Netraku menatap rumah tua milik ayahku dari kejauhan, tampak rumah itu masih sama seperti dulu, teringat kembali sewaktu aku kecil, aku sering berlarian mengelilingi rumah ini, tidak banyak perubahan yang ku lihat setelah meninggalkannya setahun lebih.
Aku berhenti dan menunjuk rumah papan yang sudah terlihat sangat kumuh di depanku, terlihat pintunya tertutup rapat. “Ini rumah saya, Tuan.”
Mata Tuan Rey membulat. “Ini?”
“Benar, Tuan. Ini rumah saya, ya beginilah adanya, berharap Tuan Rey dan Tuan Roy memaklumi keadaan saya,” ujarku memberi pengertian.
Tampak Tuan Roy mengangguk pelan. “Tidak apa-apa, Yonna. Yang terpenting kan bisa ditempati.” Ujarnya sambil tersenyum.
Tuan Roy tampak biasa saja dan memaklumi keadaanku namun, berbeda halnya dengan Tuan Rey, ia terlihat sangat tidak menyukai tempat tinggalku ini.
Melihat reaksi Tuan Rey yang tidak nyaman, aku langsung berkata. “Tuan Rey,
“Ya, mungkin saja, yasudah pergilah, Yon.”“Iya, Tuan.” Aku mengangguk pelan dan pergi.Sesampainya di kamar mandi, seketika ingatanku kembali ke masa dimana aku sedang dimandikan oleh ayah, saat itu aku tertawa lepas, saat gelembung sabun yang aku mainkan beterbangan.“Lagi, Yah, lagi,”“Sudah jangan lama-lama, nanti kamu masuk angin,”“Ahh,,,, Ayah! Aku masih ingin bermain sabun itu, Yah!” Teriakku waktu itu.Dengan sabar ayahku berkata. “Yonna, nanti kamu sakit jika, terlalu lama bermain air. Besok lagi ya, Nak, ya?”Dengan sedikit kecewa aku mengangguk. “Iya, ayah.”“Anak pintar,”Sambil membersihkan tubuh Daffa, tanpa terasa air mataku mengalir, sesekali aku menyeka air mata ini namun, tetap saja kenangan itu terus saja menghantui pikiran dan jiwaku.Bagaimana nanti jika ayah melihat kedatanganku, apakah ia akan se
Aku segera menyeka air mataku dan berkata untuk yang terakhir kalinya pada ayah.“Maafkan anakmu ini, Yah. Sungguh aku sangat menyesali apa yang sudah terjadi, saat itu anakmu sangat polos dan tidak tau apa-apa dengan kehidupan luar. Sekali lagi Yonna minta maaf. Yang perlu ayah tau, Yonna sangat menyayangi ayah, tidak ada mantan ayah di dunia ini.”“Tutup mulutmu dan segera pergi dari sini! Aku sudah tidak mau dengar apa pun dari mulutmu yang kotor itu! Kalau kau memang sayang denganku, tidak mungkin kau mengambil jalan yang hina itu!!”Aku bungkam, seisi kepalaku seakan ingin keluar bersamaan dengan isak tangisku.“Simpan air mata tak bergunamu itu! Aku tidak ingin melihat wajahmu yang penuh dengan sandiwara ini!” Bentaknya ketika melihatku menangis tanpa henti.Sekali lagi aku memohon. “Baiklah, Yah. Sebelum pergi, sekali lagi Yonna ingin meminta maaf dan tolong maafkan Yonna, Yah.” Pin
Dengan wajah panik dan ketakutan Rey menghampiri wanita yang pingsan itu.“Bang! Dia masih hidup, kalau begitu kita aman!” Serunya.“Memangnya siapa yang menembaknya, Rey? Aku hanya memberi tembakan peringatan ke udara, mungkin dia terkejut dan langsung pingsan.”“Akh! Aku kira Abang menembaknya.”“Mana mungkin aku menembaknya, aku hanya mengancamnya saja karena, wanita itu memang pantas di perlakukan seperti itu.” Jelas Roy.Rey mangut-mangut dan tersenyum sinis melihat wanita yang menghina mereka itu pingsan.“Ayolah, Rey. Nanti keburu malam. Kita bawa Yonna kerumah sakit.”“Ayo, Bang. Biar aku saja yang menyetir.” Pinta Rey.“Terserahmu saja, Rey. Yang terpenting kita jangan sampai kemalaman karena, aku tidak tau jalan daerah sini.”Mata Rey membulat mendengar perkataan abangnya itu. “Abang lupa?”“Ya jelas aku
Rey tak menjawab, ia terpukau dengan pemandangan yang ada di depannya, hamparan sawah yang sangat luas, dan ujung-ujung padi terlihat menguning akibat dari pantulan cahaya matahari yang hampir tenggelam.“Rey, kamu lihat langit itu,” Roy menunjuk langit yang sudah mulai gelap.“Iya, bang. Kenapa?”“Ini mendung atau memang sudah sore?” Tanyanya bingung.Rey mengangkat kedua bahunya, menandakan ia juga tidak mengerti.“Tidak tau, Bang. Mungkin memang sudah sore,”Roy melihat jam yang ada di tangannya, ia langsung terkejut bercampur heran.“Baru jam lima lewat, Rey. Tetapi mengapa sangat gelap sekali, ya. Emm,,,, kalau mendung aku rasa tidak.”Rey diam sesaat, tiba-tiba ia teringat.“Yaampun, Bang! Kita kan di kampung, jadi memang terlihat sudah gelap kalau jam segini,”Roy menatap wajah Rey tak mengerti. “Lah, apa hubungannya, Rey?”
“Yonna,,,, Yonna. Syukurlah kamu sudah sadar,”“Saya dimana, Tuan?” Tanyaku bingung.“Kamu di dalam mobil, Yonna. Kita akan pulang.”“Ayah, Tuan! Ayah saya dimana!” Seruku sambil melihat ke kiri dan ke kanan seperti orang yang kehilangan sesuatu.“Tenang, Yonna tenang.”“Tapi, Tuan. Ayah saya dimana,” ucapku setengah sadar.“Ayah kamu di kampung, kita malam ini pulang. Apa kamu lupa dengan kejadian tadi sore?” Tanya Tuan Roy.Aku terdiam, tak lama kemudian aku langsung menangis.“Tidak ada gunanya lagi saya hidup!” Seruku.Mata Tuan Rey dan Tuan Roy seketika melotot ke arahku.“Yonna! Jangan bicara seperti itu, kamu tidak diakui oleh ayahmu lagi, bukan berarti hidupmu tidak berguna. Ingat! Kamu itu seorang ibu, ingat Daffa Yonna!” Seru Tuan Roy, mencoba menyadarkanku.“Apa yang dikatakan A
“Bang, Bang,”Roy mengusap usap wajahnya. “Ada apa, Rey? Kamu ini mengganggu tidurku saja,” ucap Roy merasa sedikit kesal.Rey berdecak. “Yaelah, Bang. Memangnya kamu enggak, lapar?” Tanya Rey bingung.Roy langsung memegangi perutnya yang terasa keroncongan. “Eh, lapar sih, memangnya kita mau ngapain?”“Mau menari,” ucap Rey sambil bercanda.“Serius, Rey.”“Ya mau makan lah, Bang. Kok aneh,” ucap Rey.“Ya enggak aneh, yang aku mau tanyakan ini, memangnya ada rumah makan?”Rey menunjuk ke depan mobilnya. “Tuh baca, jelas-jelas itu bacaannya Rumah Makan.”Mata Roy melotot. “Ini enggak mimpi kan, Rey.”“Mimpi,” ucap Rey kesal.“Akh! Serius.”“Plaakkkkk....”Roy berteriak ketika sebuah tamparan mendarat di pipi sebelah kanannya itu. &l
Hari semakin larut malam, aku sedikit merasa khawatir dengan keadaan sekitar, karena daerah sini terkenal dengan banyaknya perampokan di jalan.“Tuan, ayo kita pulang.” Ajakku.Tuan Roy menyerngitkan dahinya, terlihat ia sedikit heran.“Kenapa, Yon? Kita baru selesai makan, perut saya juga masih terasa kekenyangan sekali.”“Iya, Yon. Saya juga sangat kekenyangan, disini makanannya sangat enak-enak sekali, jadi sangat sayang jika saya menyisakan makanan ini.” Sambung Tuan Rey.Aku tak bergeming, jawaban mereka membuatku tidak dapat berbuat banyak namun, disisi lain aku merasa sangat khawatir dengan perjalanan kami malam ini.Tuan Roy melihat wajahku, ia merasa sedikit ada yang aneh.“Yonna, kamu baik-baik saja, kan? Atau ada masalah? Dari tadi saya lihat kamu sepertinya sangat gelisah dan ketakutan.”Aku gugup, tidak tau harus apa. “Emm,,,, tidak, Tuan. Saya tidak apa-apa,&rd
“Apa saya bilang! Terjadi kan, Tuan!”“DIAM!” Bentak Tuan Rey.Tuan Roy yang sedang menyetir pun ikut menyambung perkataan Tuan Rey tadi.“Jangan banyak omong! Kita sekarang lagi dalam bahaya! Bisa kan kamu diam, Yon?”“Tetapi, apa yang saya bilang benar kan, Tuan. Tetapi tidak ada satu pun yang mau mendengarkan saya!” Seruku.“Diam! Saya bilang diam ya diam!” Bentak Tuan Rey.“Tidak bisa!” Seruku memberanikan diri.Tuan Rey melotot. “Ini semua karena kamu, Yon! Coba saja kami tidak mengantarmu pulang, pasti ini tidak akan pernah terjadi.”Mataku membulat tak terasa air mata mengalir membasahi pipiku. “Saya tidak ada menyuruh Tuan Rey dan Tuan Roy mengantar saya pulang,” ucapku.Seketika hatiku benar-benar sakit mendengar perkataan Tuan Rey barusan.“Kalau tau begini, saya tidak Sudi untuk ikut!”&ldq