Sejauh mata memandang, hamparan es dan salju menutupi seluruh permukaan tanah. Tak ada pepohonan yang hijau apalagi suara nyanyian burung yang riang. Padahal ini sudah memasuki pertegahan musim semi.Xi menggosokkan kedua tangan, lalu meniup-niupinya untuk mengurangi rasa dingin. Benar kata Asheera, tempat ini tidak biasa. Hawa dingin yang dirasakan begitu padat dengan energi negatif. Pantas saja tidak ada orang yang berani memasuki tempat ini."Apa kau baik-baik saja, Tuan Muda?" tanya Asheera merapatkan mantelnya.Xi mengangguk. Uap napasnya mengepul keluar saat ia mengatakan "Ya". Beruntung sebelum memasuki kawasan ini Asheera sudah mempersiapkan beberapa keperluan seperti baju musim dingin dan mantel tebal. Jika tidak, mungkin nasib mereka akan sama dengan nasib pemuda yang bersikeras mengikuti mereka diam-diam tanpa persiapan apapun."Tuan Muda Kai, apa kau yakin akan melanjutkan perjalanan bersama kami? Aku tidak tahu seperti apa medan di depan sana. Dan aku khawatir kau akan ma
"Kita akan selamat. Di bawah sana ada tempat berlindung."Wajah Xi terlihat begitu bersemangat ketika mengatakan hal itu. Matanya yang bulat berbinar indah bagai bintang di langit. Wajah seputih giok terlihat kontras dengan bibir plumnya yang merekah. Embusan angin membuat rambut hitamnya berkibar. Sesaat, Tuan Muda Kai hampir lupa untuk bernapas karena pemandangan indah di depannya.Sementara itu Asheera hanya bisa menggelengkan kepala. Kata orang, seindah apapun sesuatu, jika dipandang terus menerus setiap hari pasti akan ada masanya menjadi bosan. Namun nyatanya itu tidak berlaku untuk Xi. Sesering apapun Asheera memandangnya, wajah anak lelaki yang belum dewasa itu tetap saja memesona. Ia tak pernah bosan memandangnya walau dalam wajah cemberut sekalipun. "Mengapa kalian malah melamun?" tegur Xi dengan dahi berkerut."Ah, bukan apa-apa," ujar Asheera membuyarkan lamunanya. "Ngomong-ngomong, bagaimana cara kita ke sana?" tanya Asheera sambil menengok ke bawah jurang sana. Yang dik
Xi dan Asheera menunggu dengan cemas di atas. Jarak antara tepi jurang dengan goa di bawah sana tidaklah begitu jauh. Jadi kenapa Kai lama sekali? Apa dia menemui masalah?"Tuan Muda Xi, sebaiknya aku ikut turun ke bawah. Pemuda bodoh itu memang tidak bisa diandalkan!" gerutu Asheera sambil mengambil sulur yang masih menjuntai di tepi jurang."Baiklah, kita juga tidak bisa menunggu terlalu lama. Perasaanku sangat tidak enak dengan badai ini," ujar Xi mengiyakan.Asheera sekali lagi menengok ke bawah untuk memastikan ada atau tidak adanya kode dari Kai. Setelah ia yakin kalau teman seperjalanannya itu tak memberikan jejak apa-apa, ia pun menghela napas, "Ah, benar-benar payah!""Tuan Muda, aku akan ...."Kata-kata Asheera terhenti di tenggorokan. Tepat di belakang Xi, sesuatu yang mirip kuncup bunga muncul dari permukaan es. Benda itu perlahan membesar dan terus membesar.Xi yang menyadari keanehan Asheera ikut menoleh ke belakang. Ia sangat terkejut melihat benda aneh yang menyerupai
Angin bertiup lembut membelai dedaunan yang dengan riang bergoyang. Gesekan demi gesekannya menciptakan musik alam yang amat indah, membuat siapa pun terlena akan alunannya.Ditengah suasana damai itu, seorang bocah berparas cantik nampak asyik membaca buku di bawah pohon yang rindang. Kulitnya yang putih bersih bagaikan giok murni yang berkilau terkena sinar matahari.Bola mata beriris kelam dengan kilau keemasan itu bergerak secara perlahan, mengikuti baris demi baris bacaan yang menyita seluruh perhatiannya. Ia sama sekali tak peduli dengan sang angin yang sejak tadi asyik menggoda rambut hitamnya yang lembut bagai sutra.Baru saja ia akan membalik halaman bukunya, terdengar beberapa pasang langkah mendekat. Ia tak bergeming. Dengan tenang ia membalikkan halaman buku, lalu kembali membaca."Hei, Nona! Apa kau sendirian hari ini?"Anak itu tak menjawab. Ia masih terlihat tenang membaca tanpa mempedulikan sepuluh pemuda yang kini berdiri mengelilinginya."Tuan Muda, sepertinya Nona X
Suasana begitu tegang. Mereka duduk saling berhadapan sambil menyesap teh hangat yang disediakan Nyonya Lacklan. Tak ada satu pun yang bersuara di keheningan itu. Hanya suara seruputan air, dan dentingan halus gelas ketika mereka meletakkannya kembali di meja.Aiden melirik ayahnya yang terlihat gugup. Dalam hati ia merutuk, apa keputusannya untuk meminta maaf adalah hal yang salah? Lihatlah, bahkan seorang kepala desa seperti Reamus akan panas dingin saat berhadapan langsung dengan kepala keluarga Lacklan.Namun, sebagai lelaki sejati Aiden harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Walau pada awalnya ia hanya berniat usil, namun apa yang sudah terjadi sungguh diluar batas. Maka dengan seluruh keberanian yang ada, ia pun akan mengakui kesalahannya."Tuan Lacklan, saya benar-benar menyesal. Saya telah bersikap kasar kepada Nona Xi dan bahkan hampir mencelakainya."Pria tua yang sejak tadi hanya menatap kedua tamunya dengan tenang itu mengeluarkan suara "hmm". Aiden menganggap itu seb
Sudah tiga hari ini Xi hanya diam di kamarnya. Tidak, kurang tepat jika kamar ini disebut kamarnya. Karena sejak kejadian tiga hari lalu, Xi dan Rhein mengungsi di kediaman Kepala Desa Reamus.Wajahnya yang putih semakin pucat karena tak tersentuh sinar matahari. Matanya yang biasa berbinar indah, kini menjadi sembab dengan lingkaran hitam di sekelilingnya.Rhein yang melihat keadaan Xi tak dapat berkata apa-apa. Peristiwa pembantaian malam itu memang sangat mengerikan. Tak ada satu pun yang selamat kecuali mereka berdua. Selebihnya, semua menjadi mayat dengan tubuh yang terpotong-potong."Xi, makanlah sedikit," bujuk Rhein sambil meletakkan beberapa piring makanan di meja. Xi hanya melirik sekilas, lalu kembali melamun menatap jendela yang tak pernah dibuka."Makanlah, jika kau sampai sakit kakak akan merasa sangat bersalah kepada mendiang Ayah dan Ibu." Rhein tak menyerah membujuk Xi. Dengan sabar ia menyendok nasi dan lauk, lalu mendekatkannya di depan mulut Xi.Xi menatap makanan
Malam semakin dingin, tapi Xi masih berada di atas rumah pohon itu bersama Aiden. Setelah beberapa kali keluar-masuk kamar mandi, akhirnya Aiden kelelahan dan tertidur di samping Xi. Wajah pemuda itu terlihat sangat pucat. Jika saja Xi tak memberikannya pil hitam untuk obat pencernaan, mungkin saat ini Aiden sudah terkapar lemas di kamar mandi. Langit terlihat lebih muram malam ini. Bintang-bintang enggan bekerlip, sementara bulan yang seharusnya purnama lebih memilih sembunyi di balik awan. Xi hanya berharap kalau malam ini tak akan terjadi badai lagi. “Bagaimana keadaan Tuan Muda Xiriu?” Sebuah suara membuyarkan lamunan Xi. Hati-hati ia pun menengok ke bawah. Tuan Reamus dan Kakak. Apa mereka baru pulang? Kenapa mereka mengobrol di tempat seperti ini? “Sepertinya ia sudah jauh lebih baik. Terima kasih untuk Tuan Muda Aiden yang sudah bersusah payah menghiburnya.” Rhein tersenyum sopan sambil sedikit membungkuk untuk berterima kasih. “Hahaha, anak itu memang suka bertindak seena
Xi terus berlari tanpa memedulikan arah. Ketika hampir kehabisan napas, barulah ia sadar kalau sudah berada di tengah hutan sendirian. Gelap. Ia tak tahu di mana posisinya saat ini. Selain membaca buku dan bermain pedang, Xi lemah di segala bidang. Salah satunya adalah, ia tak mengenal arah mata angin. Jangankan membedakan mana barat dan mana timur, untuk pulang ke rumahnya saja ia terkadang bingung saat menemui persimpangan. Dengan tubuh gontai, Xi terus berjalan membelah malam. Saat ini bukan kegelapan ataupun binatang malam yang ia takutkan. Ia hanya mengkhawatirkan sang kakak. Rhein pasti sangat marah dan panik mencarinya. Mengingat hal itu, Xi pun tersenyum getir. “Kakak? Apa aku masih boleh memanggilnya seperti itu?” Walau hati Xi masih terluka, ia tahu betul kalau kakak dan orangtuanya tak pernah berniat buruk padanya. Mereka pasti memiliki alasan yang kuat. Itulah sebabnya ia bertekad untuk kembali dan meminta penjelasan yang lebih rinci. Siapa dirinya dan siapa orang tua k