Setelah beberapa saat, Dini dipindahkan ke ruang rawat inap. Dini masih terlihat lemah dan pucat. Aku yang melihat kondisi Dini merasa kasihan juga. Kenapa hal ini bisa terjadi padanya.Pak Bimo memilih ruang rawat VIP, biar Dini merasa nyaman juga. Dini terbaring tak berdaya masih dengan transfusi darah. "Din, gimana perasaan kamu, Nak?" tanya Bu Ratna. Dini tak bersuara. Dia hanya meneteskan air mata sambil memandang Ibunya. Kemudian menatap Pak Bimo. Setelah itu dia menatap kami satu persatu. Namun, saat menatap Nabila, tatapannya berhenti. Dini kemudian menunjuk Nabila dengan telunjuknya. Aku dan Imron saling berpandangan tak mengerti maksud Dini apa. Nabila pun mengernyitkan dahinya. Apa maksud Dini menunjuk Nabila????Dini kemudian memberi tanda agar Bu Ratna mendekat. Kemudian dia membisikkan sesuatu kepada Bu Ratna. Bu Ratna terlihat meradang. "Maaf, Mbak Nabila! Bisa kita bicara di luar?!" ajak Bu Ratna. "Ada apa, Bu? Kenapa tiba-tiba Ibu ngajak Mbak Nabila keluar?" tany
Hampir sebulan setelah kejadian musibah yang menimpa Dini. Semenjak itu, hanya sekali Pak Bimo menelepon, mengabari bahwa Dini telah keluar dari rumah sakit. Dan setelah hari itu kami tidak pernah berkomunikasi. Imron pun sepertinya tidak berniat untuk bertanya kabar Dini. Sekarang, dia lebih fokus kepekerjaannya dengan jabatannya yang baru. Alhamdulillah, dengan jabatan yang baru ini, Imron tidak perlu sering ke luar kota. Dia bisa lebih sering di rumah menemaniku. Ekonomi Imron pun semakin baik. Dia juga mendapat fasilitas mobil kantor. Aku bersyukur dengan keadaan kami sekarang. Imron pun sudah mengurus perceraian dengan Dini. Tinggal persidangan terakhir dan putusan. Dini tidak pernah sekalipun datang ke persidangan dan itu sangat mempermudah proses perceraian Imron. "Assalamu'alaikum," Terdengar suara salam dari depan. "Wa'alaikummussalam," jawabku. Aku yang sedang berada di kamar bergegas ke depan untuk melihat siapa gerangan yang datang. Kubuka pintu, dan terlihat Nabila y
"Mak, Pak Bimo juga meminta tolong pada Imron!""Minta tolong apa?" tanyaku.Imron menundukkan kepala. Seperti beban untuk mengatakannya. "Apa, Im?" tanyaku lagi. Bertambah rasa penasaran di hatiku. "Mmm … Pak Bimo bilang kalau bisa perceraiannya ditunda. Karena menurut Pak Bimo hal itu bikin nambah pikiran Dini!" jawab Imron. Apa yang sebenarnya ada di pikiran Pak Bimo. Dia hanya memikirkan perasaan anaknya saja. Tidak memikirkan perasaan kami yang sudah dibohongi oleh anaknya selama ini. Mimpi apa aku bisa berhubungan dengan keluarga Dini. "Kan tinggal putusan akhir saja, kan Im?" tanyaku memastikan. "Iya, Mak! Imron udah bilang juga sama Pak Bimo, seperti itu. Seandainya pun belum putusan akhir, Imron juga gak bakalan merubah tekad untuk bercerai dengan Dini!" jawab Imron tegas. "Terus, apa kata Pak Bimo?" tanyaku penasaran. "Pak Bimo gak ngomong apa-apa, Mak, cuma diam saja. Tapi, dia juga meminta Imron agar bisa nengokin Dini. Kata Pak Bimo, mungkin dengan kedatangan Imron
"Mmm …tapi, Mak, Imron ada permintaan. "Apa, Le?" tanyaku penasaran. Bagas dan Wita pun memandang ke arah Imron. "Mmm …itu …"Kenapa Imron jadi gugup gitu ya. Aku kok jadi curiga. Sebenarnya apa permintaan Imron. "Apaan, Mas? tanya Wita dengan nada tak sabar. "Mas mau …mau ngajak Abil juga, gimana? Boleh, kan?" tanya Imron malu-malu. "Oalah, Mas …Mas, kirain apa! Ya, jelas bolehlah, Mas. Malah Wita senang kalau Kak Abil bisa ikutan!" jawab Wita bersemangat. "Iyo, Le. Mak juga senang kok, jika Abil mau ngikut," timpalku. "Alhamdulillah, kalau begitu. Nanti Imron kasih tau Abil secepatnya," jawab Imron. Wita dan Bagas pulang sebelum magrib. Mereka ternyata membawa lauk untukku dan Imron. Sekalian memberitahukan tentang rencana ingin mengunjungi Bu Erna, Ibunya Bagas. Alhamdulillah, jadi aku tidak perlu memasak. Setelah solat isya dan mengaji, aku merebahkan diri di ranjang. Sambil memegang tasbih kulantunkan bacaan zikir dalam hati. Tok! Tok! Tok! "Mak, udah tidur ya?"T
Oh ya, Pak kenalkan ini besan saya, mertua Wita," ucapku sambil menunjuk Ibunya Bagas yang berdiri di belakangku. Ketika Ibunya Bagas mendekati Pak Bimo, mereka berdua saling terkejut dan bertatapan lama. "Mbak Erna?" ucap Pak Bimo tersentak. Begitu juga dengan Ibunya Bagas. "Kamu?""Pak! Kamu kenal dengan Ibu ini?!" tanya Bu Ratna. Pak Bimo diam membisu. Terlihat wajahnya yang seketika berubah pucat dan cemas. Ada apa dengan Pak Bimo. Apakah dia telah mengenal Ibunya Bagas sebelum ini. Kenapa raut wajahnya menyiratkan ketakutan. Kutatap wajah Dek Erna. Bertolak belakang dengan Pak Bimo, justru wajahnya menunjukkan emosi yang menggebu. Seperti menyimpan kemarahan yang telah lama. "Ternyata, kita ketemu lagi ya, Bim?" Ibunya Bagas mendekati Pak Bimo yang malahan melangkah mundur. "Bu, Ibu kenal sama mertua Mas Imron?" Bagas bertanya dengan nada heran melihat perilaku yang tak biasa dari Pak Bimo. "Tentu saja Ibu kenal, Gas! Sangat mengenal malah!" jawab Ibunya dengan nada sinis.
"Mbak pasti bohong! Mbak cuma mau nakut-nakuti saya saja, kan? Mbak gak punya bukti dan saksi! Itu hanya rekayasa Mbak, biar saya menyerahkan harta tersebut!" balas Pak Bimo dengan nada tak yakin. "Saya gak bohong! Kalau kamu gak percaya, mau saya hubungi mantan Kades kampung Sejahtera yang telah kamu sogok?!""A …apa? Mbak sudah tahu?" jawab Pak Bimo terbata-bata. "Tentu saja! Makanya saya bilang mau bawa kasus ini ke ranah hukum, dan kamu malah meremehkan saya!"Pak Bimo semakin terlihat gelisah. Wajahnya berkeringat padahal cuaca cukup adem. Aku yakin, dia sangat keberatan harus mengembalikan harta itu. Namun di sisi lain, dia takut bakalan di penjara. "Ja …jadi mau Mbak gimana?" tanya Pak Bimo akhirnya dengan nada pasrah. "Saya mau kamu kembalikan semua yang kamu ambil!" jawab Ibu Bagas lantang. "A …apa?! Gak bisa gitu, Mbak! Selama ini saya sudah bersusah payah membangunnya dari nol, mana mungkin saya harus kembalikan semuanya!" Pak Bimo tak terima. "Benar itu! Suami say
Inda_melKami semua menoleh ke sumber suara. Aku dan Imron terkejut melihatnya. Ya Allah kenapa jadi begini? Dini keluar dengan hanya menggunakan daster tanpa lengan. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya pucat dan terlihat lebih tirus. Dia memandang kami semua yang ada di ruang tamu. Tatapannya berhenti ke arah Bagas. "Gas, kamu datang?" tanya Dini seraya melangkah dan ingin langsung menghambur ke arah Bagas. Spontan ibunya Bagas langsung menghadang Dini dengan berdiri di depan Bagas. "Apaan kamu? Kok malah dekati Bagas?!" tanya Ibunya Bagas dengan nada ketus. "Ibu siapa? Saya gak ada urusan sama Ibu! Minggir! jawab Dini tak kalah ketus. Astaghfirullah, anak itu. Sudah diberi cobaan bukannya sadar malah semakin menjadi-jadi. Sikapnya tidak sopan sama sekali kepada orang yang lebih tua. "Din, ini Ibunya Bagas!" jelasku. Dini menatapku dengan raut wajah tak suka. Dia melengos tak mengindahkan ucapanku. Aku hanya bisa beristighfar dalam hati. "Saya gak percaya! Gas, tolong usir Ibu i
"Bu, Bagas masih penasaran dari tadi. Apa bener Ibu punya bukti dan saksi atas kejahatan Paklek Bimo? Seingat Bagas Ibu pernah bilang, kan kalau susah mau menuntutnya. Wita memandang dengan tatapan heran. Bingung mungkin karena Bagas memanggil Pak Bimo dengan sebutan Paklek. "Sebenarnya Ibu hanya mencoba menggertak Paklekmu itu. Ternyata nyalinya masih seperti dulu. Dasar pengecut! Nyali seujung kuku sok mau maling!" ujar Ibunya Bagas dengan nada sedikit emosi. "Bu, ini …maksudnya apa? Kenapa Ibu menyebut Pak Bimo, Bapaknya Dini dengan sebutan Paklek? Wita bingung nih, Bu?!" tanya Wita penasaran. "Eh iya, Ibu lupa jelasin sama kamu, Nduk! Jadi, ternyata Bapaknya Dini itu adalah adik tiri ayahnya Bagas. Dia itu dulunya sudah mengambil tanpa izin seluruh warisan untuk ayahnya Bagas. Ibu pernah cerita, kan sama kamu Nduk, yang Ibu harus bersusah-payah mencari uang untuk Bagas sampe menahan lapar. Itu semua karena dia. Tapi, Alhamdulillah, Ibu berhasil mengambil sebagian warisan yang