Share

5. Kegelapan Malam

Xi terus berlari tanpa memedulikan arah. Ketika hampir kehabisan napas, barulah ia sadar kalau sudah berada di tengah hutan sendirian. Gelap. Ia tak tahu di mana posisinya saat ini. Selain membaca buku dan bermain pedang, Xi lemah di segala bidang. Salah satunya adalah, ia tak mengenal arah mata angin. Jangankan membedakan mana barat dan mana timur, untuk pulang ke rumahnya saja ia terkadang bingung saat menemui persimpangan.

Dengan tubuh gontai, Xi terus berjalan membelah malam. Saat ini bukan kegelapan ataupun binatang malam yang ia takutkan. Ia hanya mengkhawatirkan sang kakak. Rhein pasti sangat marah dan panik mencarinya.

Mengingat hal itu, Xi pun tersenyum getir. “Kakak? Apa aku masih boleh memanggilnya seperti itu?”

Walau hati Xi masih terluka, ia tahu betul kalau kakak dan orangtuanya tak pernah berniat buruk padanya. Mereka pasti memiliki alasan yang kuat. Itulah sebabnya ia bertekad untuk kembali dan meminta penjelasan yang lebih rinci. Siapa dirinya dan siapa orang tua kandung yang sebenarnya. Ia ingin tahu mengapa ia harus berpisah dengan keluarganya dan dititipkan pada keluarga Lacklan.

Menggosokkan kedua tangan untuk menghalau dingin, Xi baru sadar kalau pakaian yang ia gunakan hanyalah pakaian yang tidak terlalu tebal. Angin dengan mudah membuat tubuhnya menggigil. Ia harus menemukan tempat berlindung untuk menghangatkan badan.

Setelah lama berjalan, Xi akhirnya melihat cahaya di kejauhan. Ia merasa senang. Mungkin ia bisa meminta pertolongan dari penduduk desa untuk bermalam malam ini. Namun, saat baru saja akan mengetuk salah satu rumah penduduk, ia pun teringat pesan ibundanya.

“Anakku, kita harus menghormati privasi orang lain. Jika tak ada keperluan yang sangat mendesak, sebaiknya kau tak bertamu ke rumah orang lain malam-malam. Itu akan mengganggu istirahat mereka.”

Xi terlihat kebingungan. Keadaannya sekarang ini termasuk mendesak atau tidak?

“Keadaan mendesak itu seperti apa, Bu?”

“Keadaan di mana sebuah nyawa menjadi taruhannya.”

Xi terdiam. Saat ini nyawanya tidak dalam kondisi berbahaya. Ia hanya butuh tempat untuk bermalam karena kedinginan, itu saja. Akhirnya ia pun memutuskan untuk tidur di pinggir jalan dan bertanya pada penduduk desa jika matahari sudah terbit.

Baru saja ingin mencari tempat yang lebih aman, tiba-tiba perut Xi berbunyi. Ia merintih saat merasakan perutnya yang perih. Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat dingin. Xi baru ingat kalau hari ini perutnya masih kosong saat memakan sepiring machi yang pedas dan asam. Sang Kakak sudah berkali-kali memperingatkannya kalau ia tak boleh memakan machi dalam keadaan perut kosong. Inilah akibatnya jika ia tak menurut.

“Ugh, Kak Rhein.” Xi kembali teringat akan kakaknya itu. Ia ingin segera pulang. Ia sudah tak peduli lagi siapa pun orang tua kandungnya. Yang ia inginkan hanyalah bersama sang kakak dan menjalani kehidupan seperti biasa.

Xi berjalan tertatih sambil memegangi perutnya. Ia sudah tidak tahan lagi. Tubuhnya terasa sangat lemas dan sulit digerakkan.

“Woaa! Coba lihat, siapa yang ada di sini?” Tiga pria yang sedang mabuk tiba-tiba muncul dan menghampiri Xi.

“Astaga, bukankah ini Nona Xiriu? Bidadari angkuh dari desa Venville itu?” ucap salah satu temannya sambil menatap Xi lekat-lekat.

Xi merasa semakin mual. Bau alkohol yang keluar dari mulut mereka membuat perutnya terasa diaduk. Ingin rasanya ia mengeluarkan semua isi perutnya di depan para pria pemabuk itu, tapi ia masih menahannya.

“Menyingkirlah, aku sedang tak ingin meladeni manusia tak berguna seperti kalian,” ucap Xi sambil terus berjalan.

“Oh, ya ampun. Ternyata mulutnya masih pedas seperti biasanya. Tapi kali ini kami tak akan melepaskanmu, Nona!”

Lelaki itu tertawa sambil bertepuk tangan memberi kode. Kali ini tak kurang dari lima belas orang muncul dari berbagai arah. Xi mengernyitkan dahinya. Dalam kondisinya yang seperti ini, apa ia bisa melawan mereka semua?

Apa yang dikhawatirkan Xi benar-benar terjadi. Karena menahan sakit dan tak dapat berkonsentrasi, ia pun tak bisa melawan kekuatan para pria dewasa itu. Ia benar-benar tak berdaya saat salah satu dari mereka membopong dan membawanya ke sebuah gubuk kosong.

“Apa yang kalian lakukan? Cepat lepaskan aku, atau kalian akan berhadapan dengan keluarga Lacklan!”

“Hahaha, apa kau pikir kami akan takut, Nona? Semua orang sudah tahu kalau beberapa hari lalu keluarga Lacklan semua mati dihabisi perampok. Lalu, apalagi yang harus kami takutkan?”

Perampok? Xi mengerutkan dahinya saat mendengar hal itu. Jelas-jelas Kepala Desa mengatakannya sendiri kalau itu adalah ulah Ratu Iblis. Namun kenapa mereka malah mengatakan kalau itu ulah perampok?

“Sudahlah, Nona. Kau tak perlu banyak beralasan lagi. Jika kau mau menurut, kami akan melayanimu dengan lembut.”

“Kalian sudah gila! Aku ini laki-laki, jadi menyingkirlah!” Xi berusaha melawan dan mendorong salah satu lelaki yang mendekatinya.

“Hahaha, omong kosong apa yang kau bicarakan, Nona? Mana mungkin bidadari secantik dirimu itu laki-laki?”

“Aku tidak bercanda, cepat lepaskan aku!”

Alih-alih mendengar, pria itu justru memerintahkan anak buahnya untuk menahan kedua tangan dan kaki Xi. Tatapan liarnya melucuti seluruh tubuh anak malang itu. Xi terus memberontak. Walau perutnya terasa semakin sakit, ia sama sekali tak berniat untuk membiarkan dirinya dimakan serigala yang kelaparan ini.

“Semakin melawan, kau terlihat semakin menantang. Astaga, sebenarnya terbuat dari apa kulit putih mulusmu ini?” ucap sang ketua kawanan sambil menyentuh wajah Xi.

“Hentikan! Aku bilang hentikan!”

Xi kembali meronta saat pria itu mulai merobek paksa pakaiannya. Kepalanya semakin terasa pening dengan napas yang memburu. Beberapa detik kemudian, pandangannya menggelap dan ia pun tak sadarkan diri.

***

Aroma obat-obatan mengusik indra penciuman Xi. Perlahan ia membuka kelopak mata dan mendapati seorang gadis cantik memandanginya dengan jarak yang sangat dekat. Xi terdiam, menatap balik tanpa berkedip tepat ke dalam bola mata gadis itu.

“Kau sangat tidak sopan, Tuan Muda. Bagaimana bisa kau melihat gadis dengan tatapan seperti itu?” rajuk gadis itu tersenyum malu-malu.

Xi masih diam lalu mengerjap dua kali.

“Apa kau tidak ingin bertanya, ‘aku di mana?’ atau ‘kau siapa?’. Biasanya orang yang baru siuman mengatakan hal itu, bukan?” celoteh sang gadis sambil mengerucutkan bibirnya.

Dahi Xi berkerut. Gadis ini benar, di mana aku saat ini? Mengapa Kak Rhein tak ada di sisiku saat aku bangun? Memori Xi berputar cepat dan langsung teringat akan kejadian malam itu. Wajahnya kembali pias.

“Tenanglah, para lelaki berengsek itu sudah kubunuh malam itu juga. Kau tak perlu mengkhawatirkan mereka lagi,” jelas sang gadis dengan santai.

Xi kembali diam dengan wajah kebingungan.

“Malam itu, aku kebetulan sedang melintas dan melihat para lelaki busuk itu sedang ….” Gadis itu berdeham pelan lalu melanjutkan kembali kata-katanya, “aku hanya tak suka dengan perbuatan bejat mereka. Untung saja aku datang tepat waktu.”

Xi meremas kuat selimut yang menutupi tubuhnya. Ada yang harus ia tanyakan pada gadis ini untuk memastikan satu hal.

“Nona, a-apa saat itu ada noda darah?” Xi bertanya dengan wajah bersemu merah. Menurut buku yang ia baca, seseorang akan kehilangan kesuciannya saat lelaki lain menyentuhnya dan meninggalkan noda darah. Ia tak mengerti mengapa bisa ada noda darah, karena buku yang ia baca tak menjelaskannya secara detail.

“Ya, ada banyak darah saat itu,” ujar sang gadis ringan.

Xi terkesiap. Tubuhnya melemas. Air mata perlahan turun di pipinya. Ia sudah tak suci lagi. Bagaimana ia akan bertemu Kak Rhein nanti?

Di saat Xi sibuk dengan pikirannya sendiri, gadis itu hanya sedikit memiringkan kepalanya—menatap Xi keheranan.

Mengapa anak ini justru bersedih? Tentu saja akan ada banyak darah saat aku membunuh mereka, bukan? Aku datang tepat waktu sebelum mereka menyentuhnya. Jadi, seharusnya ia bersyukur bukan bersedih seperti ini!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status