Pagi-pagi sekali Ara sudah berusaha bangun, membuka mata rapatnya yang sudah dilingkari warna hitam.“Bu, mertuaku titip salam. Juga katanya minta maaf karena enggak bisa menyempatkan datang ke sini karena harus jaga mas Fery di rumah sakit. Vina ... Ibu tahu sendiri dia itu agak pemalu kalau datang sendiri.” Ara berkata pada ibunya yang sedang masak.Ibunya adalah notabene orang yang lempeng-lempeng saja. Meski permasalahan rumah tangga Ara agak serius, wanita setengah tua itu tak ingin mencampurinya sedikitpun, walau sejatinya dalam hati agak marah atas pengkhianatan yang dilakukam Fery menantunya.“Ibu paham. Enggak apa-apa, kan memang sudah seharusnya jagain di sana.”“Makasih, ya, Bu, udah ngertiin Ara. Em ... dan ada lagi yang mau Ara sampaikan. Ini sangat penting, bapak harus tahu, Bu.” Ia sudah berniat ingin mengatakan soal rencana kembalinya mengurus Fery serta perusahaan dan akan segera pergi ke Jakarta.Ibunya menatap lekat. Ia tahu Ara ingin menyampaikan suatu pesan yang s
“Ga, kamu mau kemana malam-malam begini? Bawa tas segala. Jangan-jangan mau kabur, ya?”Rangga terkesiap ketika baru akan mengetuk pintu kamar ibunya. Ia bermaksud untuk meminta izin pergi. Namun, ternyata ibunya telah berada di balik pintu.“Ah, ini, Bu. Rangga mau minta izin pergi ke Jakarta,” jawabnya sambil menggaruk tengkuk.“Jakarta? Ngapain? Kerja? Masa malam-malam gini mau pergi?”Rangga bingung mau bilang apa, tetapi akhirnya lelaki itu mengatakan juga dengan jujur. Dirinya pergi ke Jakarta karena dipinta Pak Wisnu untuk menemani Ara pulang. Itu saja. Namun, Rangga juga mengatakan tidak akan langsung pulang lagi dan akan mencari pekerjaan di sana.Awalnya ibunya ragu, tetapi karena Rangga bersi keras, ia pun akhirnya mengizinkan. Putra dari tiga bersaudara itu pun akhirnya pamit pada ibunya. Tidak lupa dirinya mencium takzim punggung tangan ibunya, lalu mengucap salam.****“Pak! Ngapain, sih nyuruh mas Rangga nemenin Ara ke Jakarta?” sergah Ara.Wanita itu benar-benar marah.
“Aku kesiangan!” teriak Ara sambil melonjak dari sofa.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Wanita itu benar-benar heboh sendiri. Ia berlari ke kamar mandi hanya untuk menggosok gigi dan mencuci muka saja. Tidak ada waktu untuk mandi.“Gawat! Gawat! Padahal hari ini mau ke kantor!” gumamnya sambil menyisir rambut di depan cermin.Setelah semua selesai, Ara langsung bergegas menuju kendaraan putih milik suaminya di garasi, lalu mengendarainya untuk pergi ke kantor.“Malah kesiangan! Padahal hari pertama aku balik ke kantor! Duh, dasar!” gerutu Ara.Saat masih mengendarai mobil, ponselnya berbunyi. Langsung ia sambar dan menempelkannya di telinga.“Hallo, Ma. Ada apa?” sapa Ara bertanya. Ternyata mertuanya yang menghubungi.Ibu mertuanya hanya memastikan bahwa Ara sudah sarapan dan berpesan agar tidak perlu mampir ke rumah sakit.“Iya, Ma. Ara nggak mampir. Paling nanti malem ke sana, maaf merepotkan,” jawab Ara.Setelah itu, panggilan diakhiri.“Ya ampun, kirain mas Fery
“Ria? Ba-bagaimana Anda ....” Ucapannya menggantung di udara. Dalam sepersekian detik dirinya masih mencoba mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Erik.Tiba-tiba, pikirannya kembali mengingatkan akan sebuah amplop putih yang sudah ia terima dari orang misterius.“Ka-kamu si pengirim foto dan surat itu?!” ucap Ara setengah berteriak. Tangannya refleks mengacung kepada laki-laki itu.“Shuuut. Jangan sampai sekretarismu tahu,” bisiknya sambil tersenyum.Ara terbelalak. Spontan mulutnya ditutup rapat refleks menuruti perkataan Erik. Ternyata tebakkannya benar, dan wanita itu sungguh syok bukan main.“Siapa kamu sebenarnya!?” gertak Ara kemudian setelah bisa menyadarkan diri dari keterkejutan yang menyerang.“Kamu tidak perlu tahu siapa saya. Jelasnya, saya mau kita bisa bekerja sama. Bukankah kamu sangat butuh uang investasi ini?” ucapnya sambil menyimpan berkas putih di meja.Ara memandang berkas itu, tetapi nuraninya memaksa ia untu terpejam beberapa detik. Benar, dirinya memang but
“Sampai kapan kamu akan terbaring koma, Mas?” Kata-kata itu menyerbu pikiran Ara. Ia berdiri menatap hujan yang turun dengan derasnya sambil menunggu sekuriti jaga yang tadi menawarkan diri untuk membawakan mobilnya dari area parkir.“Belum pulang?” tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang Ara, dan berhasil membuatnya hampir jantungan.Ara kaget bukan main. Di malam yang terguyur hujan itu, Rangga muncul tanpa disadari Ara.“Mas Rangga! Kaget tau!” pekik Ara seraya memukul lengan lelaki itu.“Kaget? Saya nanya, loh. Bukan ngagetin,” sahutnya diiringi tawa.“Iya, tapi cara nanya-nya bikin aku kaget!” protes wanita berambut hitam itu tak mau kalah.Rangga menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil masih tertawa.“Maaf, deh,” ucapnya simpel. Membuat Ara gemas, ingin sekali ia menjitak kepalanya.Namun, semua ia tahan. Meski Rangga sekarang masih sama, tetapi sekarang jalan mereka sudah berbeda. Laki-laki itu bukan lagi pemilik hatinya. Ara sadar bagaimana harus bersikap. Apalagi
Hujan di luar semakin deras, membuat Ara semakin merasakan dingin hingga menusuk tulang.Dalam situasi itu, hatinya tambah sedih saja. Teringat Fery yang biasanya akan memeluk erat kalau ia sedang kedinginan.Dulu, sebelum kisah mereka hancur berantakan tentunya. Jika saja Ara boleh jujur, ia kini merindukan kembali masa-masa indah itu. Ia ingin semua kembali seperti semula.“Mas, aku akan memaafkan kamu untuk kali ini. Jadi, tolong segera sadarlah. Ayo kita mulai lagi semua dari awal.”Di tengah isakkan tangisnya Ara berkata lirih. Tangannya kiam erat menggenggam tangan Fery penuh harap.Namun, sayangnya harapan Ara belum juga dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Dan ia hanya bisa terus berdoa dan berdoa tanpa henti, meski sejatinya hati begitu lelah menghadapi kenyataan yang amat pahit.“Mas, kumohon ....” Ara mengangkat tangan Fery, menaruhnya di pipi kiri sambil terus mengusap dengan jemari.Semakin Ara berharap, semakin besar pula sakit yang mendera hati. Ara tak bisa menghentikan ta
“Bu, apa masih merasa tak enak badan?” Mirna menanyakan kondisinya usai rapat.Bukan tanpa alasan. Mirna begitu khawatir ketika melihat wajah Ara memucat, bahkan tampak lebih pucat lagi di penghujung acara rapat.“Aku tidak apa-apa, Mirna.” Meski sebenarnya pusing masih berdenyut-denyut di kepala, Ara masih mencoba untuk menguatkan diri dan tak mau merepotkan sekretaris suaminya karena hanya khawatir pada keadaannya.“Ibu Ara yakin? Mau saya antar ke rumah sakit?” tawarnya serius.Ara gegas menggeleng.“Tidak apa-apa, Mir. Aku baik-baik saja. Setelah istirahat sebentar nanti juga akan lebih membaik. Terima kasih sudah memperhatikan. Sudah, ayo kembali bekerja. Pekerjaan kita tidak boleh terhambat karena aku seorang,” ucapnya. “Tapi, Bu ....”Ara menepuk bahunya. Bibir itu tersenyum lebar seakan-akan masalah kesehatannya sama sekali bukan suatu hal serius untuk diperhatikan. Wanita itu lebih memilih pergi menuju ruangan kerjanya dari pada mendengar kekhawatiran sekretarisnya.Akan tet
Baru saja semalam Ara bisa bernapas lega, setelah mendengar kabar bahwa Fery akan segera sadar. Kini, hatinya dilanda kecemasan kembali, bahkan lebih besar daripada sebelumnya.Sosok Fery yang baru terbangun setelah hampir tiga hari koma kini dinyatakan mengalami keadaan LIS (Locked-in Syndrome) oleh dokter yang menanganinya. Pikiran lelaki itu ada dalam kesadaran penuh, tetapi tidak dapat berkomunikasi sama sekali.Seluruh tubuh mati rasa. Meski begitu, indera pendengarannya tetap berfungsi, sehingga otaknya masih bisa merekam memori saat ini lewat indera pendengaran.Bagi sosok Fery, hidupnya kini telah terjebak dalam kematian saja. Meski bernapas dan sadar secara pikiran, lelaki itu kehilangan sensitifitas rasa di tubuhnya. Satu-satunya yang bisa digerakkan hanyalah mengedipkan mata.“Aku ngak tau harus gimana sekarang, Mas. Sekarang, rasa benci pun terkalahkan dengan simpati,” ucap Ara pelan.Fery hanya bisa mendengarkan Ara berbicara tak berdaya. Kelopak matanya saja yang berkedi