, ia merasa jika atasannya itu akan memihaknya.Merasa tertantang Tuan Besar itu lantas meraih ponselnya, lalu menekan nomor telepon anaknya. Tak seperti Damar yang tenang, si sekretaris Harris tampak panik. Perempuan itu benar-benar takut jika sampai atasannya menindak mereka berdua.Tak perlu menunggu lama, Harris segera menjawab telepon tersebut. Tuan Setya membesar volume agar keduanya dapat mendengar percakapan di antara mereka.“Ris, Ayah mendapati kedua orang kepercayaanmu akan bertindak hal tidak senonoh di kantor,” lapor pria paruh baya tersebut. Terdengar suara Harris yang tidak mempercayai hal itu tetapi Tuan Setya tetap kekeuh pada pendiriannya.“Apa alasannya mereka melakukan hal itu di kantor?” tanya Harris.“Ayah juga tidak tahu, jika kamu mau tahu cepat datang ke kantor,” pungkas Tuan Besar itu lalu
“Apa maksudmu? Ayah benar-benar ingin menemuimu. Aku sama sekali tak tahu jika kau tak ada di kantor,Ris,” ujar Tuan Setya mencari pembenaran.“Kalau sudah tahu Pak Harris tak ada di kantor, lalu untuk apa Tuan berlama-lama di ruangan tersebut?” cecar Damar.“Tentu saja untuk menunggunya datang kembali ke kantor,” jawab Tuan Setya percaya diri.“Tuan tampak yakin jika Pak Boss akan segera kembali ke kantor, tahu dari mana? Apakah anda menghubungi Pak Harris?” lanjut Damar. Akibat perkataan Damar tersebut, semua mata tertuju pada pria paruh baya itu, menanti alasan apalagi yang akan diucapkannya.“Belum, karena perhatianku tertuju pada suara di luar,” ucapnya. Damar dan Harris saling bertatapan, mereka tahu bahwa pria itu tak akan mengakui perbuatannya.“Kita sudahi sampai di sini karena tak ada manfaatnya jika diteruskan,” ucap Harris mengakhiri huru-hara yang dibuat oleh ayahnya. Presdir muda itu meminta kedua pegawainya kembali bekerja. Mereka menuruti perintah bossya, baik Selvi da
“Karena Harris harus fokus pada urusan kantornya, untuk urusan perceraian lebih baik Ibu yang mengurusnya sendiri,” jawab Nyonya Besar itu.“Maaf Bu, jika Anin boleh berpendapat. Mas Harris tetap harus tahu mengenai rencana Ibu ini,” sela Anin.“Memang benar, Harris tahu tentang masalah ini karena menyangkut kedua orang tuanya. Tetapi nanti, setelah ibu mengurus seluruh berkasnya. Dan Ibu harap kamu membantu untuk merahasiakannya sementara,” kata Nyonya Setya, raut wajahnya terlihat tak ingin dibantah. Baru kali ini Anin melihat ekspresi wajah ibu Harris yang seperti itu, mau tak mau ia pun menurutinya.“Baik Bu,” jawab Anin singkat.Nyonya Setya menyuruh menantunya untuk istirahat di kamar begitu pula dengan dirinya. Anin pamit ke kamar dengan menggendong putra kesayangannya. Sepanjang jalan menuju kamarnya ia memikirkan bagaimana cara menyembunyikan hal tersebut dari Harris.“Aku harus menjaga lisanku, jika sampai aku keceplosan maka habislah riwayatku sebagai menantu keluarga Adija
“Tidak ada, Mas. Hanya saja aku yang tidak bisa menjelaskannya padamu. Belum saatnya aku bercerita sekarang,” jawab Anin.“Ayolah sayang, jangan main rahasiaan denganku,” bujuk Harris agar Anin mau memberitahunya.“Nanti pasti aku akan memberitahumu,” jawab Anin, ia tetap pada pendiriannya. “Bagaimana masalah kantor? Apakah kamu marah pada Damar dan sekretarismu?”“Tidak, kenapa harus marah. Mereka tak melakukan kesalahan apapun, ayah saja yang berlebihan,” kata Harris menjawab pertanyaan Anin, lelaki itu mengembalikan buku yang ia baca tadi pada tempatnya. “Kita kembali ke kamar, kasian Bhima kalau tidur di gendongan begitu,” ajak Harris. Anin menganggukkan kepala ia setuju dengan ucapan pria itu.Mereka meninggalkan ruang baca tersebut dan berjalan menuju kamar tidurnya. Harris membuka ppintu dan mempersilakan Anin untuk masuk dahulu. Sang Ibu muda itu lantas menidurkan bayi laki-laki kesayangannya di ranjang besar tersebut.“Mas Harris,” panggil seorang asisten rumah tangga pada a
“Sebenarnya apa Mbak?” tanya Anin“Tidak ada, lupakan saja,” jawab Clara santai. Anin tak ingin menganggap ucapan Clara sebagai sesuatu yang penting lantas melanjutkan kembali langkahnya. Ia menapaki tangga secara cepat. Ketika Anin hendak membuka pintu di saat yang bersamaan Harris juga berniat melakukan hal yang sama.“Kamu mau ke mana Mas?”“Turun ke bawah, menyusulmu. Kenapa kamu naik ke atas?”“Karena aku ingin melihat Bhima, lagipula Ibu sudah pulang,” ujar Anin. “Mas, tahu tidak katanya Mbak Clara datang untuk mengobrol denganku, bukannya tadi dia mencari Ibu,” lanjut Anin seraya mendorong tubuh Harris mundur ke belakang. Kini mereka duduk di tepi ranjang.“Benarkah dia mengatakan hal tersebut?”“Tentu saja, tadi dia aku memergoki dirinya berada di taman belakang, Mbak Clara mengintip kamar kita,” adu Anin.“Tenang saja, tak ada yang bisa dilihat dari taman belakang,” timpal Harris. Ia mengerti kekesalan Anin, ia juga merasa privasi mereka terganggu. “Karena dia sudah berbuat
“Jika itu bukan sesuatu yang penting, katakan lain kali saja,” ujar Harris dingin. Ia tak mau mendengar omong kosong dari ayahnya.“Tetapi apa yang aku katakan adalah sesuatu yang penting, ini menyangkut tentang –““Kamu baru pulang, Mas. Lebih baik kamu membersihkan diri dulu baru mengajak kami berbicara,” ujar Nyonya Setya memotong perkataan suaminya. Apa yang dilakukan oleh kedua ibu dan anak itu membuat Anin menjadi bingung. Seolah mereka berdua tak ingin Tuan Setya menyampaikan kalimatnya.“Kita ke kamar saja, Nin,” ajak Harris seraya menarik tangan perempuan itu. Anin pun hanya bisa menuruti kemauan lelaki tersebut.“Pastikan kalian berdua ada di meja makan ketika jam makan malam tiba,” ucap lelaki paruh baya itu kepada Harris dan Anin.“Baik,” jawab Harris singkat, dari nada bicaranya ia terkesan meremehkan undangan tersebut. Harris dan Anin terus menapaki anak tangga satu persatu hingga tiba di lantai dua. Anin memaksa Harris untuk menghentikan langkah mereka.“Mas, aku penasa