"Mau sampai kapan, mas?" aku sedikit meninggikan intonasi bicaraku. aku mulai prustasi, apa harus dengan paksaan agar mas Pras mengerti dengan keadaanku, ketakutanku bahkan melebihi segalanya sekarang, melihat tubuh tak berdaya sang papa aku benar-benar takut lelaki paruh baya tersebut pergi membawa keinginan yang belum kesampaian dan membuatku menyesalinya seumur hidup.Pras melirik kesekeliling, untunglah para pengunjung tidak mendengar ucapan Aruna, hanya beberapa orang melirik sebentar setelahnya mereka kembali dengan kesibukan masing-masing."Dek ... pelankan suaramu?" pintaku, aku tidak suka dengan sikap Aruna kali ini."Kita bicarakan ditempat lain." balas Pras yang langsung menarik pergelangan tanganku menuju meja kasir, setelah melakukan pembayaran dia langsung menarik tanganku menuju sebuah lorong yang berada dirumah sakit ini."berulang kali mas katakan, mas tidak bisa." ujar Pras setelah kami menjauh dari keramaian."Jadi kamu mau apa, mas? mau menceraikan Nisa? lalu menca
Satu bulan kemudian.Hampir dua minggu Gunawan koma, dan hampir dua minggu pula dia dirawat dirumah sakit untuk pemulihan.Sekarang dia sudah diperbolehkan pulang, tidak ada satupun yang tahu apa yang mendorong lelaki paruh baya tersebut bisa siuman kecuali Aruna.Meskipun keinginannya belum terwujud setidaknya Pras sudah mau berusaha menerima kehadiran Nisa.Ya itulah yang dibisikkan Aruna selagi Gunawan masih dalam keadaan koma, Runa mengatakan jika Pras dan Nisa sedang berusaha, dan kata dokter kemungkinannya memiliki anak sangat besar."Nak, terimakasih untuk keikhlasanmu." ujar papa saat kami bertiga berkunjung.Aruna tersenyum, dia senang melihat keadaan papa yang sudah berangsur membaik, Aruna sangat pandai menutupi kesedihannya bahkan Pras yang begitu mengenalnya bisa tertipu.Dia akan mengadu kesedihannya disepertiga malam, disaat semua orang tengah terlelap, meluapkan segala kesedihannya dihadapan sang khalik."Apa sudah ada tanda-tandanya?" tanya papa menatap mas Pras dan
"Assalamualaikum, mas?" Nisa meraih tangan lelaki yang bergelar suaminya tersebut, Pras sangat canggung dengan posisinya sekarang dia hanya bisa menerima uluran tangan Nisa karena tidak mungkin menolaknya didahapan orang banyak."Mas sendiri? dimana mbak Aruna?" tanya Nisa arah pandangannya menyapu kesekeliling."hm ..." hanya kata itu yang terlontar dari mulut Pras, setelah membayar Pras langsung meninggalkan Nisa tanpa berpamitan.Nisa hanya bisa menghela napas, dia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang telah berstatuskan suaminya tersebut.Nisa berlari kecil menyusul Pras yang tengah melangkah gontai menyusuri jalanan, dia merasa suaminya tersebut sedang mengalami masalah."Mas, tunggu." Nisa mensejajarkan langkahnya mengikuti langkah Pras."Apa mas lagi ada masalah?" tanya Nisa hati-hati."Bukan urusan kamu." balas Pras ketus."Bagaimanapun aku ini istri kamu, mas! "Apa kalian bertengkar?" telisik Nisa, bukan tanpa sebab Nisa menanyakannya karena hanya masalah
pov NisaApa serendah itu harga diri ini dimata lelaki yang telah kutaruhkan separuh hatiku tanpa meminta pembalasan rasa yang setimpal.Dengan ringannya mulutnya berkata jika akulah penyebab keretakan rumah tangganya bersama mbak Aruna, dan dan dia juga lancang mengatakan jika aku sangat mengharapkan kehangatan dari tubuhnya.Sebagai seorang wanita yang telah menikah, wanita mana yang tidak membutuhkan nafkah bathin dari pasangannya, akupun sama, aku juga butuh hal tersebut tapi bukan itu tujuan utamaku menerima pernikahan ini, jika hanya karena soal nafkah bathin, aku bisa menunggu sampai mas Pras benar-benar sudah bisa menerima kehadiranku, tapi alasanku menerimanya benar-benar hanya ingin membantu mbak Aruna menyelesaikan masalah.Bagaimana aku membiarkan wanita yang telah aku anggap saudaraku sendiri, menderita. sedangkan dia membutuhkan pertolonganku.Mas Pras berfikir aku sangat bahagia dengan pernikahan ini, tapi sebaliknya ... aku tidak pernah menginginkan pernikahan yang sem
Tepukan lembut membangunkanku, aku mengerjabkan mata beberapa kali, mengumpulkan kesadaran sepenuhnya, sepertinya aku ketiduran selepas mengerjakan shalat subuh.Kulihat mas Pras berjongkok dihadapanku, memakai baju muslim deng peci yang bertengger dikepalanya, masya Allah tampan sekali suamiku, aku memiliki suami yang begitu tampan, ahklak yang baik, memiliki cinta yang begitu besar, dan aku juga memiliki mertua yang begitu menyayangiku, ekonomi kamipun tidak ada masalah, malahan kami bisa dibilang memilik segalanya, ujian kami hanya satu, keturunan ... Allah masih belum mempercayai kami,Aku bersama mas Pras tidak masalah, kami berdua selalu memberikan dukungan satu sama lain karena kami selalu meyakinkan jika suatu saat nanti Allah pasti menitipkannya untuk kami.Tapi papa ... papa mempermasalahkan hal tersebut, dua tahun penantian menurutnya sudah cukup, dengan kondisi kesehatannya yang menurun papa meminta hal yang tidak mungkin bisa kuberikan.Lambaian tangan didepan wajahku mem
Dering ponsel yang berada diatas meja dihadapanku membuyarkan lamunan, aku hanya menatap sekilas tanpa berniat untuk mengangkat panggilannya.Tapi lagi dan lagi panggilan dari nomor yang sama memanggil dengan beruntun seperti tak kenal lelah membuat bibir ini berdecak kesal."Iya, assalamualaikum?" ucapku dengan nada ketus."Wa'alaikumsalam! maaf mbak, bisa jemput suaminya sekarang, soalnya dia mabuk berat ini." ujar pria diseberang sana."A-apa? mabuk." tanyaku tidak percaya, sejak kapan mas Pras mengenal minuman haram seperti itu."Iya mbak! tolong dijemput ya, soalnya kami mau tutup mbak." balas pria tersebut."Aku akan segera kesana!" balasku lalu mematikan sambungan telpon setelah pria tersebut memberikan alamatnya.Terpaksa aku mengendarai mobil sendiri jika memesan taxi online pasti akan memakan waktu lama, mobil membelah jalanan yang sudah mulai sepi karena jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.Lima belas menit aku sampai didepan sebuah cafe yang sebelah pintunya sudah ditutup,
Aruna ...Pras mengakhiri permainannya dengan menyebut nama Aruna istri pertamanya tanpa memikirkan bagaimana terlukanya istri keduanya saat ini.Bulir bening berjatuhan dari sudut matanya. "bahkan dalam keadaan tak sadarpun kamu masih menyebut nama mbak Aruna, sebesar itukah cintamu untuk mbak Aruna, mas? isak Nisa.Aku tidak berharap bisa dicintai sebanyak itu, aku cuma berharap satu hal, kamu memperlakukanku layaknya sebagaimana peran seorang istri pada umumnya, tapi kenapa kamu masih memberi jarak tak kasat mata seperti ini terhadapku, mas.Memang pernikahan ini terjadi karena keterpaksaan tapi tidak bisakah kamu mencoba untuk menerima kehadiranku, mas? aku bukan wanita yang akan menghancurkan pernikahanmu sebelumnya, aku sadar diri dan aku tau dimana tempatku. Nisa menatap sendu wajah lelap suaminya.Seharusnya aku bahagia karena telah menjadi seorang istri seutuhnya, mas Pras telah memberikan hakku, tapi bukan menghabiskan malam seperti ini yang aku harapkan, mas datang dalam ke
Selepas kepergian mas Pras kekantor, ponselku berdering, nama Nisa tertera disana, kuhembuskan nafas perlahan lalu mengangkat panggilan dari gawaiku."Assalamu'alaikum, mbak?" salam Nisa diseberang sana."Waalaikumsalam." balasku."Mbak, mas Pras ada disana nggak?" tanya Nisa daei nada bicaranya terdengar dia sangat mengkhawatirkan mas Pras."Barusan berangkat kekantor." jawabku."Syukurlah." ucapnya lega."Aku hanya khawatir, takutnya terjadi apa-apa dengannya dijalan." timpal Nisa.Dadaku berdesir kala mendengar ada wanita lain yang mengkhawatirkan suamiku, sesak didada tidak bisa kusembunyikan, aku mendongakkan kepala keatas menahan airmata ini agar tidak tumpah."Semalam mas Pras mabuk, mbak! aku sudah mencoba menghubungi nomor mbak tapi tidak dijawab." Nisa berkata panjang lebar."Aku sudah tidur." jawabku singkat."Mbak tutup dulu ya, masih banyak kerjaan." padahal itu hanya alasanku saja, aku tidak ongin berlama-lama berbicara dengan Nisa, itu hanya akan membuat luka yang sempa