“Berapa, Mang?”“Sayur kangkung tiga ikat lima ribu, ikan salem seperempat kilo sembilan ribu, cabe rawit tiga ribu, semuanya jadi tujuh belas ribu.” Mang Jupri memasukkan semau belanjaan Bu Riri.“Lima belas ya?” Bu Riri mengulurkan uang pas lima belas ribu.“Nodong apa nawar, Bu?” Bu Likah terkekeh disambut ibu-ibu yang lain. Sementara Mang Jupri hanya menggeleng, sudah biasa Bu Riri seperti itu.“Ibu-ibu, permisi ya.” Andhira tersenyum sambil membuka pintu gerbang. Jam tujuh pagi, saatnya dia berangkat kerja.“Oh iya, Neng, maaf ya. Sebentar geser dulu, Bu.” Mang Jupri mendorong gerobak sayurnya. Biasanya dia berhenti sedikit lebih ke depan agar tidak menghalangi mobil Andhira keluar dari rumah. Namun, pagi ini ibu-ibu sudah menyerbu karena dia datang agak kesiangan, jadilah dia asal berhenti saja.“Berangkat kerja, Neng?” Mang Jupri menyapa sambil mengangguk sopan.“Iya, Mang.” Andhira tersenyum sambil menutup kembali gerbang rumahnya.“Masya Allah, eta awewe geulis pisan.” Mang
"Walah, walah, Mbak eeee, tobat, Mbak. Jadi perusak rumah tangga orang kok bangga!" Bu Riri mencebik. "Ya jelas bangga. Saya yang kalian katakan tidak punya otak dan seorang perusak ini, bisa hidup berlebihan dan bahagia. Sementara ibu-ibu di sini, coba lihat? Di saat saya sibuk akan berangkat kerja sebagai wanita karir sukses, ibu-ibu sibuk bergunjing yang tidak penting." Andhira tertawa meremehkan."Sudah ya, saya bisa telat kalau harus meladeni ibu-ibu kurang uang seperti kalian." Andhira membalik badan dan melenggang anggun menuju mobilnya."Walah gendeng emang itu wanita!" Bu Lela membuka bungkusan ikan teri yang dia pegang dan langsung melemparkannya pada Andhira."Aw!" Andhira memekik saat merasakan sesuatu mengenai tubuhnya."Ih!" Andhira langsung menggoyangkan badan saat dia menyadari banyak ikan teri yang menempel di rambut panjangnya yang tergerai."Dasar kampungan!" Andhira membalikkan badan dan berniat melabrak kembali tetangganya.Namun, alangkah terkejutnya dia saat me
"Hebat ya, baru datang jam segini." Aruna bertepuk tangan saat melihat Andhira masuk.Andhira menautkan alis. Sedikit salah tingkah saat melirik jam dinding. Dia memang datang sangat terlambat."Apa jam kerjamu berbeda dengan karyawan lain Andhira?""Saya sudah izin datang terlambat pada Mas Tibra." Andhira menutup pintu ruangannya. Dia sedikit bingung harus bagaimana dan kemana menempatkan diri. Lebih tepatnya, wanita itu salah tingkah pada Aruna yang duduk di belakang meja kerjanya dengan tatapan membunuh."Kau outlet manager di sini. Artinya, kau dipercaya untuk memimpin dan mengatur jalannya resto ini. Apa pantas seorang pimpinan datang jam sepuluh?" Aruna berdiri dan berjalan pelan ke arah Andhira yang masih berdiri di tempatnya pertama datang tadi."Saya sudah izin datang terlambat ke Mas Tibra." Desis Andhira.Aruna mengangguk. Dia mendapat laporan beberapa minggu ini Andhira mulai bertingkah. Datang sesukanya dan pulang pun sesukanya.Aruna mengambil ponselnya dan mencoba meng
Andhira mendorong bahu Aruna. Wanita itu melangkah menuju meja kerjanya. Dia memilih duduk di kursi agar jarak dengan Aruna tidak terlalu dekat. Berdiri dalam jarak yang sangat intim dengan Aruna, entah kenapa membuat tengkuk Andhira meremang."Kenapa kau begitu jahat padaku, Andhira? Apa salahku padamu?" Aruna menarik kursi dan duduk di depan Andhira. Dia memang sengaja datang kemari untuk menemui wanita itu. Dia harus memastikan semua hal, agar tidak salah langkah ke depan."Jawab!" Aruna memukul meja sehingga membuat Andhira terlonjak kaget.Wanita itu menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Aruna. Dia tidak boleh takut. Tibra sudah berjanji akan melindunginya dalam kisruh masalah ini."Kau tidak ada salah, Aruna. Hanya saja, aku menginginkan posisimu."Aruna menautkan alis mendengar ucapan Andhira. Dia menahan napas menunggu kelanjutan ucapan wanita itu."Aku menginginkan kehidupan sepertimu. Punya suami tampan, hidup bergelimang harta, kau juga tidak pernah kekurangan
"Gugatan Penggugat patut dikabulkan dengan menetapkan hak pengasuhan berada pada Penggugat sebagai ibu kandungnya.""Alhamdulillahirobbilalaamiin." Aruna menutup wajah dengan kedua tangannya. Ketukan palu tiga kali dari hakim menjadi penanda sidang resmi ditutup.Lendra menarik napas panjang. Lelaki itu tersenyum lebar mendengar keputusan hakim. Kelegaan jelas terpancar dari wajahnya. Setelah berbulan-bulan menjalani proses sidang yang alot, akhirnya mereka bisa mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan.“Bapak.” Aruna memeluk Wira yang sekalipun tidak pernah absen menemaninya dalam setiap sidang.Lelaki itu mengusap air mata putrinya. Dia mengelus kepala Aruna dan mencium puncak kepala Aruna. Dulu, kini dan nanti, Aruna akan selalu menjadi putri kecilnya. Selama sepuluh tahun dia berada dalam pengawasan lelaki lain, kini anaknya kembali lagi pada tanggungjawabnya.Ada kelegaan sekaligus kesedihan yang berjalan beriringan dalam benak Wira. Dia merasa lega karena akhirnya Aruna
Lendra mengarahkan Aruna dan Wira untuk segera meninggalkan ruang sidang. Masalah banding itu bukan urusan mereka. Sebelum keputusan hari ini pun, mereka sudah memperkirakan pihak Tibra akan banding jika hak asuh anak jatuh pada Aruna.Tidak masalah, karena ada banyak hal yang akan memberatkan Tibra sehingga sulit mendapatkan hak asuh. Salah satu diantaranya adalah kasus perzinahan yang saat ini sedang dalam penyelidikan. Aruna sengaja mengangkat kasus itu bukan karena sakit hati, tetapi dia melakukannya agar bisa memenangkan hak asuh.Jika Tibra terbukti melakukan perzinahan, maka posisinya akan semakin kuat walau lelaki itu terus maju sampai kasasi.“Aruna, Aruna, bagaimana dengan perkembangan kasus perzinahan yang anda laporkan?” Beberapa awak media langsung berlarian, pindah lapak, saat melihat Aruna dan kuasa hukumnya keluar dari ruang sidang.“Sejauh ini proses terus berlanjut. Bukti-bukti yang diminta juga sudah kami berikan semua.” Lendra mewakili Aruna menjawab.“Ada yang m
Mobil silver mewah dengan harga fantastis itu parkir dengan mulus di halaman rumah dua lantai. Pengemudinya, seorang wanita cantik yang menggunakan baju semi formal kuning gading. Rambut panjangnya yang hitam legam dan sedikit bergelombang dengan warna blonde di ujungnya dibiarkan tergerai begitu saja.Kaki jenjangnya yang putih mulus terlihat sangat jelas karena dia mengenakan rok ketat dengan tinggi lima belas sentimeter di atas lutut. Bibirnya yang menggunakan perona bibir warna peach terus saja tersenyum dari tadi. Dia sedang sangat bahagia.Bagaimana tidak bahagia? Sepuluh menit yang lalu suaminya menelepon, mengabarkan sesuatu yang membuatnya hampir meloncat kegirangan andai tidak ingat sedang mengemudi. Andai waktu bisa diulang, dia ingin sekali rasanya merekam percakapan itu untuk memperingati hari ini sebagai tonggak bersejarah, karena lelaki itu menjadi miliknya seutuhnya.“Dhir? Aku kalah. Aruna memenangkan hak asuh atas Zahir dan Zafar.”Suara lemah Tibra yang tadi menel
Bagai disambar petir, betapa kagetnya Andhira saat lelaki itu berbalik dan menatap mereka. Untuk beberapa detik dia dapat merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Napasnya terasa sesak, keringat dingin mulai keluar dari pelipis. Ujung tangan Andhira mendadak terasa sangat dingin.Devan.Ketakutannya terjadi. Mantan suaminya itu bergerak lebih cepat dari yang dia perkirakan. Andhira memang sudah memperkirakan hari ini akan terjadi. Dia tahu persis siapa Devan, lelaki psikopat dan sangat posesif itu.Namun, dia tidak menyangka akan secepat ini. Awalnya, dia berharap saat devan datang pernikahannya dengan Tibra sudah sah di mata hukum. Sehingga, lelaki di hadapannya ini pasti akan berpikir dua kali jika ingin mengganggunya lagi."Anna, main sama Mbak Warsih dulu ya." Andhira mengelus kepala Anna. "Tapi Anna masih mau main sama Ayah, Bu." Anna merengek.“Duh!” Andhira mengeluh dalam hati mendengar rengekan Anna.“Nanti lagi ya? Inikan jadwalnya Anna mengerjakan PR. Pasti ada PR k