Beberapa bulan berlalu. Hubungan Alfa dan Melody belum ada kemajuan yang berarti. Alfa sibuk dengan mengelola usaha, dan tiap kali ketemu dengan Melody tetap saja kisah Tom and Jerry menjadi inspirasi mereka. Sedangkan hubungan Melody dan Ansya tetap manis seperti biasanya meski mereka sama sekali belum pernah bertatap muka walaupun sekedar video call saja. Ansya masih terlalu canggih untuk menyembunyikan identitas aslinya sedangkan Melody terlalu santai dengan hubungan manisnya dengan Ansya. Jujur, belum ada mimpi pasti untuk masa depannya yang dia rangkai saat ini bersama Ansya.
Pagi ini, di depan cermin besar di kamarnya Melody mematut diri. Kemeja kerja resmi selayaknya orang bekerja menutup tubuh proporsionalnya. Warna dusty pink yang lembut berpadu dengan kulit putihnya membuat gadis itu begitu cantik. Sebuah rok span mini yang masih cukup sopan berwarna dark grey menjadi padu padan bajunya. Postur tubuh yang bagus dan warna kulit putih bersih yang di miliki oleh Melody
Alfa termenung di ruang kerjanya. Jika bisa protes, dokumen yang sudah terbuka di mejanya sekian lama dan tak tersentuh oleh tangannya akan berteriak histeris memprotesnya karena terabaikan semenjak tadi. Raga cowok itu emang berada di ruang kerjanya, tapi jiwanya sedang duduk termenung di sebuah ruang cukup luas yang masih satu gedung dengannya, bahkan di lantai yang sama. Satu ruang bercat putih dengan pernak-pernik ungu yang begitu cocok dengan penghuninya yang girly abis. Jiwanya sedang duduk memandangi seorang gadis yang tengah serius melakukan pekerjaannya, gadis yang semakin mengisi relung hatinya tapi sekaligus membuatnya semakin egois. Masih teringat jelas kejadian malam itu di rumah Melody, teringat tatapan terluka yang tertuju padanya setelah kejadian di taman kota bersama Hesta. Yang tak di klarifikasinya dengan jelas karena berharap gadis itu akan datang kepadanya meminta penjelasan. Namun, jangankan datang kepadanya, justru hubungan keduanya semakin dingin dan menjauh.
Melody tengah termenung di balkon kamarnya. Otaknya sedang sibuk berfikir tentang hidupnya 2-3 bulan terakhir. Ada susah, ada senang. Dia mulai sibuk dengan beragam masalah di perusahaan, setidaknya dia merasa senang karena akhirnya bisa membantu papa. Namun di balik itu, ada susahnya juga. Dalam waktu seminggu, beberapa hari dia harus satu kantor dengan Alfa. Ada saja tingkah menyebalkan cowok itu yang menjungkir balikkan hati dan perasaannya. Kadang-kadang bersikap sangat manis, kadang-kadang sangat menjengkelkan. Apalagi jika berurusan dengan perempuan-perempuan yang entah kenapa selalu melihat penuh minat kepada cowok itu. Si cowok yang mendapat perhatian tetap aja bersikap dingin dan cuek, tapi sikap para perempuan itu bikin jengah seorang Melody yang melihatnya. Kenapa mereka harus cari-cari perhatian, sok kegenitan dan kenapa pula Alfa adem ayem aja membiarkan sikap mereka. Inginnya Melody, cowok itu dengan tegas menolak atau menegur sikap mereka jika emang keterlaluan, bukan
Ketika senja yang berwarna jingga memamerkan keindahannya di langit barat di antara batas siang dan petang, mobil Melody mulai memasuki halaman luas rumahnya. Di garasi mobil yang cukup untuk di tempati empat mobil itu mata indahnya mendapati Pajero putih yang sangat di kenalnya. Cuek, itulah sikap yang dia rencanakan untuk menghadapi si pemilik mobil. Percuma banyak gaya di depannya karena pada akhirnya tetap akan mati gaya. Haha, Melody mentertawakan isi kepalanya barusan, setidaknya hatinya kini sudah merasa ringan. Sisil tidak kenapa-kenapa, tidak sedang sakit seperti kekhawatirannya. Masalah gadis itu dengan keluarganya-pun sudah terselesaikan dengan baik. Meski dengan konsekuensi untuk satu bulan ke depan dia harus bisa banyak meluangkan waktu membantu mempersiapkan keperluan resepsi pernikahan. Melody tak ingin kehamilan Sisil kenapa-kenapa jadi dia bersiap untuk membantu segala kerepotan gadis itu dan keluarganya semaksimal mungkin lahir dan batin.Di ruang keluarga n
Di ruang kerja yang cukup luas dengan pernak-pernik nuansa ungu yang cantik khas warna kesukaan Melody. Gadis itu mengotak atik handphone di tangannya. Berkali-kali di lihatnya layar chat dengan Ansya yang selama beberapa hari ini tak nampak ada penambahan baris kalimat. Beralih ke riwayat panggilan, beberapa panggilannya ada, tapi tak nampak respon panggilan balasan dari cowok itu. Karena yang ada ketika beberapa kali dia mencoba meneleponnya, status nomor cowok itu adalah di luar jangkauan alias tidak aktif. Sesekali kening Melody mengernyit, sesekali bibirnya manyun cemberut. Ada marah, ada rindu, ada khawatir, ada penasaran dan beragam rasa gusar yang saat ini menderanya. Sebelumnya, setiap kali bisa berkomunikasi Ansya tetap seorang yang manis, tetapi beberapa waktu terakhir cowok ini memang sangat sering menghilang dari peredaran.Beralih ke layar chat dengan Alfa. Pagi tadi, bahkan ketika mungkin dia baru saja menggeliat bangun tidur, Alfa sudah mengirim foto selfinya
Melody tengah berbincang akrab dengan Bimo sambil berdiri tak jauh dari tempat duduk Dista. Mereka berdua ngobrol santai dan bercanda selayaknya teman. Sesekali pula nampak mereka berdua tertawa. Bimo tengah menceritakan salah satu temannya yang frustasi berat ketika dulu pernah menyatakan suka pada Melody dan ternyata mendapat penolakan. Sang teman yang awalnya sombong dan begitu percaya diri bahwa Melody akan menerimanya pada akhirnya frustasi dan menjadi pendiam. Padahal teman itu sebelumnya sangat sok dan banyak bicara, dia kaya, sering ganti-ganti cewek yang seolah-olah siapapun bisa dia miliki dengan mudah karena pundi-pundi uang sakunya yang selalu penuh."Gue dan teman-teman sekelas jaman waktu itu bener-bener berterima kasih sama kamu karena menolaknya. Sampai akhirnya kita bikin syukuran kecil-kecilan dengan borong makanan di kantin Mak Erni,” cerita Bimo.“Kalian jahat ya, temen sedih malah bikin syukuran,” Melody menanggapi sambil ketawa. Dia teringat cowok yang sa
“Elo cantik banget, Mel. Nyesel gue jadiin elo bridesmaid gue, kalah pamor,” goda Sisil yang udah sempurna dengan make up dan baju pengantinnya. “Ya udah, gue batal aja kalo gitu, males juga gue nampang-nampang banyak kesorot kamera kayak gini,” balas Melody. “Eh, sampek elo berani kabur, gue pecat elo dari jabatan sahabat gue,” ancam Sisil yang membuat Melody tertawa memamerkan gigi biji timunnya. “Astaga, elo ketawa gini tambah cantik, Mel. Gila make over lo hari ini, biasanya polos ga kesentuh make up sekarang amazing. Sini gue bisikin.” Melody mendekat sesuai permintaan Sisil. “Siap-siap aja kalo Alfa jatuh cinta sama elo,” bisik Sisil. “Jangan bikin rusak mood gue deh,” rajuk Melody menampilkan tampang cemberutnya. Sedangkan Sisil terbahak geli. “Eh, kalian ini udah pada dandan cantik tapi kelakuan tetep absurd,” semprot Chacha yang datang bersama Sinta, dua sahabat kuliah mereka yang di daulat Sisil juga untuk menjadi pen
Melody menatap layar handphone-nya dengan sedih. Entah sudah berapa lama dia tak berkomunikasi denga Ansya. Cowok itu semakin menghilang dari hidupnya, namun entah mengapa rasa di hatinya tak terkikis sedikitpun. Selama ini, Melody masih tetap berfikir positif, bahwa suatu saat dia akan muncul di hadapannya dengan penuh kasih sayang dan cinta tulus yang nyata. Tak ada lagi tempat baginya meletakkan hati selain pada cowok itu. Tidak juga kepada seorang Alfa. Karena yang di lihat Melody, sampai dengan saat ini Alfa masih berhubungan cukup baik dengan Hesta. Cowok itu begitu perhatian pada perempuan itu dan terlihat begitu menyayangi anak Hesta. Melody tengah bersiap jika pada saatnya nanti anak Hesta menjadi alasan bersatunya mantan dosen dan mantan mahasiswanya itu. Selisih umur bukan masalah, apalagi Hesta nampak cantik dan modis tak sedikitpun terlihat bahwa dia sudah memiliki satu orang anak. Bisa saja suatu saat nanti Alfa tiba-tiba juga menghilang dari hidupnya dan memperjuangka
Melody berjalan menuju parkir mobil sambil menenteng buket bunga yang dia terima dari Alfa. Sesekali senyumnya merekah membalas banyak sapa yang tertuju ke arahnya. “Al,” panggil Melody sambil menarik kemeja Alfa hingga cowok itu segera menghentikan langkahnya. “Kenapa?” tanya Alfa penuh heran melihat Melody yang meringis ke arahnya. “Gue capek hehe,” ujar Melody sambil menggerak-gerakkan kakinya yang memakai bawahan kain panjang yang agak sempit hingga mengganggu jalannya, tak bisa melangkah dengan cepat. “Mau gue gendong?” tanya Alfa penuh usil. “Ih, ogah.” “Trus mau elo gimana?” “Elo jalannya jangan cepet-cepet dong, gue capek ngikutinnya.” Alfa terkekeh menyadari kesalahannya. Lembut di usapnya kepala Melody, kemudian di rangkulnya bahu gadis itu. Perlahan mereka mulai kembali berjalan. “Berasa jalan sama nenek-nenek, deh.” “Nenek-nenek cantik, nggak malu-maluin kok di ajak jalan.” “Iya untun