Share

3. Kenyataan

Sudah tiga hari ini Xi hanya diam di kamarnya. Tidak, kurang tepat jika kamar ini disebut kamarnya. Karena sejak kejadian tiga hari lalu, Xi dan Rhein mengungsi di kediaman Kepala Desa Reamus.

Wajahnya yang putih semakin pucat karena tak tersentuh sinar matahari. Matanya yang biasa berbinar indah, kini menjadi sembab dengan lingkaran hitam di sekelilingnya.

Rhein yang melihat keadaan Xi tak dapat berkata apa-apa. Peristiwa pembantaian malam itu memang sangat mengerikan. Tak ada satu pun yang selamat kecuali mereka berdua. Selebihnya, semua menjadi mayat dengan tubuh yang terpotong-potong.

"Xi, makanlah sedikit," bujuk Rhein sambil meletakkan beberapa piring makanan di meja.

Xi hanya melirik sekilas, lalu kembali melamun menatap jendela yang tak pernah dibuka.

"Makanlah, jika kau sampai sakit kakak akan merasa sangat bersalah kepada mendiang Ayah dan Ibu." Rhein tak menyerah membujuk Xi. Dengan sabar ia menyendok nasi dan lauk, lalu mendekatkannya di depan mulut Xi.

Xi menatap makanan di hadapannya lalu kembali menatap Rhein. Ia terlihat ragu seakan ingin mengatakan sesuatu. Melihat Xi tak kunjung membuka mulutnya, Rhein akhirnya menyerah dan meletakkan kembali makanan itu.

"Kumohon, Xi, jangan seperti ini. Kau harus tetap bertahan dan melanjutkan hidupmu yang berharga."

Kali ini Rhein tertunduk dan mengacak rambut coklatnya. Ia tak tahu harus berbuat apa setelah bencana ini. Pergi? Pergi ke mana? Iblis-iblis itu pasti akan terus mengejar sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.

"Kakak, maaf." Xi mengulurkan tangan dan memegang bahu Rhein. "Bukannya aku tidak mau makan, tapi ...."

Rhein segera menegakkan tubuhnya, menunggu Xi menyelesaikan perkataannya.

"Apa kau lupa aku alergi kacang merah? Justru aku ingin hidup agar bisa membalaskan dendam ayah dan ibu, jadi aku tak berani memakan makanan itu," bisik Xi lirih.

Butuh beberapa detik bagi Rhein untuk mencerna perkataan Xi. Seketika otaknya terasa kosong. "Kacang merah?" gumamnya sambil menatap mangkuk yang berisi sup kacang merah dengan potongan daging sapi.

Astaga, kenapa ia bisa lupa hal sepenting ini?

Rhein pun akhirnya tertawa terbahak-bahak sambil mengacak rambut Xi yang masih begitu lembut dan halus walau belum dicuci selama tiga hari. Rhein merasa sangat bodoh. Beberapa hari ini desa memang sedang panen kacang merah yang cukup melimpah. Karena kacang merah termasuk barang mahal, Kepala Desa sengaja memerintahkan dapur untuk selalu membuat menu dengan kacang merah pada makanan mereka sebagai bentuk penghormatan. Siapa sangka Xi yang memang alergi parah terhadap kacang merah tak bisa memakan makanan tersebut dan berakhir dengan kesalahfahaman.

"Hahahah, astaga ... maafkan kakakmu yang ceroboh ini. Aku benar-benar lupa kalau kau alergi kacang merah," ucap Rhein masih sambil mengusak kepala Xi.

Xi mendelik dan menepis tangan Rhein yang membuat kepalanya seperti sarang burung. Lupa tidak masalah, tapi apa hubungannya dengan mengacak rambutnya seperti ini? Menyebalkan!

"Baiklah, baiklah, maaf. Jadi kau ingin makan apa hari ini, Xi?" tanya Rhein sambil merapikan kembali rambut Xi.

Xi berpikir sejenak, lalu binar terang muncul di matanya, "Kak, aku mau ma‐-"

"Tidak makanan itu," potong Rhein yang dapat menebak permintaan aneh adiknya itu. "Perutmu masih kosong, makanlah sesuatu yang lembut dulu."

Xi berdecak malas lalu memutar bola matanya. Padahal ia ingin sekali memakan itu. Rasa asam, pedas dan asin sangat memanjakan lidahnya. Ah, baru membayangkannya saja ia sudah tak bisa menahan air liurnya sendiri.

Dalam diam Rhein tersenyum lega. Syukurlah adiknya ini masih berusaha tegar. Walaupun ia tahu bahwa tiap malam Xi sering terbangun karena mimpi buruk lalu menangis sendirian.

"Baiklah kalau begitu, aku akan ke dapur untuk mengganti makananmu."

Baru saja Rhein akan beranjak, Xi langsung menahan tangannya.

"Ada apa lagi, Xi?"

Xi terlihat salah tingkah. "Ngg ... itu ... anu ... aku ingin pergi membaca buku tapi...."

Rhein mengerutkan dahinya sambil menyusuri wajah adiknya yang kebingungan. Sepertinya ada yang kurang benar di sini, tapi apa?

Lama Rhein berpikir dan menatap Xi lekat-lekat. Walau terlihat pucat, wajah Xi masihlah begitu memesona. Rambutnya yang tak diikat, tergerai indah walau baru saja diacak-acak. Bibirnya yang tipis, lalu pa....

"Astaga! Jika Ayah masih ada, aku pasti akan dibunuhnya karena membiarkanmu berpakaian seperti ini."

Wajah Xi bersemu merah. Selama ini ia selalu dimanja oleh keluarganya. Ia tak pernah diperkenankan untuk mengurus dirinya sendiri. Pakaian, rambut, sepatu dan yang lainnya, semua diatur oleh Kak Rhein. Kata Ayah, hanya Kak Rhein yang boleh melayaninya. Alhasil, untuk memakai pakaian dengan benar pun ia tak bisa. Pakaian yang dikenakannya miring sebelah dengan kancing baju yang tidak pada urutannya.

Xi menyesal, mengapa ia harus mengikuti perintah ayahnya? Jika sudah seperti ini, ia juga yang repot. Kak Rhein pasti sedang sibuk menyelidiki kejadian itu dan ia tak boleh merepotkan kakaknya terus menerus.

Rhein tersenyum lembut, "Kakak minta maaf, kakak terlalu sibuk sendiri sampai melupakan keperluanmu."

Xi menggeleng pelan.

Tanpa banyak bicara Rhein melepas satu persatu kancing pakaian Xi. Xi hanya diam dan memperhatikan dengan serius tiap gerakan kakaknya. Kali ini ia harus benar-benar menghafal cara memakai pakaian yang benar. Tidak mungkin ia harus bergantung seumur hidup pada kakaknya, bukan?

"Nona Xi, aku bawakan kau...." Mata Aiden terbelalak. Wajahnya merona merah dengan cepat. Tubuhnya mematung menatap lurus ke arah Xi yang sedang bertelanjang dada.

Xi mendengus pelan. "Apa yang kau lihat, Tuan Muda? Apa kau tak pernah melihat anak laki-laki berganti pakaian?"

"I-itu ... maaf, aku tak bermaksud...." Aiden langsung membalikkan badannya dan hendak berlari keluar. Namun, langkahnya tertahan mengingat kata-kata terakhir Xi yang agak janggal.

"Laki-laki?" Aiden memutar tubuhnya kebingungan.

"Ya, aku laki-laki. Apa kau ada masalah dengan itu?" ujar Xi ketus.

Rhein yang baru saja selesai merapikan pakaian Xi hanya tersenyum geli.

"Maaf Tuan Muda Aiden, adikku ini memang laki-laki. Sejati. Namun karena peraturan Ayah kami, ia hanya boleh berpakaian laki-laki saat umurnya lima belas tahun. Jadi kuharap Tuan Muda dapat mengerti dan menjaga rahasia ini."

Aiden masih terlihat kebingungan.

"Dan satu lagi, Tuan Reamus sudah mengetahui ini sejak awal. Kata beliau, jika Anda berani mengejek atau menyebar identitas Xi, hadiah spesial akan menanti Anda."

Apa mereka mengancamku? Ya, mereka berdua pasti sedang mengancamku. Kakak beradik yang mengerikan!

***

Xi berjalan berdampingan bersama Aiden. Mereka tak ada yang bersuara. Xi yang baru saja kembali dari perpustakaan langsung asyik melahap bukunya sambil berjalan. Sementara Aiden, ia hanya sesekali mencuri pandang ke arah Xi dengan dahi berkerut.

Cantik sempurna. Bagaimana mungkin makhluk di sampingku ini laki-laki? Jika orang menyebutnya titisan dewi, mungkin aku akan lebih percaya.

"Berhenti melihatku dengan pandangan menjijikan itu, Aiden. Kalau kau masih tak percaya, aku bisa membuktikannya di kamar mandi," ucap Xi tenang tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

"Ah, apa maksudmu? Aku ... aku tidak...."

Xi menghela napas, lalu menghentikan langkahnya. Ah, terlalu banyak menghela napas bisa mengurangi umur, katanya. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Pemuda di sampingku ini benar-benar menyebalkan.

Perlahan Xi kembali menarik napas, lalu menembuskannya perlahan sambil memandang sekitar. Udara di luar terasa segar. Selain luas, kediaman Kepala Desa di kelilingi oleh banyak pohon besar. Satu di antaranya cukup menyita perhatian Xi. Di sana ada sebuah rumah kayu yang bertengger di atas pohon yang paling besar. Apa itu rumah burung?

“Kau ingin coba naik ke sana?” tanya Aiden mengikuti arah pandang Xi.

“Tapi .…” Xi terlihat ragu. Jelas-jelas ia ingin sekali ke tempat itu. Apa lagi yang dipikirkannya?

“Itu bukan rumah untuk burung. Rumah pohon itu sengaja dibuatkan Ayah agar aku bisa belajar dengan tenang sambil menghirup udara segar,” jelas Aiden sambil melirik buku yang sedang di pegang Xi. Ia tahu betul isi buku itu. Buku tentang pembudidayaan burung merpati. Xi tak berpikir kalau rumah pohon sebesar itu adalah tempat untuk burung, bukan?

“Kalau begitu, aku bisa naik ke sana?” tanya Xi penuh harap.

“Tentu saja.”

Dalam sekejap, Xi langsung memanjat pohon itu dengan sangat lincah. Ia tak mengalami kesulitan sedikit pun dalam memanjatnya. Padahal, Aiden baru saja ingin memberi tahu bahwa ada tangga gantung di belakang pohon itu.

“Ah, benar, dia seorang laki-laki. Mana mungkin seorang gadis bertingkah seperti itu, bukan?” gumam Aiden sambil menggelengkan kepalanya.

“Apa yang kau katakan, Aiden? Ayo cepat ke sini!” teriak Xi sambil memutar pandangannya dengan wajah gembira.

“Bukan apa-apa. Tunggu, aku akan segera menyusul.”

Sesampainya di atas, Aiden langsung membuka bungkusan yang sejak tadi ia sembunyikan di balik pakaiannya. Manisan buah mangga. Tidak-tidak, ini bukan manisan. Mana ada manisan yang rasanya pedas dan asam? Belum lagi aromanya mampu membuat air liur menetes. Bukan karena aroma lezat, tapi karena aroma asam yang begitu menyengat.

Menurut hasil penyelidikannya, Xi sangat menyukai camilan ini. Machi—buah mangga muda yang diiris tipis lalu dibalur dengan cabai halus. Membayangkannya saja sudah membuat giginya ngilu, apalagi memakannya.

“Machi?” Mata Xi berbinar. “Dari mana kau mendapatkannya?”

Jantung Aiden hampir saja berhenti berdetak saat melihat senyuman di wajah Xi. Ekspresi wajahnya terlalu indah untuk dilukiskan dengan kata-kata. Jika saat ini ada seribu bunga yang bersanding di sisi Xi, niscaya bunga-bunga akan tertunduk malu karena pesonanya.

Astaga, sadarlah Aiden! Yang ada di hadapanmu ini seorang anak laki-laki. Jadi jangan berpikiran macam-macam. Aiden menggeleng keras, lalu kembali menatap Xi. “Kakakku yang membuatnya. Ia sangat suka makanan seperti ini semenjak ada bayi kecil di perutnya.”

“Eh, benarkah? Jadi kau akan punya adik?” tanya Xi sambil menggigit sepotong machi yang terlihat sangat segar.

“Keponakan, bukan adik,” ralat Aiden sambil terus memperhatikan Xi makan. “Apa itu enak?” tanyanya penasaran.

“Tentu saja.”

Agak ragu, Aiden mengambil sepotong dan menggigitnya. Matanya langsung terpejam dengan dahi mengernyit. Giginya terasa ngilu saat mengunyah makanan yang memiliki rasa asam dan pedas itu. Baru saja ia akan menyerah, tangan Xi sudah menutup akses mulutnya.

“Jangan dibuang!” perintah Xi dengan tatapan penuh arti. Aiden mengangguk dan kembali mengunyah makanan di mulutnya dengan wajah tersiksa.

“Astaga, makanan apa ini? Aku tak percaya kalau ini adalah makanan manusia.” Wajah Aiden memerah dengan mulut kepedasan. Berkali-kali ia menjulurkan lidahnya, mencoba untuk mengusir rasa yang begitu menyiksa. Sial, ia lupa membawa air minum!

Mendengar keluhan Aiden, Xi tersenyum mengejek, “Kehidupan itu pedas dan asam seperti makan ini, Tuan Muda. Jika untuk ini saja Anda tidak kuat, bagaimana Anda sanggup menghadapi kehidupan yang lebih pedas dan lebih asam daripada ini?”

Aiden terlihat kesal. Agak tergesa, ia turun dari rumah pohon itu. Tidak, bukan karena perkataan Xi ia meninggalkan tempat itu, tapi karena efek dari makanan itu yang langsung membuat perutnya mulas.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status