Share

Legend of Dark Lotus
Legend of Dark Lotus
Penulis: Ayriana Ren

1. Xiriu

Angin bertiup lembut membelai dedaunan yang dengan riang bergoyang. Gesekan demi gesekannya menciptakan musik alam yang amat indah, membuat siapa pun terlena akan alunannya.

Ditengah suasana damai itu, seorang bocah berparas cantik nampak asyik membaca buku di bawah pohon yang rindang. Kulitnya yang putih bersih bagaikan giok murni yang berkilau terkena sinar matahari.

Bola mata beriris kelam dengan kilau keemasan itu bergerak secara perlahan, mengikuti baris demi baris bacaan yang menyita seluruh perhatiannya. Ia sama sekali tak peduli dengan sang angin yang sejak tadi asyik menggoda rambut hitamnya yang lembut bagai sutra.

Baru saja ia akan membalik halaman bukunya, terdengar beberapa pasang langkah mendekat. Ia tak bergeming. Dengan tenang ia membalikkan halaman buku, lalu kembali membaca.

"Hei, Nona! Apa kau sendirian hari ini?"

Anak itu tak menjawab. Ia masih terlihat tenang membaca tanpa mempedulikan sepuluh pemuda yang kini berdiri mengelilinginya.

"Tuan Muda, sepertinya Nona Xi ini malu-malu. Apa kita bawa saja dia sekarang?"

"Hahaha ... benar, Tuan Muda. Selagi Kakak gadis ini tidak ada, sebaiknya kita menculiknya saja."

Pemuda yang sejak tadi dipanggil Tuan Muda itu mulai jengah melihat sikap Xi yang tak acuh. Dengan kasar ia menarik buku yang ada di tangan Xi dan merobeknya tanpa ampun.

Xi bangkit dari tempat duduknya dan menatap pemuda yang saat ini sedang menghancurkan buku itu dengan wajah datar.

"Apa kau sudah selesai, Tuan Muda Aiden?" Xi menghela napas melihat buku yang sudah hancur itu, "Awalnya aku ingin menitipkan buku ini untuk Ayahmu. Tapi apa boleh buat, semua sudah hancur. Aku harus berkata apa pada Kepala Desa nanti?" ucap Xi dengan wajah polosnya.

Pemuda itu langsung terbelalak. Dengan wajah ngeri ia menatap lembaran terakhir yang masih ada di tangannya. Reamus Rhoneline. Sebuah nama yang tak asing lagi baginya. Ya, nama Ayahnya terukir jelas di sana.

"K-kau! Kau!"

Kali ini Xi tersenyum miring melihat kepanikan di wajah pemuda itu. Matanya yang indah berkelip bagai bintang. Namun ini bukan saatnya Aiden mengagumi pemandangan itu.

"Beraninya kau!"

"Ah!"

Xi terpekik ketika salah satu teman Aiden menarik rambutnya dengan kasar. Aiden ikut terkejut, ia tak menyangka kalau temannya akan berbuat seperti itu pada seorang gadis kecil yang umurnya tak lebih dari tiga belas tahun. Menggoda tak masalah, tapi kalau sudah bermain fisik....

"Lepaskan tanganmu!"

Suara Xi berubah dingin.

"Apa? Kau mau mengancamku? Teriak saja! Tak akan ada yang menolongmu karena kakakmu tak ada di sini."

"Benar! Setelah kami menyanderamu, kakakmu -Rhein- yang sok hebat itu akan kami taklukkan dengan mudah."

Xi mendengus, "Jadi kalian ingin bermain kotor dengan menyanderaku? Yang benar saja, jika kalian saja tak mampu mengalahkan Kak Rhein, bagaimana mungkin kalian bisa mengalahkan aku?"

Para pemuda itu terlihat kebingungan sambil menatap Xi, "Apa maksudmu!?"

Dengan gerakan anggun Xi memelintir tangan pemuda yang masih mengcengkram rambutnya. Pemuda itu berteriak kesakitan, tapi Xi tak peduli. Dengan kejam ia meremukan tangan yang sudah mengotori rambutnya, lalu menendang pemuda itu sampai jatuh tersungkur.

"Kau tahu kenapa?" Xi menyeringai. "Karena Kak Rhein tak pernah menang bertanding denganku."

"Dasar bocah sombong! Hiyaaa!!"

Xi menghindar dengan cepat saat pemuda lainnya melempar tinju dengan brutal. Dengan mudah ia menangkis lalu kembali menjatuhkan lawan yang memiliki bobot dua kali dari tubuhnya.

Merasa tak terima temannya dipermalukan oleh gadis kecil, mereka pun langsung menyerang Xi tanpa ampun. Persetan dengan wajah cantik. Harga diri mereka sebagai lelaki terlalu besar untuk diinjak-injak seorang gadis kecil.

Melihat keadaan yang sudah diluar kendali, Aiden menjadi panik. Niat hati hanya ingin menggoda Xi karena anak itu sangat sulit dijinakkan. Itulah sebabnya ia menyewa beberapa pemuda dari desa tetangga untuk menakuti Xi. Tapi siapa sangka kalau malah terjadi hal seperti ini? Ini benar-benar di luar rencana!

"He-hei! Hentikan! Kalian tak boleh menyerang Nona Xi. Ini bukan rencana yang kita setujui!" Aiden berusaha melerai. Namun nahas, tanpa ia sadari sebuah tinju melayang ke arah wajahnya dan iapun jatuh tak sadarkan diri.

Xi yang masih dengan lincah menghindari serangan lawannya itu hanya menggeleng ketika Aiden pingsan.

Tuan Muda yang malang, lain kali kau harus benar-benar jeli dalam memilih teman, Aiden.

"Nona, sampai kapan kau akan melarikan diri terus? Mana bualanmu tadi?" Dengus salah satu pemuda yang nampak kesal karena serangannya selalu gagal.

Xi memiringkan kepalanya sedikit sambil mengerutkan dahi.

"Jadi kalian ingin aku serius?" Xi menyeringai, "Baiklah."

***

Derap langkah seorang pemuda berusia sembilan belasan menghentikan pergerakan Xi. Dengan cepat ia melempar sebatang ranting yang tadi digunakan untuk memukuli lawannya, lalu berbalik dan menampilkan senyum yang mampu membius siapa saja.

Rhein, pemuda yang baru saja datang itu hampir saja terlena. Namun ia segera mengerutkan dahi saat dilihatnya banyak pemuda yang menggeliat kesakitan di tanah.

"Xiriu, apa yang kau lakukan pada mereka?"

Xi mengedikkan bahunya tak acuh. Menatap malas para pemuda yang merintih kesakitan, bahkan dengan santai menendang tubuh yang menghalangi jalannya.

"Bukan apa-apa. Oh iya, apa kau mendapatkan pesananku?" Tanpa wajah berdosa Xi tersenyum penuh semangat melihat bungkusan yang sedang dipegang Kakaknya itu.

Melihat wajah polos sang Adik, hati Rhein kembali melunak dan tanpa sadar mengangsurkan bungkusan yang sejak tadi ada di tangannya. Namun, baru saja tangan Xi akan menggapai bungkusan itu, Rhein tersadar dan menarik kembali tangannya.

"Kau belum menjelaskan mengapa pemuda-pemuda ini babak belur seperti ini."

Xi mengerucutkan bibir mungilnya, "Mereka yang mulai duluan, aku hanya membela diri."

Rhein hanya menggelengkan kepalanya dan menghela napas. Kenapa adiknya yang begitu manis dan menggemaskan ini sangat bar-bar?

"Kau ini...."

Belum sempat Rhein mengucapkan kata-kata, seorang pemuda yang berada dibelakang tubuhnya bangkit dan mengeluarkan sesuatu yang berkilau. Mata Xi langsung membelalak ketika pemuda itu bergerak cepat dan menerkam Rhein.

"Kakak awas!"

Terlambat. Semua terjadi begitu cepat. Pemuda yang menerkam Rhein tertawa puas seperti orang gila.

"Hahaha, akhirnya aku bisa membalaskan dendamku. Matilah kau bocah sombong!"

Wajah Xi mengeras. Dengan tatapan penuh amarah Xi mengibaskan tangannya. Pemuda itu terpental jauh menubruk pohon. Bunyi bedebam yang ditimbulkan dari tumbukan itu membuat Rhein merasa ngeri.

Ah, semoga saja pemuda itu masih hidup. Walaupun aku tak yakin tulangnya akan baik-baik saja. Xi memang mengerikan jika sudah marah.

Lupa akan lukanya sendiri, Rhein malah mengasihani pemuda itu.

"Kakak, lukamu...."

"Aku tidak apa-apa, hanya.... Ugh!" Rhein tersenyum getir, lukanya cukup dalam. Mengapa aku seceroboh ini?

Dalam diam Xi mengumpulkan energi di tangan kanannya. Cahaya biru berpendar indah. Dengan hati-hati ia menempelkan telapak tangannya ke atas luka Rhein yang terus mengeluarkan darah.

"Xi, kau tak boleh melakukan ini. Kau bisa...."

"Diamlah, Kak. Hanya sebentar."

Xi terus berkonsentrasi. Dari luka Rhein perlahan keluar asap hitam tipis. Asap itu seperti terhisap ke dalam cahaya biru milik Xi. Bersamaan dengan itu, luka di punggung Rhein pun menutup. Rasa sakit perlahan hilang diganti oleh kehangatan yang sangat nyaman.

"Xi, aku baik-baik saja. Kau tak boleh menggunakan kekuatanmu lagi. Nanti kau akan...."

Belum sempat Rhein menyelesaikan kata-katanya, tubuh Xi langsung merosot kelelahan. Wajahnya terlihat sangat pucat saat Rhein menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke tanah.

"Lihat perbuatanmu!" Rhein mendelik melihat adiknya yang lemah itu masih tersenyum. "Lukaku bisa dengan mudah disembuhkan. Tapi jika sesuatu terjadi padamu, aku bisa mati dihukum Ayah!"

"Jangan salahkan aku, Ayahlah yang harus disalahkan. Gara-gara peraturan anehnya itu aku terus saja digoda pemuda brengsek. Aku ini laki-laki, Kak. LAKI-LAKI! Kenapa aku harus berpakaian wanita?" Protes Xi masih dalam pelukan Rhein.

Rhein tersenyum geli sambil mengangkat tubuh Xi ke dalam gendongannya bak tuan puteri.

"Itu karena kau sangat cantik, Nona Xiriu. Lebih cantik dari gadis manapun."

"Kakaaaaak!"

Tawa mereka memecah kesunyian senja. Berjalan di antara daun-daun maple yang berguguran sambil bercanda ria.

Semua terlihat normal. Ya, cuaca yang normal. Namun mereka tak pernah tahu kapan badai akan bertiup.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status