Mata Clarissa masih memandang mama dan kakak Adimasta. Entah kenapa mereka tertawa. Yang Clarissa yakin mereka menertawakan Adimasta. "Maaf, Clarissa. Aku suka bercanda kayak gitu. Adimasta terlalu datar dan kaku. Makanya aku juluki dia kayu." Senyum lebar masih di bibir Anindita, dia menjelaskan apa maksud kata-katanya tadi. "Ohhh ..." Clarissa ikut tersenyum. "Tapi dia baik. Anaknya rajin dan tekun. Ga pernah bikin repot dari kecil. Tante bersyukur punya anak laki-laki tapi ga buat sakit kepala." Mama Adimasta sekarang ikut berkomentar. "Aihh, promosi. Mama ini!" Anindita melirik mamanya. "Hee hee ..." Mama Adimasta kembali tersenyum lepas. "Nggak maksud, Anin. Mama cuma bilang apa adanya." Clarissa kembali tersenyum, tipis. Dalam hatinya dia bicara sendiri. Apa reaksi ibu dan anak ini kalau tahu Adimasta cinta pada Clarissa? Kira-kira mereka akan senang atau marah-marah? "Tante, Kak, aku balik ke tempatku. Mari." Clarissa memilih minggir. "Ya, silakan. Kami juga balik ke mej
Tangan Diaz terulur pada Clarissa. Gadis itu hanya menatap dosen tampan pujaannya, tidak mau bergeming. "Clarissa ... please ... Kita bicara, ayo ... Ulurkan tangan kamu ..." Diaz membujuk Clarissa. Gadis itu masih nemplok di pagar, sebelah atas. Sedikit saja dia pasti melompat dan jatuh di aspal di luar pagar tinggi rumah ini.Clarissa memandang Diaz. Tatapannya terlihat begitu cemas. Clarissa mengulurkan tangannya. Begitu tangan mereka menyatu, Diaz menarik Clarissa dan gadis itu jatuh dalam dekapannya."Kenapa kamu nekat? Kenapa?" Diaz memeluk Clarissa erat. Debaran di dadanya karena cemas perlahan terurai.Adimasta dan Yenny, juga Bu Tirah lega, Clarissa akhirnya turun dari pagar tinggi itu. Mereka melihat Diaz masih memeluk Clarissa di rumah pohon itu."Syukurlah ... Dia baik-baik saja." Yenny melipat kedua tangannya seperti berdoa. Lega, lega sekali, Clarissa selamat.Adimasta tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia juga lega Clarissa tidak cidera. Tidak terlambat mereka tahu di mana
Clarissa dan Yenny melihat Bu Tirah di depan pintu kamar. Wanita tua itu terlihat sangat cemas. Tatapannya menunjukkan ada sesuatu yang mengkuatirkan terjadi. "Ada apa, Bu?" tanya Clarissa. "Nyonya ..." Satu kata itu yang Bu Tirah katakan, Clarissa langsung tahu, ada yang terjadi pada Rosita. "Mama kenapa?" Clarissa dengan cepat turun dari kasur dan menghampiri Bu Tirah. "Di rumah sakit. Tadi pingsan di kantor. Pak Bram menghubungi aku. Nyonya harus dirawat." Bu Tirah menjelaskan dengan suara sedikit gemetar. "Ya Tuhan." Clarissa mengusap kepalanya. Dia menoleh pada Yenny. "Ikut aku. Aku harus lihat mama." "Oke." Yenny mengangguk. Dengan cepat kedua gadis itu meninggalkan rumah dan meluncur menuju ke rumah sakit. Sampai di sana setengah berlari Clarissa dan Yenny mencari ruangan Rosita dirawat. Di dalam kamar ada dokter dan perawat yang menolong. Bramantyo berdiri di dekat pintu melihat apa yang terjadi di dalam. "Om," panggil Clarissa. Bramantyo menoleh dan melihat pada kedua
Yenny mengangkat telpon Adimasta, tetapi dia memilih agak menjauh dari Clarissa agar bisa bicara dengan leluasa. Adimasta menanyakan bagaimana keadaan Clarissa. Apakah gadis itu sudah tenang atau masih galau. Jawaban Yenny tentu saja membuat Adimasta terkejut. Bagaimana mungkin kejadian buruk menyusul? Mama Clarissa tiba-tiba masuk rumah sakit? Adimasta bisa membayangkan Clarissa makin sedih. "Yenny, apa Clarissa menangis?" tanya Adimasta. "Ya, sempat menangis. Tapi dia sekarang bingung tentang hal lain." Yenny menjawab dengan sedikit resah dan ragu. "Soal apa lagi? Ada masalah lain lagi?" tanya Adimasta. "Mama Clarissa memaksa Clarissa mengenalkan kekasihnya. Dia mau bertemu besok," jawab Yenny. "Apa?" Adimasta makin kaget. Astaga! Mama Clarissa ini sedang sakit tapi ada saja permintaannya. Yenny mengatakan hal yang mengejutkan kemudian pada Adimasta, yang membuat cowok itu terbelalak, meskipun tetap saja matanya tidak bisa lebar. Yenny minta Adimasta datang dan meminta Clarissa
Rosita dan Bramantyo memandang dua anak muda tampan dan cantik yang berjalan ke arah mereka. Adimasta, tampan, berkulit putih bersih, rapi, dan keren. Dari sikapnya sopan dan terlihat seorang pria cerdas. Rosita menyunggingkan senyum kepada keduanya yang sudah ada di dekat ranjang. Clarissa berdiri di sebelah Adimasta memandang pada Clarissa. Dia menunggu putrinya bicara. "Selamat sore, Tante, Om. Aku Adimasta." Adimasta memperkenalkan diri, mengulurkan tangan pada Rosita dan Bramantyo, bergantian menyalami mereka. Clarissa menoleh pada Adimasta. Belum dikenalkan, dia sudah langsung berinisiatif mengenalkan dirinya. "Sepede itu nih cowok?!" batin Clarissa. "Sore, Adi." Bramantyo tersenyum pada Adimasta, ramah. Dia memperhatikan wajah Adimasta yang tenang. Lalu ke Clarissa yang justru terlihat tidak begitu nyaman. Entah kenapa Bramantyo merasa Clarissa tidak beneran cinta pada cowok ganteng ini. "Aku minta Clarissa ajak kekasihnya kemari besok. Kaget juga, kamu datang hari ini," k
Malam mulai terasa dingin. Clarissa merapatkan jaketnya yang tipis. Angin menerpa dari arah depan, taman di depan kamar Rosita dirawat. Clarissa duduk di sisi Bramantyo. Dia menunggu pria itu bicara. "Rosita sedikit banyak sudah bercerita padaku tentang kamu. Kamu ..." "Tunggu dulu, Om." Clarissa memotong kata-kata Bramantyo. "Mama ga cerita yang aneh-aneh soal aku, kan?" Bramantyo tersenyum. Dia tahu Clarissa ini gadis sok jaim dan sedikit angkuh. Dia pasti akan sangat kesal jika orang lain mengatakan hal yang buruk tentang dirinya. "Baik atau buruk memangnya kenapa? Aku akan jadi papa kamu. Harus bisa terima kamu, apa adanya dirimu," kata Bramantyo. Clarissa menatap Bramantyo dengan pandangan tidak lega. "Mama kamu sangat sayang kamu, Clarissa. Dia selalu kuatir jika kamu tidak bahagia dengan hidupmu. Dia akan merasa gagal sebagai seorang ibu." Bramantyo mengucapkan sesuatu yang sedikit menyayat di hati. Clarissa memandang Bramantyo. Jadi sampai hal itu Rosita pun bercerita pa
Adimasta memencet bel pintu rumah besar itu. Bu Tirah membuka pintu dan Adimasta masuk lalu duduk di sofa besar di ruang depan. Dia ingin menengok Rosita. Kemarin Rosita pulang dari rumah sakit. "Nyonya bilang Mas Adi masuk saja ke kamar. Nyonya belum bisa duduk terlalu lama." Bu Tirah kembali dan meminta Adimasta menuju kamar Rosita. Karena belum bisa banyak beraktivitas, Rosita beristirahat di kamar tamu di lantai dasar, bukan di kamar atas, kamarnya sendiri. Adimasta masuk ke kamar itu. Dia dalam Rosita sedang tidur dengan tumpukan bantal di belakangnya. Dia setengah duduk sambil memegang ponselnya. "Adi ..." Rosita tersenyum. "Sini." Rosita meminta Adimasta duduk di kursi sebelah ranjang. Adimasta duduk di sana, tepat di kursi yang Rosita maksudkan. "Kamu dari kampus? Clarissa belum pulang. Entah dia kemari atau tidak." Rosita memandang Adimasta. "Aku memang sengaja ke sini, Tan. Ingin nengok Tante. Aku senang Tante sudah jauh lebih baik," kata Adimasta. "Biar anak Tante rad
Adimasta berbalik dan mendekat pada Clarissa. Dia menunggu apa yang Clarissa ingin katakan. "Aku mau minum es lemon. Jangan terlalu asem, jangan terlalu manis. Esnya ga usah banyak. Pakai cangkir yang gambar cewek warna biru gelap." Clarissa menyebut dengan cepat apa yang dia mau. Adimasta menyimak lalu tersenyum. "Oke." Kembali Adimasta berjalan ke arah pintu. Hampir sampai, terdengar lagi teriakan Clarissa. Lagi-lagi Adimasta balik dan mendekat pada Clarissa. "Ada yang kurang?" Adimasta mengeluarkan ponsel. Dengan cepat dia mencatat yang tadi Clarissa minta sebelum dia lupa. "Ngapain pakai dicatet? Ini bukan di kafe." Clarissa menggerutu. "Biar ga salah. Sekarang apa lagi?" Tetap tenang, bicara satu satu. Adimasta memang. "Mau cookies. Rasa coklat sama keju," ujar Clarissa. "Oke. Ada yang lain?" Adimasta memandang Clarissa. Tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri menaikkan kacamatanya. Tampan. Clarissa tak bisa mengelak. Adimasta tampan dan menarik. "Itu dulu. Ntar aku kas