Share

2

“Semuanya lenyapkan barang bukti ini. Pertemuan aliansi berikutnya aku akan mengejutkan kawan kita dengan aku muncul hidup-hidup.” Perintah Maria. “Kamu, Ratha ikut aku pulang. Kamu sudah tidak punya tempat untuk pulang kan?”

“Baik.” jawab Ratha dengan menurut.

“Kamu penurut sekali. Apa kamu didik oleh Herman untuk tidak melawan?” tanya Maria.

Ratha tidak menjawab dan berdiri di depan Maria. “Aku tidak bisa menjelaskannya.”

“Yah aku sudah tahu dari beberapa bekas luka pada dirimu.” Jawab Maria. Mereka berdua menuju ke mobil pribadi milik Maria. “Supirkan, aku tidak bisa menyetir akibat tanganku ini.”

“Baik.” jawab Ratha. “Ke rumah sakit lagi?”

“Rumah. Ikut GPS yang ada di mobil.” Jawab Maria.

“Baik.” Ratha kemudian terdiam.

“Seperti robot saja.” gumam Maria.

“Mohon maaf, kebiasaan saya waktu di militer dahulu.” Balas Ratha. “Aku akan mencoba tidak berbicara formal di depanmu.”

“Itu lebih baik.” Maria membalas. “Kasus kematian keponakanmu ini pasti tidak akan ditangani polisi.”

“Benar sekali. Herman sudah terkenal menyogok kepala polisi di sini.” Kata Ratha. “Aku sendiri yang memimpin negosiasi suap tutup mulut aparatnya.”

“Kalau begitu kamu bisa membantuku berarti? Aku ingin menjual beberapa narkoba kepada anak sekolah. Kamu bisa mengurusnya?” tanya Maria.

“Bisa.” Jawab Ratha. “Berarti kita akan menyenggol keluarga Retjo. Apakah Anda siap untuk merebut bisnis mereka?”

“Belum, kita buat geng baru saja di anak-anak sekolah itu. Setelah terkumpul dan mereka kuat. Barulah kita gunakan mereka untuk menyerang Retjo dkk.” Kata Maria.

Mobil mereka berhenti di perempatan lampu merah. Suasana dalam mobil menjadi hening lagi. melihat seorang pengemis di tepian jalan. Hati Maria tergoda untuk memberikan bantuan.

“Lampu merahnya berapa lama lagi?” tanyanya.

“Seratus tiga puluh detik lagi.” jawab Ratha.

Maria turun dari mobilnya dan memberikan uang senilai 200rb kepada pengemis itu. Lalu dengan cepat ia kembali ke dalam mobil. Dibukanya ponselnya dan barulah teringat kalau malam ini dia akan makan malam dengan orang tuanya.

“Carikan salon terdekat, Ratha. Aku lupa di rumah akan ada acara.” Maria menyenggol bahu Ratha. “Dekat hotel di depan itu adalah langgananku. Kamu ikutlah juga, kamu harus berganti pakaian yang bagus juga.”

“Kenapa?” tanya Ratha. “Aku akan menunggu di luar hingga kamu selesai.”

“Aku akan memperkenalkanmu kepada orang tuaku.” Jawab Maria. “Daripada aku harus bertemu dengan calon jodoh yang dibawakan oleh mereka.”

“Ah begitu.” Kata Ratha. “Baik.”

“Ubah penampilanmu juga. Potong rambut gondrongmu itu dan kumis, serta janggut. Untuk mengubah muka bisa operasi plastik nantinya.” Kata Maria.

Dua puluh menit kemudian mereka sampai di depan salon langganan Maria. Mereka berdua turun dari mobil mereka dan Maria mendahuluinya untuk masuk ke dalam salon tersebut. Setelah mengisi meteran parkir per jam, Ratha barulah mengikuti Maria untuk masuk ke dalam salon.

Terlihat Maria sudah memulai sesi perawatannya dahulu. Ratha diarahkan untuk duduk di sebelah Maria. Rambut gondrongnya dipotong cepak, kumis dan janggutnya habis bersih dicabut dengan lilin.

“Nah bagus.” Puji Maria.

“Te-terima kasih.” Jawab Ratha tersipu.

“Dari reaksimu. Kamu seumur hidup belum pernah mengalami pujian?” tanya Maria.

“Bisa dibilang begitu. Seseorang dulu mengajariku kalau menjadi laki-laki tidak boleh haus akan pujian.” Jawab Ratha. Sembari menunggu Maria selesai perawatan rambutnya, Ratha keluar untuk mencari minuman.

“Mau ke mana? Tidak boleh kalau tidak bersamaku.” Sergah Maria.

“Baiklah.” Ratha kembali duduk di kursi salon. Tiga puluh menit kemudian, Maria selesai dan mengajak Ratha untuk melanjutkan perjalanan kembali. Setengah jam kemudian lagi mereka sampai di parkiran rumah Maria.

“Kedua orang tuaku sudah ada di sini. Ingat, jangan bicarakan apapun soal bisnis gelapku. Anggap saja aku mempunyai bisnis percetakan dan kamu sekretarisku. Ah tidak, ajudan pribadiku saja.” kata Maria, selangkah ia turun dari mobil.

Beberapa pria bersenjata mengepung mereka. Mereka muncul dari semak-semak dan memaksa Maria dan Ratha untuk menyerah. Ratha keluar dari mobilnya, kedua tangannya terangkat ke atas.

“Apa ini? Kalian suruhan siapa?” tanya Maria dan mengangkat tangannya ke atas.

Sekawanan pria itu menyuruh Maria untuk masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, semua keluarga Maria telah ditawan dan ditodong senjata. “Ayah, ibu!”

“Maria! Siapa mereka? Polisi? Kenapa polisi ada di rumahmu?” tanya ayahnya.

“Mereka bukan polisi. Mereka prajurit bayaran.” Jawab Maria. “Siapa yang menyewa kalian?”

Dua buah tembakan mengenai kedua orang tua Maria. Ratha yang melihat itu mencoba melawan dan menyerang orang yang menodongnya. Direbutnya pistol yang ada di pinggang orang itu dan menembak kedua orang yang menawan Maria.

“Lari dan bersembunyi! Panggil anak buahmu!” Ratha beradu tembakan dan memberi waktu bagi Maria untuk bersembunyi. Ratha melihat ada sebuah meja yang kelihatannya cukup tebal untuk menahan peluru. Dilemparnya vas bunga yang ada di meja itu kepada mereka untuk membuat distraksi. Semuanya berlangsung begitu cepat, para mafia itu terkejut.

“Kenapa kamu berkhianat Hantu Abu-Abu? Bos sedih melihat anjing setianya memberontak!” teriak salah satu di antara mereka.

Ratha melihat magasin peluru pistol yang ia curi. Hanya tersisa sedikit, dengan hati-hati ia merangkak dan tidak menimbulkan suara untuk mengambil senapan serbu milik orang yang tewas.

“Hei dia tidak menjawab. Coba cek di balik meja itu. Apa dia terkena tembakan?” perintah seorang mafia.

Seseorang mendekati posisi Ratha bersembunyi dibalik meja ruang tamu yang terbuat dari baja yang dibalik ke samping. Ratha memukul kepalanya dengan pukulan undercut. Digunakannya tubuh orang itu sebagai tameng hidup dan menembaki anggota mafia lainnya.

“Sial! Tembak saja hingga tembus!” perintah orang yang memimpin mereka. “Bos akan sampai ke sini dengan bala bantuan kita.”

Mereka mulai menghujani peluru tubuh teman mereka yang digunakan tameng hidup oleh Ratha. Ratha mengambil granat dari sabuk orang itu dan melemparnya ke depan bersamaan dengan tubuh itu. Ratha kemudian berlarian masuk ke dalam ruangan lainnya.

Ratha mengunci pintu ruangan dapur dengan minibar itu dan mendorong sebuah kulkas untuk mengganjalnya. Dia berpikir cepat benda apa yang ada di dapur ini yang bisa dia gunakan untuk bertahan.

“Semoga Maria sudah bersembunyi di tempat aman.” Ratha bernapas terengah-engah. Dilihatnya ada tetesan darah di lantai. Sepertinya ada peluru yang menembus pahanya. Diambilnya kain dari meja dapur dibersihkannya dan dia balutkan untuk menutupi lukanya sementara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status