"Kak Alice, gelangmu bagus," kometar Rosie akhirnya. Mengabaikan wajah sok manis Jackson yang duduk di sebelahnya. Axel dan para sepupu Alice, Caroline dan Olivia terkikik geli sekaligus puas melihat Jackson dapat kacang. Axel menepuk pundak sahabatnya, menguatkannya.
"Ah, iya. Ini hadiah dari Edward." Alice tersenyum, tangan kirinya meraba gelang putih yang dia pakai.
Edward Quin, dua hari lalu, tahu-tahu menyerahkan gelang tersebut padanya. Saat Alice bertanya dalam rangka apa? Edward hanya membalas ringan, "Tidak ada. Hanya ingin memberimu hadiah saja."
"Ah, manis sekali Kak Edward. Kak Alice sangat beruntung!"' seru Caroline sambil tersenyum iri.
"Kalian memang pasangan serasi." Sambung Olivia juga tersenyum manis.
***
Sudah jam sepuluh malam. Waktu pesta ulang tahun Edward akan segera di mulai. Rosie memeriksa lagi penampilannya di cermin toilet restoran. Dia sekilas melihat
"Kalau aku bilang tidak, apa kau akanpercaya?" ucap Rosie terdengar lirih. Matanya yang merah dan basah mencoba membalas tatapan tajam Edward walau terlihat bergetar."Itu bukan jawaban." Desis sang kakak penuh penekanan."IYA! AKU MENCURINYA! APA KAU PUAS, TUAN EDWARD!"Rosie melepas dengan kasar gelang sial itu. Melemparnya ke muka Edward sekuat tenaga. Dia berlari menjauh dari lorong sial itu, melewati tiga manusia sial, masuk ke kamar sial, lalu mengunci pintu sial.***Untung dia masih punya David. Sahabat sejati yang bisa diandalkan. Mereka memang sudah berbulan-bulan tidak bicara, tepatnya sejak ia membatalkan janji mereka di Sabtu malam. Tapi, Rosie tahu dia selalu bisa mengandalkan pemuda jangkung itu.Claire, tentunya tidak mungkin dia mintai bantuan mengingat sang gadis cantik sedang ikut audisi penting. Menelponnya malam-malam begini hanya akan membuyarkan konsentras
"Kau baik-baik saja?" Rosie hanya mengangguk pelan."Ayo." David menarik Rosie masuk ke mobil setelah mendapat jawaban.Tapi Youngjae bergeming. Manik hazel itu memandangi Edward dengan cemas. Pemuda itu tidak bergerak sejak David berhenti memukulinya. Dia memang masih bisa melihat dada Edward bergerak naik turun perlahan sebagai bukti pemuda itu masih hidup, namun Edward jelas bukan dalam keadaan baik."David..." Rosie berkata dengan ragu. Kerutan di dahinya, kecemasan di matanya, gigitan di bibir bawahnya, semua menjelaskan apa yang gadis itu pikirkan. Dan David, sebagai seorang sahabat yangbpengertian, langsung paham akan keinginan sulit terucap Rosie.Si jangkung mendengus frustasi. Keinginan tak terucap itu adalah hal yang dia benci untuk turuti. Dia tau bahwa akan ada sesuatu yang buruk terjadi jika dia mengamininya. Tapi dia tidak punya hak untuk menolak pasalnya ini sepenuhnya hak Rosie."Ok
"S-sebenarnya bukan marah. Aku cemburu."Pupil mata Rosie sekejap melebar lantaran kaget teramat sangat. Dari segala bentuk kata yang menggambarkan perasaan, Rosie tidak menyangka sama sekali akan mendengar 'cemburu' meluncur dari mulut Edward. Terutama saat ini. Sebut dirinya munafik, tapi memang benar Rosie sekuat tenaga menyembunyikan kekagetan dan kesenangan di hatinya.Edward menghela nafas pelan, bukan karena lelah apalagi putus asa, melainkan lega. Ya. Dia lega setelah akhirnya mengungkapkan perasaannya. Selama ini terasa berat memikul rasa yang tak seharusnya kau miliki terhadap seseorang. Terlebih dia menderita sendiri menutupi segala hasrat terhadap Rosie."Iya, Rosie. Aku cemburu dengan Damian. Aku benci melihat dia dekat-dekat denganmu. Aku rasanya ingin mematahkan tangannya yang merangkulmu. Aku hampir gila menahan diri untuk tidak menghancurkan wajahnya yang sudah berani menciummu. Aku seharusnya tidak merasakan perasa
Bintang malam itu tidak terlalu ramai. Semilir angin dingin terkadang berhembus menusuk tulang membuat Rosie menggigil diam-diam sembari mengusap lengannya. Bagian bawah tubuhnya memang tertutup selimut tipis yang mereka temukan di jok paling belakang mobil, tapi bagian atasnya masih kedinginan karena baju yang dia pakai tidak terlalu tebal."Kau dingin?" Edward menoleh setelah dua kali mendapati Rosie mengusap lengannya kedinginan. Dia tidak menunggu jawaban sang adik, lanjut membuka jaket jeans-nya lalu memakaikannya pada Rosie.Sang adik menggumamkan, "Terima kasih," yang pelan bersamaan dengan semburat merah jambu di pipi.Mereka kembali bersandar pada kaca depan mobil. Kaki saling bersentuhan di atas kap mobil hitam. Deru ombak sayup-sayup di telinga kakak beradik, menubuhkan sensasi rileks yang nyaman.Rosie penasaran kenapa Edward tidak langsung membawanya kembali setelah pembicaraan terakhir.
Cup.Sentuhan kecil di bibir mereka sudah mampu menciptakan riak emosi bagi keduanya. Edward tentu saja jadi yang pertama menginisiasi lumatan nakal dalam ciuman mereka. Mata Rosie terpejam, memaksa bulir air bening keluar dari ujungnya. Kedua tangannya di dada Edward, meremas dan menarik pemuda itu lebih dekat. Bibir Rosue yang bergetar akibat luapan emosi tenggelam oleh kuluman antusias Edward.Begitu pula dengan kedap-kedip layar ponselnya di atas dasbor, terabaikan oleh sang pemilik yang sibuk dengan orang lain. Layar kecil itu akhirnya kembali redup, meninggalkan total tiga panggilan tak terjawab dari kontak bernama 'My Love Kak Damian' dan satu pesan singkat dari David yang berbunyi:DavidRos, aku tunggu di halaman belakang resort. Tlp aku jika terjadi sesuatu.Edward mulai merasakan wajahnya memanas. Ciuman mereka telah berubah menjadi cumbuan panas bersemangat. Tubuhnya sudah setengah menindih Rosie y
"Alice...jangan seperti ini. Ayo bicara baik-baik," desah Edward lembut bercampur rasa bersalah. Semalam dia memang telah jadi bajingan bagi Alice dan Rosie. Semua karena sifat impulsif dan amarah tak terkendali. Sekarang dia sendiri menyesali perbuatannya kemarin.Edward perlahan mencoba melepas pelukan erat Alice. Kecemasan dan rasa tak nyaman dia rasakan saat menyadari Rosie menatapnya dingin. Gadis cantik itu tidak bicara ataupun menunjukkan ekspresi apa-apa. Edward bahkan ragu sang adik masih bernafas kalau dia tidak lihat mata hazelitu memutar dan membuang pandang saat tatapan mereka bertemu.Yang si pemuda Quin tidak tahu adalah alasan Rosie menghindari tatapannya lantaran gadis itu benci dengan pemandangan di depannya. Dia benci harus merasakan nyeri di dada. Benci karena tidak bisa melakukan apapun. Benci sebab dia tak punya hak dan daya apapun. Rosie benci."Maafkan aku...please...hiks hiks..." Alice tak mau melepas Edward
Alice sebagai kekasih yang pengertian tidak mau menekan Edward dengan segala pertanyaan. Alice pengertian. Atau juga egois. Dia berlagak selayaknya tadi malam tidak ada yang terjadi bukan hanya karena tahu Edward enggan membicarakannya, tapi juga sebab dirinya belum siap menghadapi jawaban yang akan Edward lontarkan.Alice takut. Sangat takut bila ternyata telah terjadi sesuatu antara Edward dan Rosie. Itu sebabnya dia menghindari topik tentang kejadian semalam. Edward sejak tadi hanya menunduk, menghindari mata jernih Alice yang seakan menusuk ke dalam tengkoraknya.Dia malu. Merasa bersalah pada gadis itu lantaran telah membuat Alice menangis menungguinya semalaman. Alice memang tidak bilang dia menantikan Edward pulang semalam, dia bahkan tidak berani mengharapkan satu pesan singkat dari Edward yang mengabari di mana dirinya, tidak, Alice tidak berani lagi menggantung harapan apapun lagi pada Edward. Dia hanya berharap semua yang telah mereka mil
"Apa aku benar? Kau bersama lelaki lain semalam?"Rosie seolah kena serangan jantung saat mendapat pertanyaan demikian. Damian tersenyum sebagai petunjuk bagi semua orang bahwa sekarang dia sedang bercanda, tapi wajah terkesiap Rosie terlalu mencurigakan untuk menanggapi sebuah lelucon.Rosie tergagap berusaha menjawab tuduhan main-main itu, namun mulutnya gagal mengeluarkan suara apapun. Suaranya terasa habis, hanyut bersama tuduhan Damian."Semalam Youngjae pasti sangat lelah dan tidak dengar bunyi ponselnya sendiri." Alice tersenyum gugup setelah melontarkan kalimat itu. Semua mata di meja menatap langsung pada gadis berambut panjang. Alice terus memandang Damian untuk menyakinkan sang pemuda Marley, sekaligus menghindari pertanyaan tersirat dari yang lain.David diam-diam menyesap kopi hitam favoritnya sembari menyembunyikan senyum mencemooh di balik cangkir. Cairan hitam sudah habis, ditambah suasana cang