“Begini, Pak Tibra.” Raka melipat tangannya di atas meja. Lelaki itu menarik napas panjang sebelum mulai berbicara.“Lawan kita saat ini memiliki bukti dan saksi yang cukup kuat. Mereka lihai membaca peluang hingga membuat kita tidak mempunyai pilihan.” Raka berhenti sebentar. Otaknya berpikir keras memilih kalimat yang mudah dimengerti oleh kliennya.“Kalian sudah jelas harus mengakui ada hubungan, karena mereka bisa membuktikan itu. Kalau kalian mengelak, proses hukum akan semakin rumit. Itu artinya tidak sportif mengikuti proses hukum." Raka memperhatikan wajah Tibra yang terlihat sangat gusar."Nah, untuk itu, ada dua pilihan bagi kalian kalau bersedia mengakui ada hubungan. Hubungannya sebagai apa? Sudah menikah atau belum? Keduanya sama saja tetap terjerat pasal." Raka memegang tangan Tibra, meminta lelaki itu jangan menyela ucapannya. "Nama baikmu akan tambah hancur kalau mengaku sudah menikah, Pak Tibra. Kalau sekedar berselingkuh, bisalah kau berdalih khilaf. Wajar sebagai l
"Mengadili 1. Menyatakan terdakwa Tibra Davanka alias Tibra telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, pengancaman dan perselingkuhan. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama …."Ruangan itu ramai oleh suara tepuk tangan pengunjung saat hakim mengetuk palu tiga kali. Beberapa ibu-ibu bahkan berteriak menyoraki Tibra. Salah seorang dari mereka berusaha meraih tubuh lelaki itu saking gemasnya saat polisi menggiringnya."Hidup hukum! Hidup keadilan!" Ruangan itu ramai oleh sorakan yang saling bersahutan. Tangan-tangan teracung mengepal ke udara sebagai bentuk luapan bahagia dari para pendukung Aruna.Sementara Tibra berjalan dengan dagu sedikit terangkat. Wajah lelaki itu bahkan menampakkan senyum tipis. Dia tidak peduli dengan riuh rendah yang ada di ruang persidangan itu. Dia sudah mempunyai rencana lain untuk memberi pelajaran pada Aruna.Tibra melirik ke arah Aruna. Dia bisa melihat wa
Aruna yang sedang sibuk melayani para pengunjung sidang yang memberi selamat, sedikit menautkan alis mendengar suara Raka yang sedang dikerumuni awak media. Wanita yang menggunakan blus navy dengan jilbab senada itu menajamkan telinga agar bisa mendengar ucapan Raka dengan jelas."Sebelum ditahan, beliau sempat mengatakan sangat menyesal karena khilaf melakukan kekerasan pada Aruna. Pak Tibra juga sepenuhnya menyadari kesalahan karena telah mengkhianati istri yang masih sangat dia cinta. Jadi, beliau memutuskan menerima dengan lapang hati semua keputusan hakim."Hampir saja Aruna kelepasan tertawa terbahak-bahak mendengar omong kosong Raka. Masih cinta? Luar biasa memang akal mantan suaminya itu untuk tetap bisa mempertahankan citra baiknya. Dia akhirnya menyibukkan diri dengan orang-orang yang menyapa dan memberikan ucapan selamat padanya. Wanita itu mengabaikan Raka yang dianggapnya sedang mendongeng dan mengarang cerita.Aruna memilih pergi setelah selesai menerima ucapan selamat
Aruna mulai bergerak mendekati satpam perumahan. Tidak butuh waktu lama dia bisa mendapatkan salinan buku tamu untuk membuktikan Andhira sering datang ke sana. Setelah beberapa waktu, dia juga berhasil membujuk satpam perumahan agar pindah kerja ke salah satu tempat usaha yang sedang dia bangun.Ya, dalam diam Aruna mulai membangun usahanya sendiri menggunakan nama Wira dan Adya. pelan-pelan dia mulai mengeluarkan uang untuk dana pembangunan usahanya. Dengan menggunakan nama orangtuanya, kalaupun usaha itu terendus oleh Tibra maka tetap tidak akan bisa dijadikan harta gono-gini.Sekali tepuk, dua pulau terlampaui. Selain bisa mengamankan saksi kedatangan Andhira sekaligus saksi KDRT karena malam itu dia sempat bertemu dengan salah satu petugas, dia juga bisa mendapatkan petugas keamanan yang sudah teruji kinerjanya.Selain itu, Aruna juga mulai membayar detektif untuk menyelidiki sejauh apa hubungan Tibra dan Andhira. Dia cukup terkejut saat mengetahui mereka telah menikah siri, bah
"Apa kau g*la?!" Aruna menarik kerah baju khas tahanan yang digunakan Tibra dari balik sel ruang kunjungan. Hampir saja badan Tibra tertarik dan membentur sel andai polisi yang berjaga tidak bergegas memeluk Tibra dari belakang."Jangan membuat kerusuhan di sini! Atau silahkan tinggalkan tempat ini sekarang juga." Petugas menatap Aruna tajam dari balik jeruji besi. Suaranya yang tegas memenuhi ruangan. "Kami minta maaf, Pak." Lendra langsung menenangkan petugas dan menjelaskan dengan singkat kalau Aruna terbawa emosi."Tahan sedikit, Bu Aruna." Lendra berbisik pelan. Sejujurnya, dia juga merasa ingin menghadiahkan pukulan pada lelaki di balik jeruji besi. Jangankan Aruna, dia saja menahan emosi sejak tadi.Petugas akhirnya berjalan menjauh sambil menatap Aruna tajam. Lewat pandangannya dia memperingatkan Aruna agar tidak memancing kerusuhan lagi. Sementara Aruna tidak terlalu peduli dengan ucapan petugas barusan, ada Lendra yang mengurusnya walau pengacaranya jiga memperingatkan baru
Tibra hanya menanggapi emosi Aruna dengan senyuman. Dia senang bisa melihat mantan istrinya itu hilang kendali.“Kau melawan hukum, Tibra!” Aruna tersengal. Lelaki ini benar-benar menguji kesabarannya.Tibra terkekeh. Dia maju dan mendekatkan diri pada Aruna. Kedua tangannya memegang jeruji besi, wajahnya menempel pada logam dingin itu. Dia berbisik pelan pada Aruna.“Persetan dengan hukum!”Hampir saja Aruna menonjok wajah Tibra yang menyembul di antara jeruji besi kalau saja Lendra tidak menahannya. Sementara Tibra menjauhkan diri sambil tertawa terbahak-bahak.“WAKTU KUNJUNGAN HABIS!” Petugas berteriak memberi pengumuman.“Sampai kau bersujud dan mencium telapak kakiku pun aku tidak akan memberitahu mereka ada dimana. Mereka lelaki, Aruna. Sudah seharusnya Zahir dan Zafar ada dalam pengasuhanku. Figur seorang Ayah sangat diperlukan dalam perkembangan mereka.”“Figur seorang Ayah? Hei! Kau sehat? Kau sedang ada di penjara, Tibra Davanka. Bagaimana kau akan mendampingi mereka? Astaga
“Tidak usah heran. Tanpa Tibra pun aku bisa hidup dengan layak dan berkecukupan.” Aruna tersenyum melihat Andhira yang mempertanyakan cek yang dia berikan. "Kau bisa pastikan ini bukan cek kosong! Atau, kalau kau perlu uang tunai untuk meyakinkan diri, aku akan bawakan. Bilang saja mau mata uang apa. Euro? Dollar? Ringgit?""Aku tidak butuh uangmu."Aruna tertawa kencang mendengar jawaban Andhira. Dia tidak perduli sedang ada dimana. "Omong kosong! Memangnya apa yang kau cari dengan menggoda Tibra kalau bukan harta? Munafik!"Andhira menarik napas panjang mendengar teriakan Aruna. Andai situasinya tidak seperti ini, tanpa menerima bayaran pun dengan senang hati dia akan memberitahu Aruna. Siapa juga yang mau repot mengurus anak orang lain? Namun, mau tidak mau dia harus merahasiakan keberadaan Zahir dan Zafar.Sesuai rencana Tibra, setelah Andhira keluar dari penjara, wanita itu akan menyusul ke tempat Zahir dan Zafar. Selama Tibra masih di penjara, kedua anak itu akan dirawat dan di
“Bagaimana?” Aruna menahan jilbabnya yang terus berkibar karena terpaan angin laut yang cukup kencang. Seorang pegawai membawakan topi yang biasa Aruna kenakan jika berkunjung, dengan topi itu kemungkinan jilbabnya terbang terbawa angin menjadi kecil.“Sudah dimulai sejak setengah enam tadi, Bu. Begitu hari mulai terang, kita langsung bergerak.” Affan memberi penjelasan sambil mempersilahkan Aruna.“Semoga berhasil ya?” Aruna menoleh sambil tersenyum pada orang kepercayaannya ittu.“In syaa Allah berhasil, Bu. Panen parsial ini bertujuan untuk menjaga stabilitas air. Sebab, residu pakan buatan bisa dikurangi dengan populasi yang lebih terbatas. Dengan cara ini, kita bisa mencapai size yang Ibu inginkan.” Affan menunjuk jaring yang sedang diangkat oleh sekitar delapan orang pekerja.Aruna mengangguk sambil tersenyum. Udang-udang di dalam jaring terlihat melompat-lompat. Kulitnya bercahaya ditimpa sinar matahari pagi. Mereka memang melakukan pemanenan setiap pagi hari, sebelum matahari