“Semuanya lenyapkan barang bukti ini. Pertemuan aliansi berikutnya aku akan mengejutkan kawan kita dengan aku muncul hidup-hidup.” Perintah Maria. “Kamu, Ratha ikut aku pulang. Kamu sudah tidak punya tempat untuk pulang kan?”
“Baik.” jawab Ratha dengan menurut.
“Kamu penurut sekali. Apa kamu didik oleh Herman untuk tidak melawan?” tanya Maria.
Ratha tidak menjawab dan berdiri di depan Maria. “Aku tidak bisa menjelaskannya.”
“Yah aku sudah tahu dari beberapa bekas luka pada dirimu.” Jawab Maria. Mereka berdua menuju ke mobil pribadi milik Maria. “Supirkan, aku tidak bisa menyetir akibat tanganku ini.”
“Baik.” jawab Ratha. “Ke rumah sakit lagi?”
“Rumah. Ikut GPS yang ada di mobil.” Jawab Maria.
“Baik.” Ratha kemudian terdiam.
“Seperti robot saja.” gumam Maria.
“Mohon maaf, kebiasaan saya waktu di militer dahulu.” Balas Ratha. “Aku akan mencoba tidak berbicara formal di depanmu.”
“Itu lebih baik.” Maria membalas. “Kasus kematian keponakanmu ini pasti tidak akan ditangani polisi.”
“Benar sekali. Herman sudah terkenal menyogok kepala polisi di sini.” Kata Ratha. “Aku sendiri yang memimpin negosiasi suap tutup mulut aparatnya.”
“Kalau begitu kamu bisa membantuku berarti? Aku ingin menjual beberapa narkoba kepada anak sekolah. Kamu bisa mengurusnya?” tanya Maria.
“Bisa.” Jawab Ratha. “Berarti kita akan menyenggol keluarga Retjo. Apakah Anda siap untuk merebut bisnis mereka?”
“Belum, kita buat geng baru saja di anak-anak sekolah itu. Setelah terkumpul dan mereka kuat. Barulah kita gunakan mereka untuk menyerang Retjo dkk.” Kata Maria.
Mobil mereka berhenti di perempatan lampu merah. Suasana dalam mobil menjadi hening lagi. melihat seorang pengemis di tepian jalan. Hati Maria tergoda untuk memberikan bantuan.
“Lampu merahnya berapa lama lagi?” tanyanya.
“Seratus tiga puluh detik lagi.” jawab Ratha.
Maria turun dari mobilnya dan memberikan uang senilai 200rb kepada pengemis itu. Lalu dengan cepat ia kembali ke dalam mobil. Dibukanya ponselnya dan barulah teringat kalau malam ini dia akan makan malam dengan orang tuanya.
“Carikan salon terdekat, Ratha. Aku lupa di rumah akan ada acara.” Maria menyenggol bahu Ratha. “Dekat hotel di depan itu adalah langgananku. Kamu ikutlah juga, kamu harus berganti pakaian yang bagus juga.”
“Kenapa?” tanya Ratha. “Aku akan menunggu di luar hingga kamu selesai.”
“Aku akan memperkenalkanmu kepada orang tuaku.” Jawab Maria. “Daripada aku harus bertemu dengan calon jodoh yang dibawakan oleh mereka.”
“Ah begitu.” Kata Ratha. “Baik.”
“Ubah penampilanmu juga. Potong rambut gondrongmu itu dan kumis, serta janggut. Untuk mengubah muka bisa operasi plastik nantinya.” Kata Maria.
Dua puluh menit kemudian mereka sampai di depan salon langganan Maria. Mereka berdua turun dari mobil mereka dan Maria mendahuluinya untuk masuk ke dalam salon tersebut. Setelah mengisi meteran parkir per jam, Ratha barulah mengikuti Maria untuk masuk ke dalam salon.
Terlihat Maria sudah memulai sesi perawatannya dahulu. Ratha diarahkan untuk duduk di sebelah Maria. Rambut gondrongnya dipotong cepak, kumis dan janggutnya habis bersih dicabut dengan lilin.
“Nah bagus.” Puji Maria.
“Te-terima kasih.” Jawab Ratha tersipu.
“Dari reaksimu. Kamu seumur hidup belum pernah mengalami pujian?” tanya Maria.
“Bisa dibilang begitu. Seseorang dulu mengajariku kalau menjadi laki-laki tidak boleh haus akan pujian.” Jawab Ratha. Sembari menunggu Maria selesai perawatan rambutnya, Ratha keluar untuk mencari minuman.
“Mau ke mana? Tidak boleh kalau tidak bersamaku.” Sergah Maria.
“Baiklah.” Ratha kembali duduk di kursi salon. Tiga puluh menit kemudian, Maria selesai dan mengajak Ratha untuk melanjutkan perjalanan kembali. Setengah jam kemudian lagi mereka sampai di parkiran rumah Maria.
“Kedua orang tuaku sudah ada di sini. Ingat, jangan bicarakan apapun soal bisnis gelapku. Anggap saja aku mempunyai bisnis percetakan dan kamu sekretarisku. Ah tidak, ajudan pribadiku saja.” kata Maria, selangkah ia turun dari mobil.
Beberapa pria bersenjata mengepung mereka. Mereka muncul dari semak-semak dan memaksa Maria dan Ratha untuk menyerah. Ratha keluar dari mobilnya, kedua tangannya terangkat ke atas.
“Apa ini? Kalian suruhan siapa?” tanya Maria dan mengangkat tangannya ke atas.
Sekawanan pria itu menyuruh Maria untuk masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, semua keluarga Maria telah ditawan dan ditodong senjata. “Ayah, ibu!”
“Maria! Siapa mereka? Polisi? Kenapa polisi ada di rumahmu?” tanya ayahnya.
“Mereka bukan polisi. Mereka prajurit bayaran.” Jawab Maria. “Siapa yang menyewa kalian?”
Dua buah tembakan mengenai kedua orang tua Maria. Ratha yang melihat itu mencoba melawan dan menyerang orang yang menodongnya. Direbutnya pistol yang ada di pinggang orang itu dan menembak kedua orang yang menawan Maria.
“Lari dan bersembunyi! Panggil anak buahmu!” Ratha beradu tembakan dan memberi waktu bagi Maria untuk bersembunyi. Ratha melihat ada sebuah meja yang kelihatannya cukup tebal untuk menahan peluru. Dilemparnya vas bunga yang ada di meja itu kepada mereka untuk membuat distraksi. Semuanya berlangsung begitu cepat, para mafia itu terkejut.
“Kenapa kamu berkhianat Hantu Abu-Abu? Bos sedih melihat anjing setianya memberontak!” teriak salah satu di antara mereka.
Ratha melihat magasin peluru pistol yang ia curi. Hanya tersisa sedikit, dengan hati-hati ia merangkak dan tidak menimbulkan suara untuk mengambil senapan serbu milik orang yang tewas.
“Hei dia tidak menjawab. Coba cek di balik meja itu. Apa dia terkena tembakan?” perintah seorang mafia.
Seseorang mendekati posisi Ratha bersembunyi dibalik meja ruang tamu yang terbuat dari baja yang dibalik ke samping. Ratha memukul kepalanya dengan pukulan undercut. Digunakannya tubuh orang itu sebagai tameng hidup dan menembaki anggota mafia lainnya.
“Sial! Tembak saja hingga tembus!” perintah orang yang memimpin mereka. “Bos akan sampai ke sini dengan bala bantuan kita.”
Mereka mulai menghujani peluru tubuh teman mereka yang digunakan tameng hidup oleh Ratha. Ratha mengambil granat dari sabuk orang itu dan melemparnya ke depan bersamaan dengan tubuh itu. Ratha kemudian berlarian masuk ke dalam ruangan lainnya.
Ratha mengunci pintu ruangan dapur dengan minibar itu dan mendorong sebuah kulkas untuk mengganjalnya. Dia berpikir cepat benda apa yang ada di dapur ini yang bisa dia gunakan untuk bertahan.
“Semoga Maria sudah bersembunyi di tempat aman.” Ratha bernapas terengah-engah. Dilihatnya ada tetesan darah di lantai. Sepertinya ada peluru yang menembus pahanya. Diambilnya kain dari meja dapur dibersihkannya dan dia balutkan untuk menutupi lukanya sementara.
Maria kini sudah berada di ruang aman rumahnya. Ia yakin di ruangan ini tidak bisa ditembus dan jalan menuju ke sini hanya dia yang mengetahuinya. Di dalam ruangan ini terdapat monitor CCTV rumahnya. Meskipun CCTV di pos keamanan sudah diputus, tapi CCTV yang dikendalikan oleh monitor ini tersembunyi.Segeralah ia mencari keberadaan Ratha. Dilihatnya Ratha sedang membalut lukanya di dapur minibarnya dekat ruang tamu lantai 1 nya. Ada sebuah interkom yang menyambung ke semua ruangan. Satu lagi interkom itu ada di sini. Diangkatnya gagang telepon ini dan menelpon ruang tempat Ratha berada.Dari monitor ia melihat Ratha segera mengambil telepon interkom yang ada di dinding dapur. “Halo? Ini siapa? Tolong panggil bantuan.”“Ini aku Maria. Aku sudah memanggil bantuan. Aku berada di ruang aman. Aku bisa menuntunmu ke sini. Kamu tidak apa-apa?” tanya Maria. “Aku bisa membantumu dengan kamera tersembunyi untuk menuntunmu ke sini.”“Ya. Kakiku terluka tapi masih bisa bergerak meskipun sakit.”
Sesampainya di ruang aman. Maria segera mengunci pintu rahasia tangga tadi. Ratha melihat ada peralatan medis di meja. Dia segera memeriksa lukanya, “Untungnya tidak tembus pelurunya. Tapi rompi anti peluru ini sudah tidak berguna.”“Bagaimana dengan bala bantuanmu?” tanya Ratha.“Mereka sedang beradu tembak di luar.” Jawab Maria.“Pasti para polisi yang berpatroli sudah disogok olehnya untuk tidak muncul hingga pagi.” Kata Ratha. “Sekarang masih jam 10 malam lagi.”“Bagus ada staples medis di kotak medis ini. Akhirnya aku bisa mengeluarkan peluru di pahaku ini.” Ratha mulai mengoprasi sendiri luka pada kakinya. Maria membantunya dengan pencahayaan. “Pengalaman sebagai prajurit elit membantuku juga akhirnya.”“Apakah kamu dulunya polisi elit yang korup?” tanya Maria.“Tidak. Aku prajurit elit dulunya. Hanya saja karena hutang aku menjadi mafia. Herman menawarku mahal.” Jawab Ratha. “Berikan staplesnya.”“Menurutmu bagaimana selanjutnya?” tanya Maria.“Bertahan di dalam sini. Aku akan
Ratha membuka perlahan matanya dan mendapati dirinya sudah berada di dalam kamar Lavrinda. Semua luka di tubuhnya sudah diperban dan diobati. Lavrinda tampak sedang siaran langsung bermain game di komputernya.Duduklah dia di pinggiran kasur sambil mencoba mengingat apa yang terjadi kemarin. Dia tidak ingat bagaimana dia bisa mendapatkan luka di tubuhnya. Lavrinda yang menyadari Ratha sudah bangun menghentikan kegiatannya dan mematikan komputernya.“Tepat sekali kamu sudah bangun. Mari temani aku ke klub. Aku mau bertemu dengan para investorku.” Pinta Lavrinda.“Baik.” jawab Ratha. “Apakah Anda yang mengobati saya? Saya berterima kasih.”“Ya. Tentu saja aku!” balas Lavrinda dengan bangga. “Kata Papa kamu sedang bertarung melawan para orang yang mencoba menculikku.”“Bos Herman ada di mana?” tanya Ratha. “Ada yang ingin kubicarakan dengannya soal keponakan saya.”“Bagaimana aku bilangnya ya. Papa menyuruhku menyampaikan ini padamu. Keponakanmu meninggal dan tidak bisa diselamatkan dala
Ratha duduk di samping Lavrinda yang kini bersiap-siap untuk bernegosiasi. Adler, wakil presiden negara ini membuka semua penyamarannya dan menyuruh pengawalnya untuk berjaga di luar. “Memang daerah ini yang terbaik. Sangat strategis sekali untuk bisnis kita.”“Kamu minta dana berapa? Tidak berniat untuk ekspansi ke luar provinsi ini?” tanya Adler.“Kalau Anda bisa menjamin aparat dan pemerintahan daerahnya bisa disuap tidak apa-apa. Jika tidak, satu kesalahan sedikit pemerintah pusat akan menciumnya.” Jawab Lavrinda. “Lima ratus juta sudah cukup untuk ekspansi ke provinsi sebelah. Tetapi Anda harus menempatkan orang Anda di sana untuk menjamin kita bisa menguasai aparatnya.”“Di sana ada kartel saingan ayahmu. Kartel Nx9 pimpinan Alejandro alias B.G.” jawab Adler. “Polisi dan pemerintah di sana sudah disuap oleh mereka. Seharusnya kamu ajak mereka untuk bergabung dengan ayahmu.”“Aku punya rencana lain. Rencana ini bisa menaikkan imej Anda di mata publik. Bagaimana Anda memerintahkan
Sang supir menyalakan lagu Fly Me To The Moon untuk mempermesra suasana mereka. Lavrinda memberikan isyarat kepada sang supir untuk mengambil rute paling jauh. Supir mereka adalah seorang wanita.“Apa Anda yakin Putri? Bagaimana kalau dia menolak?” tatap supir itu dari pantulan kaca tengah mobil.“Yakin.” Lavrinda menjawab, dia mulai mendekatkan dirinya dengan Ratha. Dia meminta Ratha untuk mendekatkan kepalanya ke dadanya. “Boleh kah?”Tangan Lavrinda perlahan mengelus paha Ratha. Raut muka Ratha tampak panik dan gelisah. Dia ingin menjawab tidak, tetapi Lavrinda sepertinya menginginkannya. “J-jangan! A-aku ... .”Gadis itu menatap tajam mata Ratha seolah-olah mengancamnya. Ratha mengingat kembali kejadian traumatiknya di masa kecilnya, di mana ia dilecehkan oleh seorang biarawati tempatnya dibesarkan. “He-hentikan.”Suasana hati Lavrinda berubah drastis dia mencekik leher Ratha. Ratha tidak bisa melawan karena di dalam dirinya dia tidak bisa dan tidak boleh melawan Lavrinda. Pria it
Dua hari berlalu, Ratha kini sudah merasa lumayan pulih. Dia perlahan membuka matanya dan mendapati kalau dia sedang tidur bersama Lavrinda di kamarnya. Dalam kondisi telanjang bulat dengan salah satu lengannya dijadikan guling oleh Lavrinda.“Tidur lagi.” pinta Lavrinda dengan lembut. Dia mencium bibir Ratha dengan paksa.“Mmm!” Ratha meminta untuk melepaskan diri.Lavrinda terus memaksanya hingga Ratha menyerah. “Bagaimana? Kamu bisa menikmatinya?”Ratha tidak merasakan apapun. Dingin, meskipun dia merasa sedikit hangat ketika berciuman dengan Lavrinda. “Dingin, maaf aku tidak merasa apa-apa.”PLAK!Lavrinda menampar Ratha. Air mata Ratha mulai mengalir dan memeluk erat Lavrinda. “Ja-jangan sakiti aku lagi.”“Kalau tidak mau aku sakiti. Cintai aku sepenuh hati hingga kamu merasakan kehangatan cintaku.” Bisik Lavrinda dengan mesra. Ratha membalasnya dengan anggukan dan menatap melas Lavrinda.“Aku merasakan sesuatu yang berdiri di bawah sana.” Tangan Lavrinda meraba kemaluan Ratha.“
“Berapa jam kita tertidur tadi?” tanya Ratha saat sedang mandi ke tiga kalinya hari ini bersama Lavrinda.“Sekarang sudah jam 4 sore hehe.” Jawab Lavrinda. “Aku akan mengeringkan badan dan menata rambutku dulu. Cepat, nanti kita dimarahi Papa.”Mereka berdua keluar dari kamar mandi dan segera berlari menuju kamar mereka. Ratha segera mengeringkan badannya dan memakai pakaian setelan rapinya. Kemudian dia membantu Lavrinda menyisir rambutnya.“Rambut yang indah.” Puji Ratha. “Aku suka warna putih ini.”“Terima kasih. Ini warna rambut asliku.” Balas Lavrinda. “Kamu tahu, aku terlahir dengan kelainan warna rambut. Tapi kalau kamu mengatakan seperti itu, aku tidak akan mengubah warna rambutku lagi.”“Dikuncir apa ini?” tanya Ratha.“Seperti tuan putri.” Jawab Lavrinda.Ratha menuruti permintaan kekasihnya itu. Gaya rambut itu memang cocok bagi Lavrinda. Terdengar suara perut keroncongan dari Ratha. Lavrinda terkekeh mendengar suara itu, “Ayo kita cepat makan. Lalu kamu segera menemui Papa
Kue yang dibelinya tadi disajikan oleh Lavrinda di atas piring. Dipotongnya kue tersebut untuknya dan Ratha. Ratha menyendok secuil kue dan mengarahkan sendoknya ke mulut Lavrinda, “Aah.”Melihat inisiasi dari Ratha, gadis itu menerimanya. Ratha tersenyum, “Aku tadi melihat ada pasangan di toko kue melakukan ini. Aku ingin menirunya.”“Kuenya jadi enak.” Balas Lavrinda dan gantian menyuapi Ratha.Maria tidak kuat melihat mereka bermesraan dan akhirnya menuju kamarnya. Di dalam dirinya terjadi konflik, kok bisa begitu? Dari pengakuan Ratha saat pertama kali bertemu dengannya dia dalam kondisi stres dan penuh tekanan. Kini dia tampak biasa-biasa saja. Sungguh tidak manusiawi apa yang dilakukan Herman dan Lavrinda, menggunakan obat untuk mengontrol Ratha.“Aku sudah mempersiapkan untuk besok. Aku dengar kamu mendapat tugas tambahan dari Papa. Aku bisa menyusup sendirian ke sana.” Kata Lavrinda.“Tidak, urutannya aku menemani dahulu. Barulah aku melaksanakan tugas tambahanku.” Balas Ratha