Share

4. Kenyataan 2

Malam semakin dingin, tapi Xi masih berada di atas rumah pohon itu bersama Aiden. Setelah beberapa kali keluar-masuk kamar mandi, akhirnya Aiden kelelahan dan tertidur di samping Xi. Wajah pemuda itu terlihat sangat pucat. Jika saja Xi tak memberikannya pil hitam untuk obat pencernaan, mungkin saat ini Aiden sudah terkapar lemas di kamar mandi.

Langit terlihat lebih muram malam ini. Bintang-bintang enggan bekerlip, sementara bulan yang seharusnya purnama lebih memilih sembunyi di balik awan. Xi hanya berharap kalau malam ini tak akan terjadi badai lagi.

“Bagaimana keadaan Tuan Muda Xiriu?”

Sebuah suara membuyarkan lamunan Xi. Hati-hati ia pun menengok ke bawah. Tuan Reamus dan Kakak. Apa mereka baru pulang? Kenapa mereka mengobrol di tempat seperti ini?

“Sepertinya ia sudah jauh lebih baik. Terima kasih untuk Tuan Muda Aiden yang sudah bersusah payah menghiburnya.” Rhein tersenyum sopan sambil sedikit membungkuk untuk berterima kasih.

“Hahaha, anak itu memang suka bertindak seenaknya. Kuharap Tuan Muda Xi tak menaruh dendam setelah kejadian itu.”

Rhein tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Tentu saja tidak. Kurasa mereka akan menjadi teman baik di kemudian hari.”

“Itu akan menjadi suatu kehormatan untuk putraku,” ujar sang Kepala Desa sambil kembali tertawa.

“Lalu, bagaimana hasil penyelidikannya?”

Tuan Reamus menghentikan tawanya lalu mengawasi sekitar—memastikan tak ada penguping di sekitarnya. “Mereka utusan Ratu Iblis Azura. Sepertinya pelindung pertahanan desa ini mulai melemah sehingga mereka dapat mendeteksi kekuatan Tuan Muda saat menyembuhkan Anda.”

Xi tercekat. Jadi, semua ini salahnya? Andai ia mendengarkan perkataan Rhein dan tidak menggunakan kekuatannya waktu itu, tentu saat ini keluarganya akan baik-baik saja.

“Nasi sudah menjadi bubur, lalu apa tindakan Anda selanjutnya? Apa Anda akan mengatakan semuanya pada Tuan Muda dan membawanya ke Erstle Academy?” tanya sang epala desa.

“Tidak, Erstle Academy sangat berbahaya saat ini. Dan aku tak mau jika Xi tahu jati diri yang sebenarnya kalau ia bukan putra dari keluarga Lacklan.”

Sebuah ranting tiba-tiba terjatuh di antara dua orang yang sedang mengobrol itu. Rhein mendongak. Dilihatnya Xi yang membeku bersama Aiden yang memasang wajah memelas ada di atas sana. Sepertinya Aiden sengaja menjatuhkan ranting itu untuk memberitahukan bahwa Xi mendengar pembicaraan mereka.

Tanpa menunggu Rhein membuka suara, Xi langsung melompat turun. “Aku minta penjelasan,” ucapnya datar.

Rhein berusaha bersikap tenang, “Penjelasan? Bukankah seharusnya aku yang minta penjelasan? Mengapa kau masih berada di luar malam-malam?”

“Aku sudah mendengar semuanya. Apa benar kalau aku … aku bukan ....” Ada getaran dalam suara Xi. Ia sama sekali tak memedulikan Rhein yang berusaha mengalihkan perhatiannya. Ia hanya ingin penjelasan.

Rhein menghela napas, lalu mengangguk pelan. “Ya.”

Katakan kalau apa yang didengarnya adalah bohong. Xi tidak percaya dan tidak mau percaya. Kakaknya itu hanya bercanda, bukan? Lama menunggu sang kakak mengatakan, “Aku hanya bercanda”, tetapi Xi tak juga mendapatkannya. Ia hanya mendapati wajah sedih sang kakak yang diliputi penyesalan.

“Tuan Muda Xi, dengarkan dulu.” Tuan Reamus ikut bicara. “Anda jangan salah paham. Anda memang bukan anak dari keluarga Lacklan, tapi bukan berarti Anda anak yang dibuang oleh orangtuanya.”

Xi mengerutkan dahi.

“Dengar, orangtua Anda memang menitipkan Anda kepada keluarga Lacklan, tapi mereka bukan membuangmu. Keluarga Lacklan hanya berusaha merawatmu dengan baik sesuai perintah.”

Rhein menepuk dahinya frustrasi. Orang tua ini ... ah, perkataannya hanya akan memperburuk keadaan. Mengatakan kalau merawat Xi adalah “perintah” adalah pilihan kata yang buruk. Xi paling benci ketidaktulusan.

Xi tersenyum getir, “Oh, jadi seperti itu.”

Rhein kembali menatap adiknya yang masih berusaha tenang.

“Pantas saja Ayah dan Ibu memperlakukanku berbeda. Apa itu karena aku adalah anak titipan yang harus dirawat dengan baik?” Xi tertawa. Tawa yang penuh dengan kepedihan. Tak pernah sekali pun ia memikirkan akan hal ini sebelumnya. Jadi dia bukan anak kandung?

“Kau telah membohongiku, Kak. Kau, juga Ayah dan Ibu!” Xi terdiam, lalu tersenyum kecut. “Tidak, bukan Ayah dan Ibu, dari awal aku seharusnya memanggil mereka TUAN DAN NYONYA LACKLAN!"

Xi membalikkan badan, lalu berlari kencang. Tetesan bening mengalir deras di pipi putihnya. Ia tak menghiraukan teriakan orang-orang di belakangnya. Yang ia inginkan saat ini hanyalah sendiri dan menjauh dari segalanya. Hatinya belum siap. Ia benar-benar tak siap untuk menerima semua kenyataan ini.

***

"Apa kau tak ingin mengejarnya?" tanya Tuan Reamus hati-hati saat Rhein masih diam mematung di tempatnya.

Rhein menggeleng, namun matanya tak juga beranjak ke arah Xi berlari tadi. Saat ini hatinya benar-benar gusar. Walau ia sadar cepat atau lambat Xi akan mengetahui rahasia ini, tapi apa sekarang waktu yang tepat?

"Biarkan Xi menenangkan dirinya dulu," ucap Aiden yang sejak tadi hanya terdiam. "Dia butuh waktu untuk sendiri. Jika dia sudah tenang, aku yakin dia akan kembali.

Dalam diam Rhein membenarkan perkataan Aiden. Informasi sebesar ini memang mengejutkan. Siapa pun akan sulit menerima jika orang-orang yang selama ini begitu menyayanginya ternyata telah menyembunyikan kebohongan besar.

Walau begitu, Rhein masih merasa tidak tenang. Sepertinya ia melupakan sesuatu yang penting dalam hal ini. Tapi apa?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status