"Oh. Ya udah. Kalau gitu kita nggak usah jadi nikah aja." Zinnia membalas tatapan tajam pria di depannya.
"Berani kau! Jika sampai pernikahan ini gagal, kau harus berhenti kerja dan pergi dari rumahku! Kau juga harus mengganti rugi semua barang-barang yang kau nikmati itu!" tuntut pria itu sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap sinis gadis di hadapannya.
"Ih. Kok gitu? Yang maksa tinggal di rumah kan Mas, bukan aku. Kalau Mas ngusir aku, aku tinggal pindah aja ke rumah Pak Haris," balas Zinnia sembari menjulurkan lidahnya. Sebenarnya ia sakit hati saat mendengar ucapan atasannya itu. Ternyata gadis itu sudah terlanjur menyukai sang direktur.
"Sialan! Berani kau ya!" ucap pria itu sembari mencengkeram kedua bahu Zinnia. Kedua matanya menatap tajam ke arah iris gelap gadis itu. Saat itu juga pintu lift pun terbuka. Menampilkan mereka berdua.
"Apa lihat-lihat!" gertak Reyner pada seorang OB yang sedang lewat.
"Maaf, Pak." OB itu pun la
Hari berganti lagi. Sudah hari ke tiga puluh tiga setelah pertemuan Rey dengan Zin. Kini Reyner kembali bertukar jiwa dengan sang sekretaris. Zinnia pun tampaknya masih kesal dengan ucapan sang atasan tempo hari. Pasalnya ia betah sekali mendiamkan pria itu semalaman. Bagaimana tak sakit hati jika dinikahi hanya demi kepentingan satu pihak saja?Waktu istirahat Reyner palsu diajak makan siang oleh Dani. Reyner asli pun memilih untuk makan siang sendiri. Pria itu duduk diam di kantornya sembari menunggu pesanan makan siangnya. Setelah makanan itu sampai, seseorang mengetuk pintu ruangan itu dari luar."Siapa sih yang ganggu di jam makan siang?" sungut pria itu terpaksa membukakan pintu."Oh. Hai, Zin. Kak Rey di mana?" tanya seorang gadis cantik yang diketahui bernama Monika."Lagi makan siang di luar," jawab Reyner dengan malas. Apalagi ia harus menemui gadis itu dengan tubuh Zinnia."Oh. Ya udah. Kita makan siang bareng aja yuk!" ajak Monika semba
Seorang gadis cantik sedang menunggu direktur utama SJ Grup. Pagi-pagi gadis itu sudah berbenah untuk sekedar menyapa pria itu. Gadis itu tak lain adalah putri dari seorang pengusaha bernama Pak Argan. Ya. Monika. Dengan sengaja gadis itu menunggu Reyner di depan pintu ruangannya. Tak perlu waktu lama, sang direktur utama keluar dari lift bersama sekretaris pribadinya. Meski tak suka, tetapi Monika mencoba berlaku baik di hadapan pria yang ia sukai. Termasuk pada gadis yang berjalan di sampingnya."Pagi, Kak Rey. Pagi, Zinnia," sapa gadis itu dengan senyuman terbaiknya."Pagi, Mbak," balas Zinnia ikut tersenyum. Sedangkan Rey tak peduli dengannya.Pria itu pun masuk ke ruangannya lebih dulu. Monika langsung menghadang sang sekretaris. Masih dengan senyuman terpasang di wajah cantiknya."Zin ... Aku mau minta maaf ya soal kemarin," ujar gadis itu sembari menggenggam kedua tangan Zinnia."Soal apa ya, Mbak?" tanya Zinnia tak mengerti.
"Minum dulu, Mbak. Sebentar lagi ambulan akan segera datang," tawar ibu-ibu penolong tadi. Memberikan minuman pada gadis yang duduk sembari memangku tubuh bagian atas Reyner. Kedua tangannya terus menahan darah yang keluar dari kepala Reyner dengan jas yang dikenakan pria itu. Jika Rey masih sadar, pasti ia akan langsung memarahinya."Makasih, Bu," cicit Zinnia menerima botol air mineral itu.Beberapa menit kemudian, sebuah ambulan pun datang dan segera membawa kedua korban ke rumah sakit. Seorang perawat yang ikut dalam mobil itu berusaha untuk mengurangi pendarahan. Reyner masih belum membuka kedua matanya. Zinnia mencoba untuk tidak menangis. Kedua tangannya menggengam erat jas yang sudah terkena darah. Bukan hanya jas itu yang terkena darah, tetapi pakaiannya juga.Setibanya di rumah sakit, Reyner langsung segera mendapatkan pertolongan. Hingga dokter memberitakukan bahwa pria itu telah kehilangan banyak darah dan harus segera mendapatkan donor yang cukup."M
Pada hari Kamis pagi Zinnia kembali membuka kedua matanya. Gadis itu semalaman menunggu Reyner yang masih terbaring tak sadarkan diri. Pria sombong itu mengalami koma. Namun, ada yang aneh. Ketika gadis itu terbangun di sofa, ia justru melihat tubuh Reyner yang masih diam di atas ranjang, bukan melihat dirinya sendiri.'Aneh. Seharusnya hari ini kan waktunya bertukar jiwa?' tanya gadis itu dalam hati. Ia pun mendekati tunangannya untuk menatap wajahnya yang terpejam rapat."Mas Rey. Cepat sadar ya," gumam gadis itu dengan tatapan sendu.Perban putih membalut luka pada pelipis laki-laki itu. Mungkin akan meninggalkan bekas luka jahit di sana. Setelah sepersekian detik, Zinnia pun menuju kamar mandi untuk mensucikan diri.Gadis itu mencurahkan isi hatinya dalam doa. Pada sujud rakaat terakhirnya, ia memohon pada Sang Kuasa agar segera menyadarkan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Meski ia paham betul bahwa Reyner tidak mencintainya.Saat Zinnia s
Siang hari pada hari berikutnya Zinnia pulang ke rumah untuk sementara. Chandra mengantarkan gadis itu untuk memberinya istirahat. Karena ia tahu Zinnia selalu menolak untuk hal itu. Gadis itu benar-benar setia menunggu untuk kesadaran sang direktur. Namun, dengan terpaksa ia harus pulang karena paksaan dari Chandra."Pokoknya kamu istirahat dulu! Nanti sore baru balik lagi ke rumah sakit. Aku akan menggantikanmu untuk jagain Kak Rey," ujar Chandra saat Zinnia hendak turun dari mobil."Baik, Mas. Nanti biar aku berangkat sendiri aja," balas Zinnia."Nggak. Nanti aku jemput. Tinggal bilang aja mau jam berapa," imbuh pria itu."Baiklah. Makasih, ya, Mas Chandra," balas Zinnia."Oke. Aku pergi dulu, ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Gadis itu pun segera memasuki rumah. Bukannya langsung mandi, ia malah bersih-bersih rumah besar itu. Jiwa pembantunya ternyata sudah melekat. Gadis itu berharap Reyner akan segera sembuh dan dapat
Zinnia merawat Reyner dengan telaten dan sabar. Gadis itu lega sekali setelah sang direktur mulai sadar dari komanya. Pria itu masih bisa bersikap arogan meski ia sedang terluka. Wajah tampannya terdapat beberapa goresan luka akibat terkena pecahan kaca. Pelipisnya masih terbungkus perban. Tangan kanannya pun terluka cukup parah. Membuat pria itu bahkan tak bisa menggenggam sendok untuk makan."Ini, Mas. Aaaa," ujar Zinnia sembari meniup-niup bubur sayur untuk sang atasan. Meminta pria itu untuk membuka mulutnya.Reyner menuruti ucapan gadis di depannya. Meski ia sendiri geli karena diperlakukan seperti anak kecil. Namun, ia tak bisa menolak. Jika menolak, ia akan kelaparan. Dasar kau Rey, gengsimu terlalu tinggi."Bubur buatanku enak kan, Mas?" tanya Zinnia. Reyner hanya menatap gadis itu dengan malas."Hm," gumam pria itu sembari menelan bubur di mulutnya."Nih. Lagi, Mas. Aaa," ucap Zinnia kembali menyodorkan sesuap bubur."Aku bukan anak
Zinnia duduk di luar ruangan. Duduk di bangku dekat taman. Kotak berisi obat tanpa sadar ikut ia bawa. Gadis itu pun menghembuskan napasnya. Menghirup udara, lalu menghembuskannya lagi. Mencoba menenangkan dirinya. Berhasil. Ia tak jadi menangis.Saat ia mulai tenang, seseorang datang dan ikut duduk di sampingnya. Seorang pria yang berjiwa hangat seperti matahari. Bahkan kebaikannya juga yang selalu menolong gadis itu."Zin, kamu kenapa?" tanya pria itu menatap khawatir Zinnia. Ia letakkan sebuah kantung kresek berisi makanan. Zinnia pun menoleh sembari memberikan senyuman."Aku nggak papa kok, Mas Chandra," balas gadis itu. Chandra tahu jika gadis di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Entah apa pastinya yang membuatnya tampak murung."Apa Kak Rey menyakitimu?" tanya Chandra masih dengan tatapan khawatirnya."Eng-enggak kok, Mas. Aku cuma lagi cari angin aja. Di dalam kan bau obat," ujar gadis itu mencoba memberi alasan."Zin. Aku tahu
Malam itu Zinnia kembali menemani sang atasan di kamar rawatnya. Pria itu berbaring di atas tempat tidurnya. Merebahkan dirinya yang masih merasakan sakit di kepala dan sekujur tubuhnya. Zinnia yang sudah selesai mengurusi sang direktur pun mulai mengistirahatkan dirinya. Tidur di atas sofa panjang di sudut ruangan. Berseberangan dengan tempat tidur Reyner. Gadis itu langsung terlelap. Mungkin karena rasa lelahnya setelah berhari-hari menemani pria itu.Sudah pukul sebelas malam. Reyner masih belum bisa tidur. Maklum saja, dirinya sudah tertidur selama dua hari penuh. Pria itu memainkan ponselnya. Lalu mendengar Zinnia yang bergerak berpindah posisi yang tadinya memunggunginya. Kini gadis itu menghadap ke arahnya. Kedua matanya sudah terpejam rapat dengan selimut yang menutupi tubuh mungilnya. Reyner menatap wajah damai itu. Dalam hatinya ia merasa sedikit kasihan pada gadis itu. Ia sudah berlaku seenaknya selama ini. Namun, hanya gadis itulah yang pernah berani melawannya. B