Angin bertiup lembut membelai dedaunan yang dengan riang bergoyang. Gesekan demi gesekannya menciptakan musik alam yang amat indah, membuat siapa pun terlena akan alunannya.Ditengah suasana damai itu, seorang bocah berparas cantik nampak asyik membaca buku di bawah pohon yang rindang. Kulitnya yang putih bersih bagaikan giok murni yang berkilau terkena sinar matahari.Bola mata beriris kelam dengan kilau keemasan itu bergerak secara perlahan, mengikuti baris demi baris bacaan yang menyita seluruh perhatiannya. Ia sama sekali tak peduli dengan sang angin yang sejak tadi asyik menggoda rambut hitamnya yang lembut bagai sutra.Baru saja ia akan membalik halaman bukunya, terdengar beberapa pasang langkah mendekat. Ia tak bergeming. Dengan tenang ia membalikkan halaman buku, lalu kembali membaca."Hei, Nona! Apa kau sendirian hari ini?"Anak itu tak menjawab. Ia masih terlihat tenang membaca tanpa mempedulikan sepuluh pemuda yang kini berdiri mengelilinginya."Tuan Muda, sepertinya Nona X
Suasana begitu tegang. Mereka duduk saling berhadapan sambil menyesap teh hangat yang disediakan Nyonya Lacklan. Tak ada satu pun yang bersuara di keheningan itu. Hanya suara seruputan air, dan dentingan halus gelas ketika mereka meletakkannya kembali di meja.Aiden melirik ayahnya yang terlihat gugup. Dalam hati ia merutuk, apa keputusannya untuk meminta maaf adalah hal yang salah? Lihatlah, bahkan seorang kepala desa seperti Reamus akan panas dingin saat berhadapan langsung dengan kepala keluarga Lacklan.Namun, sebagai lelaki sejati Aiden harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Walau pada awalnya ia hanya berniat usil, namun apa yang sudah terjadi sungguh diluar batas. Maka dengan seluruh keberanian yang ada, ia pun akan mengakui kesalahannya."Tuan Lacklan, saya benar-benar menyesal. Saya telah bersikap kasar kepada Nona Xi dan bahkan hampir mencelakainya."Pria tua yang sejak tadi hanya menatap kedua tamunya dengan tenang itu mengeluarkan suara "hmm". Aiden menganggap itu seb
Sudah tiga hari ini Xi hanya diam di kamarnya. Tidak, kurang tepat jika kamar ini disebut kamarnya. Karena sejak kejadian tiga hari lalu, Xi dan Rhein mengungsi di kediaman Kepala Desa Reamus.Wajahnya yang putih semakin pucat karena tak tersentuh sinar matahari. Matanya yang biasa berbinar indah, kini menjadi sembab dengan lingkaran hitam di sekelilingnya.Rhein yang melihat keadaan Xi tak dapat berkata apa-apa. Peristiwa pembantaian malam itu memang sangat mengerikan. Tak ada satu pun yang selamat kecuali mereka berdua. Selebihnya, semua menjadi mayat dengan tubuh yang terpotong-potong."Xi, makanlah sedikit," bujuk Rhein sambil meletakkan beberapa piring makanan di meja. Xi hanya melirik sekilas, lalu kembali melamun menatap jendela yang tak pernah dibuka."Makanlah, jika kau sampai sakit kakak akan merasa sangat bersalah kepada mendiang Ayah dan Ibu." Rhein tak menyerah membujuk Xi. Dengan sabar ia menyendok nasi dan lauk, lalu mendekatkannya di depan mulut Xi.Xi menatap makanan
Malam semakin dingin, tapi Xi masih berada di atas rumah pohon itu bersama Aiden. Setelah beberapa kali keluar-masuk kamar mandi, akhirnya Aiden kelelahan dan tertidur di samping Xi. Wajah pemuda itu terlihat sangat pucat. Jika saja Xi tak memberikannya pil hitam untuk obat pencernaan, mungkin saat ini Aiden sudah terkapar lemas di kamar mandi. Langit terlihat lebih muram malam ini. Bintang-bintang enggan bekerlip, sementara bulan yang seharusnya purnama lebih memilih sembunyi di balik awan. Xi hanya berharap kalau malam ini tak akan terjadi badai lagi. “Bagaimana keadaan Tuan Muda Xiriu?” Sebuah suara membuyarkan lamunan Xi. Hati-hati ia pun menengok ke bawah. Tuan Reamus dan Kakak. Apa mereka baru pulang? Kenapa mereka mengobrol di tempat seperti ini? “Sepertinya ia sudah jauh lebih baik. Terima kasih untuk Tuan Muda Aiden yang sudah bersusah payah menghiburnya.” Rhein tersenyum sopan sambil sedikit membungkuk untuk berterima kasih. “Hahaha, anak itu memang suka bertindak seena
Xi terus berlari tanpa memedulikan arah. Ketika hampir kehabisan napas, barulah ia sadar kalau sudah berada di tengah hutan sendirian. Gelap. Ia tak tahu di mana posisinya saat ini. Selain membaca buku dan bermain pedang, Xi lemah di segala bidang. Salah satunya adalah, ia tak mengenal arah mata angin. Jangankan membedakan mana barat dan mana timur, untuk pulang ke rumahnya saja ia terkadang bingung saat menemui persimpangan. Dengan tubuh gontai, Xi terus berjalan membelah malam. Saat ini bukan kegelapan ataupun binatang malam yang ia takutkan. Ia hanya mengkhawatirkan sang kakak. Rhein pasti sangat marah dan panik mencarinya. Mengingat hal itu, Xi pun tersenyum getir. “Kakak? Apa aku masih boleh memanggilnya seperti itu?” Walau hati Xi masih terluka, ia tahu betul kalau kakak dan orangtuanya tak pernah berniat buruk padanya. Mereka pasti memiliki alasan yang kuat. Itulah sebabnya ia bertekad untuk kembali dan meminta penjelasan yang lebih rinci. Siapa dirinya dan siapa orang tua k
Sudah satu jam berlalu namun Xi belum juga kembali. Rhein jadi semakin gelisah. Kemana anak itu? Atau jangan-jangan dia tersesat?Sambil merutuki kecerobohannya, Rhein langsung berlari ke arah Xi pergi tadi. Bagaimana ia bisa lupa kalau Xi buta arah? Sudah berapa kali anak itu keluar rumah sendirian, namun malah tersesat ke sembarang tempat.Rhein masih ingat betul pertama kali Xi kesal karena tidak diizinkan untuk membeli "machi". Anak itu diam-diam kabur dari rumah dan berakhir di rumah serigala. Ya Tuhan, ingin rasanya Rhein mengarungi Xi saat itu juga. Apa dia tak bisa membedakan jalan menuju pasar yang ramai dengan jalan menuju hutan yang gelap?Untunglah saat itu Xi baik-baik saja. Para serigala yang mengeroyoknya dipukuli seperti anjing. Hewan pemuja bulan purnama itu dibuat tak berkutik di hadapan Xi. Jangankan untuk menyerang, baru mengendus aroma Xi dari jarak satu mil saja mereka sudah kocar-kacir."Kak Rhein!"Rhein menghentikan langkahnya dan menoleh. Didapatinya Aiden ya
Sinar matahari yang menyilaukan menyapa dua pemuda yang nampak kelelahan di bawah pohon. Wajah mereka terlihat kuyu dengan lingkaran hitam yang menghiasi mata.Aiden menguap, lalu melirik Rhein yang sedang menusuk-nusukan ranting ke dalam tanah. Pemuda itu tak mengerti dengan apa yang sedang dilakukan Rhein. Jangan bilang kalau Rhein sangat frustasi dan ingin menggali kuburannya sendiri. Tidak, tidak, mau sampai kapan kuburan itu selesai jika hanya digali dengan ranting. Apa Aiden harus menemukan sekop atau semacamnya untuk membantu?Sibuk dengan pikirannya, Aiden mendengar suara ranting yang dipatahkan. "Eh? Apa Kak Rhein sudah selesai?" gumam Aiden dalam hati."Ini sudah hari ketiga, namun keberadaan Xi belum juga diketahui," ujar Rhein sambil memandang langit yang terhalang dedaunan."Apa tidak sebaiknya kita kembali dulu? Mungkin ayah menemukan beberapa petunjuk," ucap Aiden memberi usul.Bukan tanpa alasan Aiden mengusulkan untuk pulang, pasalnya mereka sudah berkeliling ke beber
Sudah beberapa hari ini Xi tinggal di gubuk asing bersama Asheera–gadis yang menyelamatkannya. Xi tak banyak bicara, hanya saja gadis berambut ungu itu tak pernah berhenti berceloteh dan menanyakan ini itu hingga membuat kepala Xi pusing tujuh keliling.Seperti saat ini."Tuan Muda, apa kau yakin akan terus berpakaian seperti ini? Identitasmu sangat membingungkan. Aku harus memanggilmu Tuan Muda atau Nona Muda nantinya?"Xi hanya mendesah pelan. Siapa juga yang mau untuk terus memakai pakaian perempuan seperti ini? Jika bukan karena ia sudah berjanji pada mendiang ayahnya, xi juga tak ingin seperti ini. Lagi pula batas waktunya hanya tinggal dua tahun lagi, jadi itu bukan masalah besar.Lalu ..."Tuan Muda, wajahmu ini sangat ... bagaimana aku harus mengatakannya, ya?" Asheera menggaruk kepalanya yang tak gatal lalu menatap Xi lebih dekat. "Cantik, ini terlalu luar biasa, bahkan aku iri dengan kecantikanmu. Tuan Muda, apa kau yakin Tuhan tak salah meletakkan jenis kelaminmu?"Xi kali