*** “Besok, lo nggak perlu jemput gue lagi,” ujar Anira, ketika mereka tiba di kantor. Hari ini, tepat seminggu, Anira kembali ke Jakarta dan kembali bekerja di tempat ini.Selain hari pertama, semua berjalan dengan baik, dia berhasil beradaptasi dengan baik. Namun, karena posisi kantor itu yang cukup jauh dari rumahnya, setiap hari juga dia berangkat bersama Reksa.“Kenapa?”“Nanti sore, motor gue udah datang. Plus semua surat-suratnya.” Anira membentangkan tangannya bangga. “Motor? Lo motoran?” Reksa mengerutkan kening. “Nggak usah, mending gue jemput aja. Rumah lo ke kantor jauh.”“Tahu, makanya gue beli motor.” Naik kendaraan umum terlalu lama, dan dia juga tidak mungkin terus-menerus naik taksi, karena itu akan sangat boros. “Lo tahu, ini kali pertama gue beli kendaraan pakai uang sendiri.”Sekian lama bekerja, baru kali ini dia memberanikan diri melakukan itu, dan rasanya sangat aneh. Seperti ada sesuatu yang menggelitik hatinya, kebahagiaan yang membuatnya bangga pada dir
Velma yang baru saja tiba, menghampiri mereka bersama dengan seorang gadis manis yang terlihat anggun.“Gue sama Reksa duluan ya.” Anira tidak ingin berpapasan dengan Velma. Dia terlalu malas untuk basa-basi pada orang yang sama sekali tidak dia suka.“Hmm. Sebentar lagi aku nyusul.” Velma melirik Anira, kemudian sengaja meninggikan volume suaranya. “Kakak mau kemana? Ini Kak Zeva bawain makanan lo untuk kakak. Perhatian banget kan? Calon istri idaman banget deh.”Deg!Anira merasa jantungnya mencelos, tapi dia mengabaikan itu. Dia tetap berjalan menjauh dari orang-orang itu, seolah kata itu tidak berarti apa-apa untuknya.“Kamu ngomong apa, Vel!” gumam Zeva lirih. Wajahnya tersipu malu.“Kenapa mesti malu sih, Kak? Cepat atau lambat orang kantor juga bakal tahu, kalau Kakak calon istri Kak Deril.”“Velma! Jangan asal bicara! Nanti orang lain yang dengar salah paham!” Deril menatap Velma marah, omong kosong adiknya itu semakin menjadi-jadi. Dia menoleh ke arah Anira yang sudah
Deril terkejut, dia sampai menatap wajah Zeva lama, karena merasakan nada aneh di suara gadis itu.“Kenapa? Ada yang salah dengan pertanyaannya?” Mata Zeva melebar. “Gue Cuma salut saja, lo masih bertahan bahkan setelah kalian putus sekian lama.”Mulut Deril membulat. “Oh.” Dia tersenyum tipis, melankolis. “Gue kehilangan dia di saat gue mau melamar dia.”“Hanya karena itu?”Deril tidak menjawab. Sulit untuk mengatakan pada orang lain apa yang terjadi dengan hubungan mereka. Bagaimana dia bisa move on dari Anira ketika dia sadar betul, masalahnya bukan berada di mereka berdua?Sampai saat ini, sudah lima tahun berlalu, Deril masih sering berharap kalau semuanya hanya mimpi buruk.Zeva tidak lagi bertanya. “Kalau memang lo suka sama dia, kenapa nggak kejar lagi?”“Semuanya nggak semudah itu.” Deril merasa selamanya jurang terbesar yang memisahkan mereka itu akan sangat sulit menyatu. Satu kejadian iseng yang berakibat semua akhir tragis ini.“Why?”Deril tersenyum. “Gue agak malas u
“Oh, halo.” Anira dengan cepat mengangguk ramah. Dia berusaha mengontrol ekspresi wajahnya, mengabaikan rasa sakit menusuk yang terasa di hatinya. “Kami ke atas dulu. Nggak mau ganggu,” ujarnya sambil tersenyum.Dia langsung menarik Reksa dari sana, pergi menjauh dari pasangan itu. “Ra, aku ....” Kalimat Deril terputus begitu saja, karena Anira sudah menjauh. Dia bergegas melangkah mengejar gadis itu, tapi dia di tahan oleh Zeva.“Tunggu dulu.”Deril mengerutkan keningnya tidak sabar. “Kenapa lo ngomong gitu tadi?” tanyanya kesal. Bahkan tanpa salah paham seperti itu, hubungannya dengan Anira sudah sangat kacau.Zeva tersenyum, sama sekali tidak terpengaruh dengan amarah Deril. “Gue sengaja ngomong gitu.”Deril menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Dan kenapa lo ngomong gitu!!” ulangnya marah. “Tenang dulu, gue kaya gitu, Cuma untuk lihat reaksi Anira.”“Dan apa yang lo lihat?” tanyanya kasar. Saat itu, Deril tidak bisa menahan amarahnya, dia bahkan mulai menye
Reksa menatap Deril tajam. “Ya, gue takut!” akunya jujur. “Gue takut, berakhir kaya lo! Bahkan nggak bisa berteman lagi!” sindirnya sinis.Dia hanya ingin mengetahui apa yang terjadi, tapi Deril harus melampiaskan kemarahan itu padanya. Reksa tidak bisa menahan diri. Dia juga sedikit kesal.Deril tersenyum pahit. “Lo bener. Jadi lo mending, daripada jadi gue sekarang ini.” Siapa dia, menyindir Reksa, saat situasinya sendiri lebih buruk dari Deril.Mendadak, Reksa juga tidak tahu harus mengatakan apa. Deril layak mendapat simpati, pria itu tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi keluarganya. Namun, di saat yang sama, dia bisa mengerti keputusan Anira.“Kalau lo nggak mau cerita, gue juga nggak akan nanya.”Deril menyadari kalau dia bersikap berlebihan. Dia melampiaskan amarahnya pada orang yang salah. “Sorry.”“It’s okay. Take your time.” Reksa mengangguk. “Gue keluar dulu, kalau gitu.”“Anira,” ujarnya ragu. “Apa, dia bilang sesuatu?” Reksa menatap sahabatnya itu sejenak. “D
‘Apa tidak bisa denganku?’ Deril menelan sisa kalimat itu di hatinya. Dengan dia? Sudah syukur, gadis itu masih mau bertemu dengannya.“Gue? Gue cukup bahagia dengan keadaan sekarang.” Ayahnya kembali stabil, kakaknya mulai membangun keluarga baru, ibunya kembali bisa tersenyum. Rasanya, Anira sudah mendapat banyak sekali berkah. Hingga dia tidak berani berharap lebih.Dia takut keserakahannya akan membuatnya kehilangan semuanya.“Aku juga cukup puas dengan keadaan sekarang,” tirunya. “Jadi? Kita berteman sekarang?”Deril menjulurkan tangannya. Anira menatap tangan itu sejenak. Kemudian menyambutnya. “Tentu saja, kita selalu berteman.”Berteman? Keputusan ini apa sudah ketuk palu? Apa ini satu-satunya yang bisa dia harapkan? Pertemanan? Deril menelan ludahnya getir.Dia ingin mencoba optimis, kalau ini adalah awal baru bagi mereka. Namun, senyum di wajah Anira membuatnya ragu. Masih ada kemungkinan untuknya, kan?“Ah iya, aku Cuma mau kasih tahu, aku dan Zeva Cuma berteman. Kami s
“Lo kenapa sih? Mabuk?” Anira mengerutkan kening bingung, akhir-akhir ini, Reksa sering sekali mengeluarkan candaan yang membuatnya terdiam.“Kenapa? Lo langsung panik? Nggak kaya gue minta lo langsung nikahin gue, kan?” pancing Reksa lagi.“Reksa! Please! Gue beneran takut!” Membayangkannya saja, berhasil membuat Anira merinding. Cara bicara Reksa, selalu sama, sehingga dia sulit membedakan apakah pria itu serius, atau bercanda.“Coward.”“Biarin!” Anira merasa ada gejolak di dadanya, mendengar cemoohan itu. “Kalau gue iyain, lo juga gantian panik paling!” balasnya tidak mau kalah.“Kenapa nggak lo coba?”“Coba apa?”“Iyain.”Anira benar-benar kehabisan kata-kata kali ini. “Nggak jelas! Gue tidur dulu! Bye!” Seakan menghindari penagih utang, Anira langsung mengakhiri panggilan itu begitu saja.Dia merasa wajahnya panas, langkahnya sedikit melayang saat beranjak. Anira mencuci wajahnya di kamar mandi.Kemudian menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin. ‘Reksa itu sahabatmu! Apa y
Anira mengerutkan kening. “Lo sakit?” Dia mengakui kalau sikapnya tadi sedikit tidak sopan. Namun, dia tidak menyangka kalau reaksi Deril akan sedrastis ini.Reksa bergegas merangkul bahu Deril. “Lo mau tahu kami bicara tentang apa? Biar gue yang cerita.” Merasakan tubuh Deril memberontak, dia berbisik dengan suara lirih. “Lo akan menyesal, kalau buat keributan lagi di sini.”Seketika Deril terdiam, mencerna ucapan sahabatnya itu. Hatinya terasa panas, matanya menatap tajam ke arah Reksa, marah.Tidak peduli dengan reaksi Deril, Reksa menarik pria itu menjauh dari sana. Ketika melewati Anira, dia mengangguk tipis, menenangkan gadis itu. “Thank you,” gumam Anira tanpa suara. Dia orang baru di tempat ini, bermasalah dengan dua orang bos itu di depan karyawan lain bukanlah sesuatu yang ingin dia lakukan.Anira hendak menuju ruangannya, ada berkas yang harus dia urus hari ini. Apa yang terjadi antara Deril dan Reksa sama sekali tidak mempengaruhi harinya.Dia sudah mulai te