"Mau apa!!!" tanyaku lagi. Kulihat wajah Dini agak terlihat pucat. Seperti menahan sakit. "Mak, Dini mau … mau minta tolong Mak," jawab Dini terbata-bata sembari memegang perutnya. "Minta tolong apa?""Ini Mak, perut Dini sakit Mak bisa minta tolong bikinkan teh hangat Mak," pinta Dini memelas. Aku menghela napas. Kasian juga melihatnya kesakitan seperti itu. Ya sudahlah kubuatkan saja. Mungkin Dini benar-benar kesakitan. "Ya sudah! Mak buatkan dulu," ucapku akhirnya. "Makasih Mak," sahut Dini. Kemudian dia berlalu kembali ke kamarnya. Hah, gak salah dengar aku. Dini ngucapin makasih. Ini pasti ada udang dibalik batu. Ada tujuan dan maksud tertentu. Kita lihat saja nanti. Semoga Allah membuka semua kebenaran nantinya. Segera kubuat teh permintaan Dini. Saat aku akan mengantar teh ke kamar Dini, Imron keluar dari kamar mandi. Imron terlihat bingung melihat
"Siang Ibu … Bapak. Saya ingin menjelaskan hasil pemeriksaan Ibu Dini. Menurut hasil USG tadi ternyata Ibu Dini mengalami kram perut," jelas dokter itu. Aku dan Imron saling berpandangan. Kram perut. Aku bingung jadinya. "Penyebabnya apa, Dok?" tanya Imron penasaran. "Kram perut yang Ibu Dini alami disebabkan karena kehamilan.""Hamil?!!!" ucapku berbarengan dengan Imron. Kami kembali berpandangan dengan penuh tanda tanya. "Iya, hamil. Biasanya di awal kehamilan sebagian wanita ada yang mengalami kram perut. Gejala ini mungkin disebabkan oleh rahim yang membesar atau peningkatan kadar progesteron atau bisa juga disebabkan implantasi embrio," jelas dokter itu lagi. Tiba-tiba tirai yang tadinya ditutup tersibak. Terlihat Dini memaksakan untuk duduk. Aku ,Imron dan dokter tersebut spontan mengalihkan pandangan ke arah Dini."Gak mungkin saya hamil, Dok! Saya selalu minum pil KB set
"Akan apa?! Kamu itu cumanya bisa ngancem aja! Aku dah gak mempan lagi sama ancamanmu itu! Mau kamu ngomong apa, aku gak peduli lagi! Sudah cukup aku bersabar selama ini menghadapi sifatmu yang kekanak-kanakan. Ditambah lagi kamu bohong soal rahim kamu itu!!!" cecar Imron. Dini terlihat menunduk. Mungkin dia tidak menyangka, Imron bisa berubah menjadi tegas seperti itu. Alhamdulillah, Imron bisa mengambil sikap. "Tapi, aku gak mau, Mas! Aku mau pulang ke rumah kamu!" isak Dini. "Aku gak akan kemakan dengan air mata buayamu itu! Sudah, kalau memang kamu gak sakit lagi ayo kita cepat pulang! Biar kamu juga ada waktu mengemas baju dan perlengkapan kamu!" ucap Imron. "Mak, Imron pergi urus bayaran klinik dulu ya nanti Mak tunggu depan aja."Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban. Imron berlalu keluar dari ruang IGD. Tiba-tiba, Dini turun dari ranjang mendekatiku kemudian bersimpuh. "Mak, tolong
Dini menoleh ke sumber suara. Tiba-tiba Dini berlari mendekati orang yang menegurnya yang tak lain Bu Leli. "Ibu, tolong bantu Dini, Bu! Hu … hu hu." Kudengar Dini mengadu pada Bu Leli dengan tangis palsunya. Dini memeluk Bu Leli seolah-olah meminta pertolongan. Aku hanya melihat dari teras perilaku Dini. "Eh, Mak Esah! Nih diapain lagi mantunya! Kok ya Situ jadi orang tega banget nyakitin mantunya terus!" Ibu Leli berjalan mendekati teras tempat aku berdiri sambil merangkul Dini. Imron sudah masuk ke rumah dari tadi. Mungkin bersiap-siap solat jumat. Aku hanya diam mendengar tuduhan Bu Leli. "Situ apa gak bisa sama mantu jangan kejam! Ini diapain anak orang sampe minta tolong ketetangganya!""Bu Leli tanya sendiri tuh sama orangnya!" Kuarahkan telunjukku ke arah Dini. "Kenapa, Din? Kamu gak usah takut, ada Ibu di sini yang belain kamu!" ujar Bu Leli seraya menatapku tajam. "Bu Le
Koper Dini terbuka dan pakaiannya berserakan. Terlihat Dini menangis sambil menundukkan wajahnya. Di sebelah Dini terlihat Bu Leli yang sedang mengusap-usap punggung Dini. Dia menatap dengan sinis melihat aku dan Imron yang keluar. Di depan teras pun ada pak Yudha dan Ustadz Zaki yang sepertinya akan pergi ke mesjid. "Ada apa ini, Im? Kenapa istrimu di luar dengan pakaian yang berserakan?" tanya Pak Yudha. Imron menghela napas. Dini sepertinya berbuat ulah lagi. "Maaf, Pak Yudha, jujur saya juga gak tau kenapa bisa pakaiannya berserakan seperti itu!" jawab Imron. "Halah, gak usah cari alasan kamu, Im! Kan kamu tadi yang ngeluarin koper Dini!" timpal Bu Leli. "Saya memang mengeluarkan koper Dini, tapi saya tidak menghamburkan pakaiannya seperti ini! Ibu kan tadi liat sendiri!" jawab Imron tajam. "Iy memang tidak berantakan, tapi kan gak tau setelah saya pergi, mungkin saja kamu melakukannya siapa tau?!" jawab Bu Leli. Astaghfirullah, Bu Leli benar-benar sudah kelewatan. Memang m
"Iya, Nabila," Dini menjawab mantap. "Sudah, Din! Kamu jangan bikin ribet masalah ini! Dan jangan mencari kambing hitam demi menyelamatkan dirimu sendiri!" Imron berbicara dengan lantang. "Kamu yang gak usah berbelit-belit, Mas!" timpal Dini. "Begini, Pak Yudha dan Ustadz Zaki. Biar saya jelaskan lagi. Alasan perceraian Imron bukan karena Imron ingin menikah lagi. Tapi ini jujur, karena sifat dan perilaku Dini. Rumah tangga mereka sudah tidak sehat lagi. Jadi daripada menyakiti satu sama lain dan selalu bertengkar untuk apa juga dipertahankan," jelasku panjang lebar. Pak Yudha kembali duduk di samping Ustadz Zaki. Terlihat Ustadz Zaki mengangguk paham akan penjelasanku. "Sebagai orang tua, saya pun tidak menginginkan perceraian dalam rumah tangga anak saya. Tapi jika mereka sudah tidak bisa mempertahankannya lagi, saya bisa apa! Toh, yang menjalani mereka. Kalau saya memaksakan kehendak supaya mereka tidak berpisah, bukankah saya sama saja menzolimi anak saya sendiri, sedangkan s
"Itu tadi dari kantor pusat di sini, Mak! Alhamdulillah, Imron dipromosikan menjadi leader sales. Jadi, Imron gak harus ke luar kota lagi. Paling sebulan sekali saja, Mak," jelas Imron. "Alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih, ya Allah telah memberikan kemudahan kepada anakku," ucapku haru sambil mengusap tangan ke wajah. Imron memegang tanganku dan menciuminya dengan takzim."Ini semua berkat doa Mak."Kutatap wajah anak sulungku itu. Nampak netranya berkaca-kaca. Kuusap-usap pundaknya. "Dah, kita makan yuk! ajakku akhirnya. Imron mengangguk kemudian duduk di meja makan. Kuambil nasi di dalam magic com dan menuangkannya ke wadah. Lalu kutaruh di atas meja. Baru saja akan menyendok nasi, Dini datang menghampiri. "Mas, kok makan gak ngajak-ngajak sih?! Aku ini lho, lagi hamil anak kamu! Gak ada perhatian banget sama istri!" cecar Dini. Imron menghela napas. Kemudian menatap tajam pada Dini. "Kalau mau makan tinggal makan! Gak usah banyak omong!" sahut Imron. "Ish, gitu amat kamu
POV DiniMak sudah selesai makan dan mencuci piring. Setelah itu langsung menuju ke arah depan mungkin ke kamarnya. Ditinggalkannya aku seorang diri. Haduh, mengapa pake hamil segala. Padahal sudah minum pil KB masih kebobolan juga. Gara-gara kehamilan ini semua kebohonganku terbongkar. Anak ini dari dalam perut saja sudah membawa sial dalam hidupku. Sekarang, Mas Imron ada alasan untuk menceraikanku. Aku tidak mau diceraikan sebelum Bagas dan Wita bercerai. Enak saja mereka mau berbahagia di atas penderitaanku. Tidak akan kubiarkan itu terjadi. Aku tak mau gagal lagi. Sudah cukup, dulu aku meninggalkan Bagas karena dia yang belum mapan dan Bapak juga yang bersikeras tidak menyetujui. Aku nggak mau lagi. Sudah sejauh ini aku melangkah aku gak akan mundur. Pantang menyerah sebelum Bagas jatuh ke pelukanku. Mana Mas Imron sudah bertekad untuk memulangkan aku ke rumah Bapak. Gimana ini ya. Harus dengan cara apa aku mencegah Mas Imron. ***Aku masih berusaha menghabiskan sisa nasi di p