Suasana begitu tegang. Mereka duduk saling berhadapan sambil menyesap teh hangat yang disediakan Nyonya Lacklan. Tak ada satu pun yang bersuara di keheningan itu. Hanya suara seruputan air, dan dentingan halus gelas ketika mereka meletakkannya kembali di meja.
Aiden melirik ayahnya yang terlihat gugup. Dalam hati ia merutuk, apa keputusannya untuk meminta maaf adalah hal yang salah? Lihatlah, bahkan seorang kepala desa seperti Reamus akan panas dingin saat berhadapan langsung dengan kepala keluarga Lacklan.Namun, sebagai lelaki sejati Aiden harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Walau pada awalnya ia hanya berniat usil, namun apa yang sudah terjadi sungguh diluar batas. Maka dengan seluruh keberanian yang ada, ia pun akan mengakui kesalahannya."Tuan Lacklan, saya benar-benar menyesal. Saya telah bersikap kasar kepada Nona Xi dan bahkan hampir mencelakainya."Pria tua yang sejak tadi hanya menatap kedua tamunya dengan tenang itu mengeluarkan suara "hmm". Aiden menganggap itu sebagai awalan yang bagus karena nampaknya ayah Xi ini terlihat cukup ramah. Yang tidak ia perhatikan, tangan ayahnya di bawah meja sudah gemetaran dan berkeringat dingin."Saya benar-benar menyesal dan berharap Nona Xi mau memaafkan kesalahan saya," ujar Aiden lagi sambil melirik ke arah Xi yang sejak tadi hanya menunduk di samping Rhein."Tapi, saya juga benar-benar kagum dengan Nona Xi. Tidak hanya pandai bertarung, ia juga mampu menyembuhkan luka Kak Rhein yang cukup parah," Aiden menatap Tuan Lacklan dengan penuh semangat, "Itu sangat luar biasa. Bahkan jika seluruh pemuda di desa ini disatukan, aku rasa tak ada yang bisa menandingi Nona Xi. Tuan, bisakah Anda mengajari saya juga agar sekuat Nona Xi?"Tuan Lacklan hanya terdiam. Wajahnya yang sejak tadi terlihat tenang kini berubah gelap. Tatapannya menjadi tajam saat melihat kedua anaknya yang semakin tertunduk dalam."Habislah kita," bisik Xi pelan di samping kakaknya.Rhein terlihat jauh lebih tegang dibandingkan adiknya. Tanpa menunggu sang Ayah bersuara, ia langsung jatuh berlutut."Ananda mohon ampun, Ayah. Semua salah Ananda karena tak bisa menjaga Adik dengan baik."Melihat situasi itu, Aiden menjadi kebingungan. Apa yang terjadi? Apa dia telah mengatakan sesuatu yang salah? Kenapa Tuan Lacklan terlihat murka? Bukankah dia seharusnya merasa bangga?Reamus sang kepala desa menepuk dahinya. Habislah sudah. Apa yang ia takutkan sepertinya akan terjadi. Bagaimana bisa ia mempunyai anak seceroboh Aiden. Jika bukan karena Aiden satu-satunya putra penerus keluarga, mungkin saat ini ia sudah menenggelamkannya ke dalam sumur kering di gerbang desa.Tuan Lacklan bangkit dari duduknya dan berdiri di depan Aiden yang tengah berlutut. Tangannya terkepal erat sebelum mengambil alat pemukul yang tergantung di dinding."Kau tidak hanya membiarkan adikmu bertarung, tapi juga membiarkannya menggunakan kekuatan untuk mengobatimu?" Suara Tuan Lacklan masih terdengar tenang walau wajahnya terlihat sangat menyeramkan. "Apa kamu sudah lupa akan tugasmu, Rhein?""Ananda bersalah dan siap menerima hukuman Ayah." Rhein sudah pasrah, ia bersujud sampai suara dentuman dahi dan lantai itu terdengar jelas.Nyonya Lacklan yang melihat itu hanya bisa menahan napas sambil menggenggam tangan Xi erat-erat. Wanita paruh baya yang masih memperlihatkan jejak kecantikan di masa mudanya itu tak mampu berbuat apa-apa. Perkataan suaminya adalah hukum di rumah ini. Tak ada yang berani menentangnya bahkan istrinya sekalipun."Bagus kalau kau menyadari kesalahanmu."Ctar! Ayunan kayu pemukul berwarna hitam legam itu mendarat keras di punggung Rhein. Rasa perih langsung menyusul bersamaan dengan pakaiannya yang terkoyak.Ctar! Ayunan kedua kembali datang tanpa ampun. Kini bukan hanya pakaiannya, namun pemukul yang terbuat dari kayu langka itu berhasil mengoyak kulit tubuh Rhein hingga mengalirkan darah."Hentikan, Ayah!" Xi berusaha bangkit, namun sang Ibu justru menahannya. Xi memandang ibunya dengan tatapan memohon, namun sang ibu hanya menggeleng lemah.Tuan Lacklan hanya melirik Xi sekilas, lalu melanjutkan hukumannya. Xi menjadi lebih panik, terlebih saat melihat Rhein yang nampak kewalahan menahan sakit tanpa bersuara."Ayah, kumohon hentikan. Aku yang sudah melanggar aturan, mengapa harus Kakak yang menerima hukuman atas kesalahanku? Kumohon ayah, jangan pukul Kak Rhein lagi!" ucap Xi panik masih ditahan ibunya."Tidak, tidak, ini kesalahanku, Tuan Lacklan. Bukankah seharusnya aku yang dihukum?" Aiden ikut menimpali.Kepala Aiden langsung dipukul oleh ayahnya yang mendengus. "Diamlah, atau hukuman dariku akan bertambah.""Tapi Ayah, Kak Rhein tak melakukan kesalahan apapun."Lagi-lagi sang ayah memelototinya. Aiden hanya bisa kembali diam dan melihat drama keluarga yang tak dimengertinya ini."Aku harap ini adalah yang terakhir kalinya," ujar Tuan Lacklan dengan suara berat, "Ingat posisi dan tugasmu, Rhein!"Tangan yang memegang pemukul itu kembali diangkat tinggi-tinggi. Semua seakan berhenti bernapas dengan mata terbelalak. Rhein pun hanya pasrah memejamkan mata, menanti pukulan terakhir yang mungkin akan membuatnya tak bisa bangun dari tempat tidur selama sebulan penuh."Uhuk!"Ayunan pemukul Tuan Lacklan berhenti di udara. Ia menoleh ke asal suara tadi dan mendapati Xi meremas jantungnya sambil terbatuk."Uhuk! Uhuk!""Jika kau ingin bersandiwara untuk menolong kakakmu, lupakan saja Xi," ujar ayahnya dingin."Ayah, aku tidak.... Uhuk! Uhuk!" batuknya semakin menjadi. Cairan merah kental menyelusup di antara sela jarinya.Sang Ibu yang sejak tadi berada di samping Xi terlihat panik. Ia tak menyangka bahwa penyakit putra bungsunya akan kambuh disaat seperti ini."Xi, apa yang terjadi? Suamiku, Xi tidak sedang bercanda!" ucap Nyonya Lacklan sambil meraih tangan Xi yang kini berlumuran darah.Tanpa pikir panjang, Tuan Lacklan langsung melempar pemukul di tangannya dan berlutut‐-mensejajarkan tubuhnya--di depan Xi."Ada apa, Nak? Apa jantungmu sakit lagi? Bagaimana perasaanmu?" tanya Tuan Lacklan khawatir sambil memeriksa seluruh tubuh Xi.Xi menggeleng pelan. Namun sang Ayah langsung terkesiap ketika Xi kembali batuk dan menyemburkan darah."Kakak...." wajah Xi terlihat sendu melihat sosok kakaknya yang masih berlutut tak berdaya menatapnya.Sang Ayah menghela napas panjang. Lagi-lagi ia kalah. Setelah ia memberikan isyarat kepada Rhein, ia kembali menghampiri tamunya yang sejak tadi terpaku, seolah tidak terjadi apa-apa."Maaf atas kejadian ini, Tuan Reamus.""Tidak, tidak, justru kami yang minta maaf. Gara-gara kami...." Tuan Reamus terlihat agak bingung harus berkata apa.Aiden yang sejak tadi diam mengerutkan dahinya melihat Rhein yang dengan hati-hati menggendong Xi. Bukan, bukan karena Rhein yang menggendong Xi seperti pengantin. Tapi karena Xi kini menyeringai dengan tatapan yang mengerikan.Tengkuk Aiden meremang. Sepertinya ia akan mengalami mimpi buruk setelah ini. Berurusan dengan Xi bukanlah hal yang baik. Entah apa yang akan terjadi pada dirinya kelak.***"Kau sudah keterlaluan, Xi!" tegur Rhein saat mendudukkan Xi di tepi ranjangnya.Dengan lembut ia membersihkan noda darah yang masih menempel dengan sapu tangan yang sudah dibasahi. Xi hanya tertawa kecil, menampilkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi."Sudah kubilang, itu salah ayah sendiri," ucapnya tak mau mengalah."Tapi tetap saja berbohong itu tidak baik. Menggigit lidahmu sendiri sampai terluka seperti itu...." Rhein mengerutkan dahinya lalu menggeleng, "Kami tak pernah bisa menang berargumen denganmu."Lagi-lagi Xi hanya tertawa. Namun, kali ini tawanya langsung terhenti saat melihat sosok yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya."A-ayah...."Sang Ayah hanya tersenyum tipis. Jejak amarah sudah terhapus di wajahnya. Dengan santai ia mendekati Xi dan membelai kepala anak itu penuh dengan kasih sayang."Ayah, a-aku....""Ayah tahu kau sangat menyayangi kakakmu. Tapi kau tak boleh lupa pesan ayah, Xi. Kakakmu adalah pelindungmu. Setiap pelindung bertanggung jawab penuh atas Tuannya," ucap Tuan Lacklan penuh penekanan."Tapi Ayah, aku bukan....""Rhein," sang Ayah memotong kata-kata Xi yang ingin kembali protes, "Malam ini akan ada badai, tidurlah bersama adikmu. Jika badai tak dapat dihentikan, kau tahu apa yang harus kau lakukan."Wajah Rhein berubah tegang. Dengan gugup iapun mengangguk. "Ananda menerima perintah Ayah."***Malam semakin larut. Rhein tidur menyamping sambil memandangi Xi yang tertidur lelap. Adiknya ini memang benar-benar mempesona. Jika sedang tertidur pulas seperti ini, Xi bagai bayi malaikat yang sangat menggemaskan.Rhein mengerjapkan matanya. Dahi Xi berkerut seakan menahan sakit. Butiran keringat mengalir di dahinya. Apa ia sedang mimpi buruk?Saat Rhein akan menyeka keringat di dahi Xi, dari luar terdengar suara tiupan angin yang sangat kencang hingga merobohkan sesuatu.Alih-alih menyeka keringat Xi, Rhein justru mengangkat tubuh mungil itu. Xi mengerang pelan, lalu kembali tertidur dipelukan Rhein.Pelan. Sangat pelan ia berjalan ke arah lemari pakaian yang berada di pojok kamar. Rhein membukanya, lalu menggeser beberapa pakaian yang menggantung di sana.Sebuah tuas kecil dari kayu menyembul di sudut lemari itu. Perlahan ia menggesernya dan sebuah pintu lain pun terbuka.Rhein yang masih menggendong Xi memasuki pintu itu setelah ia merapihkan kembali pakaian-pakaian yang menggantung."Kakak, kita mau ke mana?" tanya Xi dengan suara serak.Rhein tersenyum dalam gelap, dan mempererat pelukannya. "Kita akan bermain petak umpet, kau suka bukan?""Jangan bohong, mana mungkin kita main di tengah malam seperti ini?" protes Xi yang kini sudah sepenuhnya terbangun.Baru saja Rhein akan membuka mulutnya, terdengar suara teriakan yang diiringi dentingan pedang memasuki kamar Xi. Suara-suara itu terdengar begitu kacau. Tak perlu berpikir lama, di luar pastilah sedang terjadi pertarungan yang sengit."Kak, itu ...." Rhein langsung membekap mulut Xi dan memeluknya semakin erat. Xi tahu ada yang tidak beres dan ia pun berusaha berontak."Dengar Xi, kau harus tenang," bisik Rhein di telinga Xi. "Kakak akan menjelaskan semuanya jika kita selamat malam ini."Darah. Bau amis darah dimana-mana.Terdengar suara pintu dibanting. Benda-benda dihancurkan. Dan erangan suara yang sangat dikenal Xi."Mana terataiku, Jenderal Lacklan? Kau sembunyikan di mana dia?""Bermimpilah, sampai mati pun aku tak akan menyerahkannya pada iblis betina sepertimu."Xi menggenggam erat tangan Rhein. Tubuhnya gemetar. Tak terasa air mata turun di pipinya."Baiklah, sepertinya kau sudah mengetahui kalau aku akan datang dan mengirimnya ke tempat itu. Karena kau sudah tak berguna lagi, sebaiknya kau mati saja menyusul istrimu itu!"Suara tebasan terdengar disusul dengan benda yang menggelinding di lantai. Mata Xi terbelalak. Dengan tubuh yang semakin dingin, akhirnya ia tak sadarkan diri di pelukan Rhein.***Sudah tiga hari ini Xi hanya diam di kamarnya. Tidak, kurang tepat jika kamar ini disebut kamarnya. Karena sejak kejadian tiga hari lalu, Xi dan Rhein mengungsi di kediaman Kepala Desa Reamus.Wajahnya yang putih semakin pucat karena tak tersentuh sinar matahari. Matanya yang biasa berbinar indah, kini menjadi sembab dengan lingkaran hitam di sekelilingnya.Rhein yang melihat keadaan Xi tak dapat berkata apa-apa. Peristiwa pembantaian malam itu memang sangat mengerikan. Tak ada satu pun yang selamat kecuali mereka berdua. Selebihnya, semua menjadi mayat dengan tubuh yang terpotong-potong."Xi, makanlah sedikit," bujuk Rhein sambil meletakkan beberapa piring makanan di meja. Xi hanya melirik sekilas, lalu kembali melamun menatap jendela yang tak pernah dibuka."Makanlah, jika kau sampai sakit kakak akan merasa sangat bersalah kepada mendiang Ayah dan Ibu." Rhein tak menyerah membujuk Xi. Dengan sabar ia menyendok nasi dan lauk, lalu mendekatkannya di depan mulut Xi.Xi menatap makanan
Malam semakin dingin, tapi Xi masih berada di atas rumah pohon itu bersama Aiden. Setelah beberapa kali keluar-masuk kamar mandi, akhirnya Aiden kelelahan dan tertidur di samping Xi. Wajah pemuda itu terlihat sangat pucat. Jika saja Xi tak memberikannya pil hitam untuk obat pencernaan, mungkin saat ini Aiden sudah terkapar lemas di kamar mandi. Langit terlihat lebih muram malam ini. Bintang-bintang enggan bekerlip, sementara bulan yang seharusnya purnama lebih memilih sembunyi di balik awan. Xi hanya berharap kalau malam ini tak akan terjadi badai lagi. “Bagaimana keadaan Tuan Muda Xiriu?” Sebuah suara membuyarkan lamunan Xi. Hati-hati ia pun menengok ke bawah. Tuan Reamus dan Kakak. Apa mereka baru pulang? Kenapa mereka mengobrol di tempat seperti ini? “Sepertinya ia sudah jauh lebih baik. Terima kasih untuk Tuan Muda Aiden yang sudah bersusah payah menghiburnya.” Rhein tersenyum sopan sambil sedikit membungkuk untuk berterima kasih. “Hahaha, anak itu memang suka bertindak seena
Xi terus berlari tanpa memedulikan arah. Ketika hampir kehabisan napas, barulah ia sadar kalau sudah berada di tengah hutan sendirian. Gelap. Ia tak tahu di mana posisinya saat ini. Selain membaca buku dan bermain pedang, Xi lemah di segala bidang. Salah satunya adalah, ia tak mengenal arah mata angin. Jangankan membedakan mana barat dan mana timur, untuk pulang ke rumahnya saja ia terkadang bingung saat menemui persimpangan. Dengan tubuh gontai, Xi terus berjalan membelah malam. Saat ini bukan kegelapan ataupun binatang malam yang ia takutkan. Ia hanya mengkhawatirkan sang kakak. Rhein pasti sangat marah dan panik mencarinya. Mengingat hal itu, Xi pun tersenyum getir. “Kakak? Apa aku masih boleh memanggilnya seperti itu?” Walau hati Xi masih terluka, ia tahu betul kalau kakak dan orangtuanya tak pernah berniat buruk padanya. Mereka pasti memiliki alasan yang kuat. Itulah sebabnya ia bertekad untuk kembali dan meminta penjelasan yang lebih rinci. Siapa dirinya dan siapa orang tua k
Sudah satu jam berlalu namun Xi belum juga kembali. Rhein jadi semakin gelisah. Kemana anak itu? Atau jangan-jangan dia tersesat?Sambil merutuki kecerobohannya, Rhein langsung berlari ke arah Xi pergi tadi. Bagaimana ia bisa lupa kalau Xi buta arah? Sudah berapa kali anak itu keluar rumah sendirian, namun malah tersesat ke sembarang tempat.Rhein masih ingat betul pertama kali Xi kesal karena tidak diizinkan untuk membeli "machi". Anak itu diam-diam kabur dari rumah dan berakhir di rumah serigala. Ya Tuhan, ingin rasanya Rhein mengarungi Xi saat itu juga. Apa dia tak bisa membedakan jalan menuju pasar yang ramai dengan jalan menuju hutan yang gelap?Untunglah saat itu Xi baik-baik saja. Para serigala yang mengeroyoknya dipukuli seperti anjing. Hewan pemuja bulan purnama itu dibuat tak berkutik di hadapan Xi. Jangankan untuk menyerang, baru mengendus aroma Xi dari jarak satu mil saja mereka sudah kocar-kacir."Kak Rhein!"Rhein menghentikan langkahnya dan menoleh. Didapatinya Aiden ya
Sinar matahari yang menyilaukan menyapa dua pemuda yang nampak kelelahan di bawah pohon. Wajah mereka terlihat kuyu dengan lingkaran hitam yang menghiasi mata.Aiden menguap, lalu melirik Rhein yang sedang menusuk-nusukan ranting ke dalam tanah. Pemuda itu tak mengerti dengan apa yang sedang dilakukan Rhein. Jangan bilang kalau Rhein sangat frustasi dan ingin menggali kuburannya sendiri. Tidak, tidak, mau sampai kapan kuburan itu selesai jika hanya digali dengan ranting. Apa Aiden harus menemukan sekop atau semacamnya untuk membantu?Sibuk dengan pikirannya, Aiden mendengar suara ranting yang dipatahkan. "Eh? Apa Kak Rhein sudah selesai?" gumam Aiden dalam hati."Ini sudah hari ketiga, namun keberadaan Xi belum juga diketahui," ujar Rhein sambil memandang langit yang terhalang dedaunan."Apa tidak sebaiknya kita kembali dulu? Mungkin ayah menemukan beberapa petunjuk," ucap Aiden memberi usul.Bukan tanpa alasan Aiden mengusulkan untuk pulang, pasalnya mereka sudah berkeliling ke beber
Sudah beberapa hari ini Xi tinggal di gubuk asing bersama Asheera–gadis yang menyelamatkannya. Xi tak banyak bicara, hanya saja gadis berambut ungu itu tak pernah berhenti berceloteh dan menanyakan ini itu hingga membuat kepala Xi pusing tujuh keliling.Seperti saat ini."Tuan Muda, apa kau yakin akan terus berpakaian seperti ini? Identitasmu sangat membingungkan. Aku harus memanggilmu Tuan Muda atau Nona Muda nantinya?"Xi hanya mendesah pelan. Siapa juga yang mau untuk terus memakai pakaian perempuan seperti ini? Jika bukan karena ia sudah berjanji pada mendiang ayahnya, xi juga tak ingin seperti ini. Lagi pula batas waktunya hanya tinggal dua tahun lagi, jadi itu bukan masalah besar.Lalu ..."Tuan Muda, wajahmu ini sangat ... bagaimana aku harus mengatakannya, ya?" Asheera menggaruk kepalanya yang tak gatal lalu menatap Xi lebih dekat. "Cantik, ini terlalu luar biasa, bahkan aku iri dengan kecantikanmu. Tuan Muda, apa kau yakin Tuhan tak salah meletakkan jenis kelaminmu?"Xi kali
"Selamat datang di Adventure Guild cabang kota Elven. Kami melayani berbagai macam misi sesuai dengan rank yang sudah ditentukan. Apa ada yang bisa kami bantu, Nona?" tanya wanita muda itu tersenyum ramah.Xi terdiam lalu melirik papan nama besar yang terpajang di sana. "Adventure Guild? Tempat apa itu?" gumamnya dalam hati."Oh, maaf Nona Marry. Kami bukan ingin membeli, tapi ingin menjual," ucap Asheera sambil mengedipkan sebelah matanya."Ah, ternyata Nona Asheera. Aku pikir Nona kecil yang sangat cantik ini butuh bantuan, ternyata dia datang bersama anda," kata Marry tersenyum ramah. "Jadi, kau ingin misi seperti apa?""Aku butuh misi yang mudah untuk Tu-, maksudku Nona Mudaku ini. Dia baru saja tertimpa musibah dan butuh uang saku. Kau jangan khawatir, walau tubuhnya mungil dan wajahnya sangat cantik, tapi kemampuan bertarungnya di atas rata-rata. Jadi kau tak perlu sungkan dalam memberinya tugas," ujar Asheera tanpa rasa bersalah.Xi menarik napas lalu mengembuskannya perlahan.
Gemerlap cahaya warna-warni begitu menyilaukan mata. Wanita-wanita muda bermake-up tebal melambai-lambaikan saputangannya sambil menggoda para pelanggan yang lewat.Awalnya, Xi berpikir jika distrik lampu merah adalah kawasan gelap dan suram. Siapa sangka, wanita-wanita yang kata Asheera dipaksa ini begitu antusias memanggil para hidung belang ke sarangnya sendiri. Xi yang awalnya simpati kini jadi ragu. Apa benar mereka butuh bantuan?"Pstt! Tuan Muda, jangan melamun!" tegur Asheera yang kini mengenakan gaun merah yang sangat memesona. Wanita itu terlihat bagai bunga peony yang baru mekar. Begitu harum dan siap menggoda para kumbang yang kelaparan.Berbeda dengan Xi yang kini mengenakan gaun merah muda. Hanya dengan berdiri saja, ia telah memancarkan aura keagungan dan keanggunan yang tiada tara. Ia begitu indah bagai lukisan, bahkan orang tak ada yang berani menjamahnya karena khawatir kalau itu hanya khayalan tak nyata."Tuan Muda, kita ini sedang berpura-pura menjadi wanita penghi