Share

2. Tamu Tak Diundang

Suasana begitu tegang. Mereka duduk saling berhadapan sambil menyesap teh hangat yang disediakan Nyonya Lacklan. Tak ada satu pun yang bersuara di keheningan itu. Hanya suara seruputan air, dan dentingan halus gelas ketika mereka meletakkannya kembali di meja.

Aiden melirik ayahnya yang terlihat gugup. Dalam hati ia merutuk, apa keputusannya untuk meminta maaf adalah hal yang salah? Lihatlah, bahkan seorang kepala desa seperti Reamus akan panas dingin saat berhadapan langsung dengan kepala keluarga Lacklan.

Namun, sebagai lelaki sejati Aiden harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Walau pada awalnya ia hanya berniat usil, namun apa yang sudah terjadi sungguh diluar batas. Maka dengan seluruh keberanian yang ada, ia pun akan mengakui kesalahannya.

"Tuan Lacklan, saya benar-benar menyesal. Saya telah bersikap kasar kepada Nona Xi dan bahkan hampir mencelakainya."

Pria tua yang sejak tadi hanya menatap kedua tamunya dengan tenang itu mengeluarkan suara "hmm". Aiden menganggap itu sebagai awalan yang bagus karena nampaknya ayah Xi ini terlihat cukup ramah. Yang tidak ia perhatikan, tangan ayahnya di bawah meja sudah gemetaran dan berkeringat dingin.

"Saya benar-benar menyesal dan berharap Nona Xi mau memaafkan kesalahan saya," ujar Aiden lagi sambil melirik ke arah Xi yang sejak tadi hanya menunduk di samping Rhein.

"Tapi, saya juga benar-benar kagum dengan Nona Xi. Tidak hanya pandai bertarung, ia juga mampu menyembuhkan luka Kak Rhein yang cukup parah," Aiden menatap Tuan Lacklan dengan penuh semangat, "Itu sangat luar biasa. Bahkan jika seluruh pemuda di desa ini disatukan, aku rasa tak ada yang bisa menandingi Nona Xi. Tuan, bisakah Anda mengajari saya juga agar sekuat Nona Xi?"

Tuan Lacklan hanya terdiam. Wajahnya yang sejak tadi terlihat tenang kini berubah gelap. Tatapannya menjadi tajam saat melihat kedua anaknya yang semakin tertunduk dalam.

"Habislah kita," bisik Xi pelan di samping kakaknya.

Rhein terlihat jauh lebih tegang dibandingkan adiknya. Tanpa menunggu sang Ayah bersuara, ia langsung jatuh berlutut.

"Ananda mohon ampun, Ayah. Semua salah Ananda karena tak bisa menjaga Adik dengan baik."

Melihat situasi itu, Aiden menjadi kebingungan. Apa yang terjadi? Apa dia telah mengatakan sesuatu yang salah? Kenapa Tuan Lacklan terlihat murka? Bukankah dia seharusnya merasa bangga?

Reamus sang kepala desa menepuk dahinya. Habislah sudah. Apa yang ia takutkan sepertinya akan terjadi. Bagaimana bisa ia mempunyai anak seceroboh Aiden. Jika bukan karena Aiden satu-satunya putra penerus keluarga, mungkin saat ini ia sudah menenggelamkannya ke dalam sumur kering di gerbang desa.

Tuan Lacklan bangkit dari duduknya dan berdiri di depan Aiden yang tengah berlutut. Tangannya terkepal erat sebelum mengambil alat pemukul yang tergantung di dinding.

"Kau tidak hanya membiarkan adikmu bertarung, tapi juga membiarkannya menggunakan kekuatan untuk mengobatimu?" Suara Tuan Lacklan masih terdengar tenang walau wajahnya terlihat sangat menyeramkan. "Apa kamu sudah lupa akan tugasmu, Rhein?"

"Ananda bersalah dan siap menerima hukuman Ayah." Rhein sudah pasrah, ia bersujud sampai suara dentuman dahi dan lantai itu terdengar jelas.

Nyonya Lacklan yang melihat itu hanya bisa menahan napas sambil menggenggam tangan Xi erat-erat. Wanita paruh baya yang masih memperlihatkan jejak kecantikan di masa mudanya itu tak mampu berbuat apa-apa. Perkataan suaminya adalah hukum di rumah ini. Tak ada yang berani menentangnya bahkan istrinya sekalipun.

"Bagus kalau kau menyadari kesalahanmu."

Ctar! Ayunan kayu pemukul berwarna hitam legam itu mendarat keras di punggung Rhein. Rasa perih langsung menyusul bersamaan dengan pakaiannya yang terkoyak.

Ctar! Ayunan kedua kembali datang tanpa ampun. Kini bukan hanya pakaiannya, namun pemukul yang terbuat dari kayu langka itu berhasil mengoyak kulit tubuh Rhein hingga mengalirkan darah.

"Hentikan, Ayah!" Xi berusaha bangkit, namun sang Ibu justru menahannya. Xi memandang ibunya dengan tatapan memohon, namun sang ibu hanya menggeleng lemah.

Tuan Lacklan hanya melirik Xi sekilas, lalu melanjutkan hukumannya. Xi menjadi lebih panik, terlebih saat melihat Rhein yang nampak kewalahan menahan sakit tanpa bersuara.

"Ayah, kumohon hentikan. Aku yang sudah melanggar aturan, mengapa harus Kakak yang menerima hukuman atas kesalahanku? Kumohon ayah, jangan pukul Kak Rhein lagi!" ucap Xi panik masih ditahan ibunya.

"Tidak, tidak, ini kesalahanku, Tuan Lacklan. Bukankah seharusnya aku yang dihukum?" Aiden ikut menimpali.

Kepala Aiden langsung dipukul oleh ayahnya yang mendengus. "Diamlah, atau hukuman dariku akan bertambah."

"Tapi Ayah, Kak Rhein tak melakukan kesalahan apapun."

Lagi-lagi sang ayah memelototinya. Aiden hanya bisa kembali diam dan melihat drama keluarga yang tak dimengertinya ini.

"Aku harap ini adalah yang terakhir kalinya," ujar Tuan Lacklan dengan suara berat, "Ingat posisi dan tugasmu, Rhein!"

Tangan yang memegang pemukul itu kembali diangkat tinggi-tinggi. Semua seakan berhenti bernapas dengan mata terbelalak. Rhein pun hanya pasrah memejamkan mata, menanti pukulan terakhir yang mungkin akan membuatnya tak bisa bangun dari tempat tidur selama sebulan penuh.

"Uhuk!"

Ayunan pemukul Tuan Lacklan berhenti di udara. Ia menoleh ke asal suara tadi dan mendapati Xi meremas jantungnya sambil terbatuk.

"Uhuk! Uhuk!"

"Jika kau ingin bersandiwara untuk menolong kakakmu, lupakan saja Xi," ujar ayahnya dingin.

"Ayah, aku tidak.... Uhuk! Uhuk!" batuknya semakin menjadi. Cairan merah kental menyelusup di antara sela jarinya.

Sang Ibu yang sejak tadi berada di samping Xi terlihat panik. Ia tak menyangka bahwa penyakit putra bungsunya akan kambuh disaat seperti ini.

"Xi, apa yang terjadi? Suamiku, Xi tidak sedang bercanda!" ucap Nyonya Lacklan sambil meraih tangan Xi yang kini berlumuran darah.

Tanpa pikir panjang, Tuan Lacklan langsung melempar pemukul di tangannya dan berlutut‐-mensejajarkan tubuhnya--di depan Xi.

"Ada apa, Nak? Apa jantungmu sakit lagi? Bagaimana perasaanmu?" tanya Tuan Lacklan khawatir sambil memeriksa seluruh tubuh Xi.

Xi menggeleng pelan. Namun sang Ayah langsung terkesiap ketika Xi kembali batuk dan menyemburkan darah.

"Kakak...." wajah Xi terlihat sendu melihat sosok kakaknya yang masih berlutut tak berdaya menatapnya.

Sang Ayah menghela napas panjang. Lagi-lagi ia kalah. Setelah ia memberikan isyarat kepada Rhein, ia kembali menghampiri tamunya yang sejak tadi terpaku, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Maaf atas kejadian ini, Tuan Reamus."

"Tidak, tidak, justru kami yang minta maaf. Gara-gara kami...." Tuan Reamus terlihat agak bingung harus berkata apa.

Aiden yang sejak tadi diam mengerutkan dahinya melihat Rhein yang dengan hati-hati menggendong Xi. Bukan, bukan karena Rhein yang menggendong Xi seperti pengantin. Tapi karena Xi kini menyeringai dengan tatapan yang mengerikan.

Tengkuk Aiden meremang. Sepertinya ia akan mengalami mimpi buruk setelah ini. Berurusan dengan Xi bukanlah hal yang baik. Entah apa yang akan terjadi pada dirinya kelak.

***

"Kau sudah keterlaluan, Xi!" tegur Rhein saat mendudukkan Xi di tepi ranjangnya.

Dengan lembut ia membersihkan noda darah yang masih menempel dengan sapu tangan yang sudah dibasahi. Xi hanya tertawa kecil, menampilkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.

"Sudah kubilang, itu salah ayah sendiri," ucapnya tak mau mengalah.

"Tapi tetap saja berbohong itu tidak baik. Menggigit lidahmu sendiri sampai terluka seperti itu...." Rhein mengerutkan dahinya lalu menggeleng, "Kami tak pernah bisa menang berargumen denganmu."

Lagi-lagi Xi hanya tertawa. Namun, kali ini tawanya langsung terhenti saat melihat sosok yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya.

"A-ayah...."

Sang Ayah hanya tersenyum tipis. Jejak amarah sudah terhapus di wajahnya. Dengan santai ia mendekati Xi dan membelai kepala anak itu penuh dengan kasih sayang.

"Ayah, a-aku...."

"Ayah tahu kau sangat menyayangi kakakmu. Tapi kau tak boleh lupa pesan ayah, Xi. Kakakmu adalah pelindungmu. Setiap pelindung bertanggung jawab penuh atas Tuannya," ucap Tuan Lacklan penuh penekanan.

"Tapi Ayah, aku bukan...."

"Rhein," sang Ayah memotong kata-kata Xi yang ingin kembali protes, "Malam ini akan ada badai, tidurlah bersama adikmu. Jika badai tak dapat dihentikan, kau tahu apa yang harus kau lakukan."

Wajah Rhein berubah tegang. Dengan gugup iapun mengangguk. "Ananda menerima perintah Ayah."

***

Malam semakin larut. Rhein tidur menyamping sambil memandangi Xi yang tertidur lelap. Adiknya ini memang benar-benar mempesona. Jika sedang tertidur pulas seperti ini, Xi bagai bayi malaikat yang sangat menggemaskan.

Rhein mengerjapkan matanya. Dahi Xi berkerut seakan menahan sakit. Butiran keringat mengalir di dahinya. Apa ia sedang mimpi buruk?

Saat Rhein akan menyeka keringat di dahi Xi, dari luar terdengar suara tiupan angin yang sangat kencang hingga merobohkan sesuatu.

Alih-alih menyeka keringat Xi, Rhein justru mengangkat tubuh mungil itu. Xi mengerang pelan, lalu kembali tertidur dipelukan Rhein.

Pelan. Sangat pelan ia berjalan ke arah lemari pakaian yang berada di pojok kamar. Rhein membukanya, lalu menggeser beberapa pakaian yang menggantung di sana.

Sebuah tuas kecil dari kayu menyembul di sudut lemari itu. Perlahan ia menggesernya dan sebuah pintu lain pun terbuka.

Rhein yang masih menggendong Xi memasuki pintu itu setelah ia merapihkan kembali pakaian-pakaian yang menggantung.

"Kakak, kita mau ke mana?" tanya Xi dengan suara serak.

Rhein tersenyum dalam gelap, dan mempererat pelukannya. "Kita akan bermain petak umpet, kau suka bukan?"

"Jangan bohong, mana mungkin kita main di tengah malam seperti ini?" protes Xi yang kini sudah sepenuhnya terbangun.

Baru saja Rhein akan membuka mulutnya, terdengar suara teriakan yang diiringi dentingan pedang memasuki kamar Xi. Suara-suara itu terdengar begitu kacau. Tak perlu berpikir lama, di luar pastilah sedang terjadi pertarungan yang sengit.

"Kak, itu ...." Rhein langsung membekap mulut Xi dan memeluknya semakin erat. Xi tahu ada yang tidak beres dan ia pun berusaha berontak.

"Dengar Xi, kau harus tenang," bisik Rhein di telinga Xi. "Kakak akan menjelaskan semuanya jika kita selamat malam ini."

Darah. Bau amis darah dimana-mana.

Terdengar suara pintu dibanting. Benda-benda dihancurkan. Dan erangan suara yang sangat dikenal Xi.

"Mana terataiku, Jenderal Lacklan? Kau sembunyikan di mana dia?"

"Bermimpilah, sampai mati pun aku tak akan menyerahkannya pada iblis betina sepertimu."

Xi menggenggam erat tangan Rhein. Tubuhnya gemetar. Tak terasa air mata turun di pipinya.

"Baiklah, sepertinya kau sudah mengetahui kalau aku akan datang dan mengirimnya ke tempat itu. Karena kau sudah tak berguna lagi, sebaiknya kau mati saja menyusul istrimu itu!"

Suara tebasan terdengar disusul dengan benda yang menggelinding di lantai. Mata Xi terbelalak. Dengan tubuh yang semakin dingin, akhirnya ia tak sadarkan diri di pelukan Rhein.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status