Rosita dan Bramantyo memandang dua anak muda tampan dan cantik yang berjalan ke arah mereka. Adimasta, tampan, berkulit putih bersih, rapi, dan keren. Dari sikapnya sopan dan terlihat seorang pria cerdas. Rosita menyunggingkan senyum kepada keduanya yang sudah ada di dekat ranjang. Clarissa berdiri di sebelah Adimasta memandang pada Clarissa. Dia menunggu putrinya bicara. "Selamat sore, Tante, Om. Aku Adimasta." Adimasta memperkenalkan diri, mengulurkan tangan pada Rosita dan Bramantyo, bergantian menyalami mereka. Clarissa menoleh pada Adimasta. Belum dikenalkan, dia sudah langsung berinisiatif mengenalkan dirinya. "Sepede itu nih cowok?!" batin Clarissa. "Sore, Adi." Bramantyo tersenyum pada Adimasta, ramah. Dia memperhatikan wajah Adimasta yang tenang. Lalu ke Clarissa yang justru terlihat tidak begitu nyaman. Entah kenapa Bramantyo merasa Clarissa tidak beneran cinta pada cowok ganteng ini. "Aku minta Clarissa ajak kekasihnya kemari besok. Kaget juga, kamu datang hari ini," k
Malam mulai terasa dingin. Clarissa merapatkan jaketnya yang tipis. Angin menerpa dari arah depan, taman di depan kamar Rosita dirawat. Clarissa duduk di sisi Bramantyo. Dia menunggu pria itu bicara. "Rosita sedikit banyak sudah bercerita padaku tentang kamu. Kamu ..." "Tunggu dulu, Om." Clarissa memotong kata-kata Bramantyo. "Mama ga cerita yang aneh-aneh soal aku, kan?" Bramantyo tersenyum. Dia tahu Clarissa ini gadis sok jaim dan sedikit angkuh. Dia pasti akan sangat kesal jika orang lain mengatakan hal yang buruk tentang dirinya. "Baik atau buruk memangnya kenapa? Aku akan jadi papa kamu. Harus bisa terima kamu, apa adanya dirimu," kata Bramantyo. Clarissa menatap Bramantyo dengan pandangan tidak lega. "Mama kamu sangat sayang kamu, Clarissa. Dia selalu kuatir jika kamu tidak bahagia dengan hidupmu. Dia akan merasa gagal sebagai seorang ibu." Bramantyo mengucapkan sesuatu yang sedikit menyayat di hati. Clarissa memandang Bramantyo. Jadi sampai hal itu Rosita pun bercerita pa
Adimasta memencet bel pintu rumah besar itu. Bu Tirah membuka pintu dan Adimasta masuk lalu duduk di sofa besar di ruang depan. Dia ingin menengok Rosita. Kemarin Rosita pulang dari rumah sakit. "Nyonya bilang Mas Adi masuk saja ke kamar. Nyonya belum bisa duduk terlalu lama." Bu Tirah kembali dan meminta Adimasta menuju kamar Rosita. Karena belum bisa banyak beraktivitas, Rosita beristirahat di kamar tamu di lantai dasar, bukan di kamar atas, kamarnya sendiri. Adimasta masuk ke kamar itu. Dia dalam Rosita sedang tidur dengan tumpukan bantal di belakangnya. Dia setengah duduk sambil memegang ponselnya. "Adi ..." Rosita tersenyum. "Sini." Rosita meminta Adimasta duduk di kursi sebelah ranjang. Adimasta duduk di sana, tepat di kursi yang Rosita maksudkan. "Kamu dari kampus? Clarissa belum pulang. Entah dia kemari atau tidak." Rosita memandang Adimasta. "Aku memang sengaja ke sini, Tan. Ingin nengok Tante. Aku senang Tante sudah jauh lebih baik," kata Adimasta. "Biar anak Tante rad
Adimasta berbalik dan mendekat pada Clarissa. Dia menunggu apa yang Clarissa ingin katakan. "Aku mau minum es lemon. Jangan terlalu asem, jangan terlalu manis. Esnya ga usah banyak. Pakai cangkir yang gambar cewek warna biru gelap." Clarissa menyebut dengan cepat apa yang dia mau. Adimasta menyimak lalu tersenyum. "Oke." Kembali Adimasta berjalan ke arah pintu. Hampir sampai, terdengar lagi teriakan Clarissa. Lagi-lagi Adimasta balik dan mendekat pada Clarissa. "Ada yang kurang?" Adimasta mengeluarkan ponsel. Dengan cepat dia mencatat yang tadi Clarissa minta sebelum dia lupa. "Ngapain pakai dicatet? Ini bukan di kafe." Clarissa menggerutu. "Biar ga salah. Sekarang apa lagi?" Tetap tenang, bicara satu satu. Adimasta memang. "Mau cookies. Rasa coklat sama keju," ujar Clarissa. "Oke. Ada yang lain?" Adimasta memandang Clarissa. Tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri menaikkan kacamatanya. Tampan. Clarissa tak bisa mengelak. Adimasta tampan dan menarik. "Itu dulu. Ntar aku kas
Adimasta tersenyum lebar mendengar ucapan Clarissa yang penuh emosi. Tapi Adimasta suka melihat ekspresi Clarissa. "Kamu kok lebay. Mana bisa aku menemani kamu dua puluh empat jam di sini? Aku harus pulang, Clay. Mesti kerja tugasku. Hee ... hee ..." Adimasta kembali melebarkan senyumnya. "Ya udah, sana. Pulang," tukas Clarissa ketus. "Hm, aku pulang bentar. Besok aku ke sini lagi. Nengok Tante Rosi dan pacar." Adimasta mengangguk. "Hei, Di." Clarissa hampir lupa sesuatu yang dia mau bilang sama cowok itu. "Aku ga mau sampai yang lain tahu kita pacaran." "Yang lain siapa?" Adimasta heran dengan kata-kata Clarissa. "Teman kampus. Siapa aja, deh," jawab Clarissa. "Kenapa?" Adimasta mengerutkan kening. Aneh saja permintaan Clarissa. "Pokoknya aku ga mau yang lain tahu. Urusan pacaran hanya antara kamu sama aku." Clarissa bicara lebih tegas. Adimasta garuk-garuk kepala. Ada-ada saja permintaan Clarissa ini. Terserah dialah, maunya apa. Adimasta hanya tersenyum tipis. "Ka
Hari-hari berikut Adimasta setiap hari datang ke rumah Clarissa. Dia melihat keadaan Clarissa, sekaligus membantu urusan perkuliahan. Yenny sengaja menjaga batas, sedikit jaim pada Clarissa, karena dia ingin memberi ruang buat Adimasta mendekat pada Clarissa. Yenny merasa peristiwa keseleo Clarissa bisa membuka kesempatan baik Clarissa mau membuka hatinya pada Adimasta. Rosita juga semakin membaik. Akhirnya dia memilih bekerja paruh waktu dan full mengerjakan tugasnya dari rumah. Sesuai saran dokter, Rosita fokus dengan kesehatannya. Bramantyo sangat memperhatikan Rosita. Pagi dia datang sebelum ke kantor, dan sore hari sepulang kerja dia akan datang lagi. Clarissa makin lega dan terbiasa melihat Rosita bersama Bramantyo. Persiapan pernikahan mereka sudah dilakukan. Meskipun Rosita suka bersosialita, tetapi dia tidak ingin mengadakan pernikahan yang besar. Dia ingin yang sederhana saja. Asalkan dia resmi menjadi Nyonya Bramantyo itu cukup. Apalagi fisiknya tidak mendukung jika dia ha
Wajah Clarissa mendadak merah padam. Dia sangat kesal setelah tahu kenyataan bahwa kekasih dosen pujannya itu adalah Anindita, kakak Adimasta. Dia jadi curiga, Diaz dan Adimasta mempermainkan Clarissa dengan mengkondisikan Adimasta akhirnya menjadi kekasih Clarissa. "Clay, aku beneran sayang sama kamu. Ga ada hubungannya kita jadian sama Kak Diaz." Adimasta langsung mengelak tuduhan Clarissa. "Sangat tidak masuk akal semua ini. Kenapa, kenapa Kak Diaz sama kakak kamu, Di?" Clarissa masih tidak bisa terima. Ini seperti benang kusut saja. Clarissa mengejar Diaz, Adimasta yang cinta Clarissa. Lalu Diaz punya pacar, ternyata kakak Adimasta. Kalau mau ditarik jauh ke depan, Diaz akan jadi kakak ipar Clarissa. Runyam! "Apanya yang ga masuk akal, Clay? Mereka sudah ada hubungan sejak sebelum kamu tahu Kak Diaz. Aku jatuh cinta sama kamu, sejak awal kita kuliah. Itu yang terjadi." Adimasta menegaskan pada Clarissa situasi yang memang ada di antara mereka. "Kenapa jadi kayak gini, sih?" u
Hari hampir gelap, Adimasta masih duduk di teras bersama Yenny. Dia sedang menunggu Yenny mau memberi dia saran agar Clarissa mau berbaik hati pada Adimasta, sedikit manis, dan tidak terus berlagak jutek. "Dia itu susah ditebak, Adi. Aku sudah lebih setahun sama dia, masih kadang suka bingung dengan tingkahnya. Hari ini ketemu tiga kali, bisa mood-nya juga ganti tiga kali. Tapi sebenarnya dia care. Paling ga mau aku sedih. Aku yakin gitu juga kalau sama orang yang dia sayangi." Yenny mencoba menjabarkan pandangannya tentang Clarissa. "Itu masalahnya, Yenny." Adimasta menyentikkan jarinya. "Hm?" Yenny mengerutkan keningnya mendengar ucapan Adimasta. "Clarissa ga sayang aku. Dia terima aku karena terdesak, kan? Hee ..." Adimasta nyengir. Yenny ikutan nyengir. Benar juga. Clarissa butuh Adimasta karena menolong dia tidak dipaksa menerima salah satu cowok yang mungkin dijodohkan dengannya. "Dia suka ke alam. Jalan-jalan di pantai atau gunung. Kalau ada waktu luang, dia kadang jalan