Kulihat Edgar dan Feza sedang berkelahi di dalam air. Mereka saling memukul satu sama lain.
“Kak Daffa! Kak Carel! Tolong!” teriakku histeris menyaksikan perkelahian itu.
Mendengar teriakanku, Daffa, Carel dan beberapa orang lainnya menghampiriku. Mereka ikut menolehkan kepala ke arah bawah dan terkejut melihat Edgar dan Feza yang tengah bergulat di air.
“Anak itu!” tukas Daffa kesal.
Tanpa pikir panjang, Daffa, Carel dan beberapa awak kapal langsung terjun ke laut. Sementara aku hanya memperhatikan mereka dari atas.
“Edgar berhenti!” teriak Daffa sambil memegangi Edgar. Tubuh mereka sudah basah akibat menceburkan diri ke laut dangkal itu. Mereka tampak mengigil, aku tahu pasti dingin sekali di bawah sana, apalagi hari masih sangat pagi.
“Gue harus kasih pelajaran ke bajingan ini!” sahut Edgar.
“Tahan dulu emosi lo, kita bicarakan semuanya baik-baik!” timpal Daffa yang berusa
Akhirnya aku hanya bisa menuruti perkataan mereka dan menunggu di kamar. Jujur, aku takut sekali mereka akan melakukan hal yang buruk pada Feza.Bagaimana kalau mereka sampai membuat Feza koma? Bagaimana kalau mereka sampai membuat Feza tidak bisa berjalan? Bagaimana kalau mereka sampai membuat Feza tidak bisa melihat? Argh, memikirkannya saja membuat kepalaku pening setengah mati!Akhirnya aku hanya bisa berbaring dengan perasaan tak tentu. Dari pada pikiran tidak tenang, lebih baik aku mendengarkan lagu dari idola kesayanganku!Kunyalakan ponselku dan kubuka music video milik idola kesayanganku itu. Hingga aku pun terlarut dalam musik dan ketampanan mereka.Namun, tak berapa lama aku mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku. Setelah kubuka, aku terkejut melihat Feza dan ketiga Kakak sambungku ada di depan pintu kamarku. Wajah Feza sudah babak belur, aku tahu itu ulah mereka bertiga.Edgar menendang bagian belakang lutut Feza hingga membuat pria
Aku panik mendengarnya terisak. Kucoba menyingkirkan tangannya yang sedari tadi menutupi wajahnya. Takut kalau dia benar-benar bersedih karena teringat Mamanya.“Edgar, lo kenapa?” tanyaku hati-hati.Kudengar ia terdiam. Aku semakin khawatir melihatnya."Edgar," panggilku lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.Tiba-tiba, ia membuka tangannya yang sedari tadi menutupi wajahnya dan kemudian tertawa terbahak-bahak. “Hahaha! Apa, sih. Gue nggak kenapa-napa, kok. Lo pasti ngira gue beneran nangis, kan? Huh, sorry ya! Nangis itu nggak ada dalam kamus gue!”Sial! Lagi-lagi ia mengerjaiku. Huh! Sulit memang menjadi manusia berhati lembut sepertiku.“Issshhh! Ngeselin banget, sih!” Kucubit perutnya dengan keras, ia meringis kesakitan. Aku segera berganti posisi menjadi duduk, lalu kuambil sebuah bantal.Bug!Kupukul wajahnya dengan bantal secara bertubi-tubi. Bukannya marah, ia malah tert
Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi bel kapal sebanyak tujuh kali tiupan pendek dan satu kali tiupan panjang. Aku tidak mengerti arti dari bunyi bel itu.Namun kulihat Daffa langsung terlonjak kala mendengar itu. Kami menoleh kearahnya dengan penuh tanda tanya."Itu, itu peringatan bahaya! itu peringatan untuk meninggalkan kapal!" teriak Daffa panik.Sontak kami terkejut dan panik. Aku langsung beringsut dari ranjang. Namun, sialnya karena kapal ini sedang terombang ambing dengan kencang, aku tak dapat menjaga keseimbangan.Dug!“Awh!” lirihku.Tubuhku terbanting ke belakang hingga membuat kepalaku terbentur pinggiran tempat tidur. Sial! Rasanya sangat menyakitkan!Daffa, Carel dan Edgar yang melihatku terjatuh terlihat khawatir. Edgar yang posisinya paling dekat denganku langsung membantuku berdiri. Aku hanya bisa memegangi lengannya, dengan satu tanganku sementara tanganku yang lain memegang kepalaku yang sedikit pusin
Ia lalu menghitung sampai tiga. Tepat setelah hitungan ketiga, Edgar melompat dari atas kapal menuju sekoci. Hap! Ia melompat tepat di tempat kosong yang sudah di sediakan oleh awak kapal. Ia langsung duduk di sebelahku, dan aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Tubuhku bergetar hebat, takut terpisah darinya. “Tenang tenang,” bisik Edgar yang menyadarinya, sambil balas memelukku. tangannya mengusap bahuku dengan lembut. “Ya, gue takut kepisah sama lo,” lirihku dengan air mata mengalir. “Tenang aja, kita pasti selamat,” sahutnya mencoba menenangkanku. Edgar lalu mengambil bocah laki-laki yang ada dalam pangkuanku ini ke pangkuannya. "Anak pinter, jangan nangis ya nak," ucap Edgar bak seorang ayah. Satu lagi sisi lain dari Edgar yang baru kuketahui, ternyata ia sosok yang sangat lembut dan penyayang. Bocah itu menatap wajah Edgar dengan tatapan polos yang membuat kami tersenyum seketika karena gemas. Ah, di tengah-
Namun ternyata anak ini langsung membuka matanya. Ia terdiam begitu melihat wajahku. Mungkin ia juga masih merasa syok dengan apa yang menimpanya semalam. Kini aku kembali terfokus pada Edgar. Selanjutnya, aku harus menekan dadanya. Dengan penuh keyakinan, kuletakkan kedua telapak tanganku secara bertumpuk di atas dadanya. Lalu, mulai kutekan perlahan dadanya. “Ayo, sadarlah Edgar! Kumohon!" Namun, tak ada tanda-tanda apa pun darinya. Matanya masih terpejam. Aku teringat saat Edgar memberikan napas buatan ketika aku tenggelam. Sepertinya aku juga harus melakukan hal yang sama padanya. Kuangkat kepala Edgar ke atas pangkuanku. Lalu, kubuka mulutnya, dan perlahan tapi pasti, kudekatkan bibirku ke bibirnya. Sambil memejamkan mata, aku memberikan napas buatan padanya. Kumohon, kau harus sadar, Edgar! “Uhuk, uhuk." Edgar terbatuk sambil memuntahkan air yang masuk ke perutnya. “Akhirnya!” seruku senang. Aku benar-benar bahagia dapat melihatn
“Edgar! Itu!” teriakku sambil menunjuk ke arah sebuah kapal kecil yang berjalan mendekati pulau ini.Sontak Edgar langsung berlari ke bibir pantai dan melambaikan tangan. Kapal itu perlahan kian mendekat.Aku dan Edgar saling berpelukan, hingga tanpa sadar air mata kami berlinang.“Kita selamat!” seru Edgar terharu.“Akhirnya, kita bisa ketemu lagi sama Mama dan Papa!” sahutku bahagia.Beberapa pria paruh baya turun dari kapal dan menghampiri kami.“Mba, sama Masnya kenapa bisa ada di pulau ini?” tanya Bapak dengan kaos hitam lusuh.“Kita korban kecelakaan kapal, Pak!” sahut Edgar.Sang Bapak tampak berpikir, “Korban kecelakaan kapal?!”Kemudian Bapak yang berdiri di sebelahnya menyahut, “ Itu Pak Darma, kapal yang kemaren kecelakaan waktu mau ke Makassar.”“Iya betul, Pak,” jawabku.“Ya ampun! Kok bisa sam
"A-apa?!” pekikku sambil melotot ke arah Edgar yang cengengesan melihat reaksiku. “ Bohong, Pak! Dia itu Kakak sambung saya!”Pak Darma menatap heran ke arah kami, “Jadi yang bener yang mana?”“Hehe, maaf, Pak. Kami itu adik kakak!” jelas Edgar sambil terkekeh. Aku menatap sinis ke arahnya, mendapat tatapan dariku, ia langsung menghentikan tawanya.“Walah, saudara sambung ternyata. Hati-hati loh, saudara sambung juga bisa saling jatuh cinta!” Pak Darma terkekeh. Sementara aku dan Edgar saling pandang tak percaya.“Jatuh cinta sama cowok rese kaya gini? Iiih, ogah!” timpalku sambil bergidik ngeri. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah jatuh cinta pada si mesum ini. Huh! Dia, kan, yang sudah mencuri first kissku!Kemudian Edgar berbisik di telingaku, “Awas! Nanti termakan omongan sendiri!”Aku terkesiap mendengar perkataannya, hal itu langsung membuatku te
Dengan perasaan tak menentu, kami bergegas menuju pantai. Kulihat Edgar begitu tegang kala kami tiba di pinggir pantai. Banyak warga mengerumuni kedua mayat itu. Semoga saja mereka bukan Daffa dan Carel. Dengan tangan bergetar hebat, Edgar membuka koran yang menutupi wajah mayat itu. Begitu ia membuka penutupnya, ia langsung menghela napas kala melihat wajah mayat itu. “Syukurlah, bukan Daffa dan Carel! Pak Darma, mereka bukan Kakak saya. Saya tidak tahu siapa mereka!” seru Edgar pada Pak Darma. “Iya, Mas Edgar. Bapak yakin, kedua Kakak Mas Edgar pasti baik-baik saja,” sahut Pak Darma mencoba menenangkannya. Edgar nampak terdiam, lalu kemudian ia berkata, “Pak Darma, saya akan mencari Kakak saya. Saya akan memasuki hutan untuk ke selatan!” Kami terkejut mendengar perkataan Edgar barusan. Beberapa warga yang mendengar percakapan kami, ikut mengerumuni kami. “Mas Edgar, itu terlalu berbahaya. Kita tunggu sampai besok, ya,” jawab Pak Darm