Setelah perjalanan yang melelahkan kami sampai dikantor polisi. Karina tanpa ampun membuat dua laporan sekaligus. Laporan atas penculikan anak dan laporan atas pemerasan. Tega, sekali dia!Ibu dan Doni entah dibawa kemana. Yang jelas aku dimasukkan kedalam sebuah sel yang dihuni banyak napi. Ada sepuluh atau dua puluh orang didalam. Penuh, sesak dan menyeramkan. Rasa takut menyusup dalam hati. Isu yang selama ini beredar membuatku ciut. Banyak napi yang babak belur dianiaya oleh teman satu selnya. Semoga saja tak terjadi padaku."Woi, anak baru nih!" seorang laki-laki berkumis dan berbadan besar mendekat."Kasus apa, Lu?" tanyanya dengan nada ketus."Bisu lu, ya?"Aku masih menunduk tak berani menatap. Keringat dingin mengucur. Baru hari pertama sudah begini, bagaimana nanti."Paling habis menca***i anak orang, Bang!" sahut laki-laki berbadan kurus sambil tertawa terbahak-bahak dan diikuti oleh orang-orang yang ada didalamnya.Plak!"Bener lu, habis gituan?" pertanyaannya seperti mele
"Kamu pasti masih kaget, ya. Ini Bunda Ratri, ini Ayah Apri." Ratri memegang tangan Raffi lalu menyatukan dengan tangan suaminya yang juga duduk disana.Mereka tersenyum bahagia. Hutan itu begitu lebat, tak ada manusia yang datang kesana selain dua orang itu yang lari dari keramaian. Karena malu belum juga punya keturunan. Hingga mereka menemukan tubuh Raffi yang tergeletak ditengah hutan dan kepalanya terluka. Baju Raffi yang putih juga tak jelas lagi warnanya. Robek sana sini."Nama kamu, Yusuf ya sayang." ucap Ratri lagi. Wanita itu sampai lupa jika dia tak berhak sama sekali memberi nama kepada anak laki-laki yang dia selamatkan itu.Raffi masih dengan posisi sama. Nyeri di kepalanya masih terasa. Sudah tiga hari sejak ditemukan, Raffi tak sadarkan diri. "Sudah, Bunda. Biarkan Yusuf istirahat dulu." bisik Apri ke telinga istrinya. Kebahagiaan mereka terasa sempurna setelah kehadiran Yusuf. Apri yang biasanya sebulan sekali turun bukit untuk berbelanja, kini hampir tiap hari dia
"Sabar, jangan panik. Aku sudah mengerahkan semua orang sewaanku untuk mencari Raffi. Sekarang tenangkan dirimu dulu, sayang. Nanti sakit." Mas Ahmad begitu aku memanggilnya sekarang.Pria itu ternyata tak seperti yang aku kira dulu saat masih menjadi buruh. Sosoknya sangat penyayang, romantis dan perhatian."Maaf aku membuatmu lelah dengan masalahku." sesalku."Love you, dear. Apapun masalahmu juga akan menjadi masalahku. Kita selesaikan bersama-sama, ya."Aku merasa sangat beruntung bisa menikah dengannya. Walau pernah terbetik perasaan ragu. Namun, akhirnya kami dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Saat Raffi hilang dibawa Mantan. Saat itu juga acara lamaran yang awalnya akan dilakukan dua hari lagi, berubah menjadi akad nikah. "Ijinkan saya menghalalkan kamu, Karina. Kalau kita sudah menjadi mahram, aku akan bebas mendampingi kamu mencari Raffi. Percayalah, aku tak sedang mencari kesempatan dalam kesempitan." ucapnya bersungguh-sungguh.Akhirnya kamipun menikah secara sederhana
Sepanjang perjalanan tanganku dipegang erat olehnya. Ya Allah, kenapa hati ini begitu berat melepaskan dia."Jangan khawatir baby, Mas akan cepat kembali." Katanya disaat terakhir dia akan pergi. "Aku akan menunggumu."Air mataku menetes, entah kenapa tak rela dia pergi jauh. Aku memandang laki-laki yang kini telah sepenuhnya menguasai hatiku itu, sampai tak terlihat lagi punggungnya.*****Dua hari sudah Mas Ahmad disana. Hampir setiap jam dia menghubungiku. Sampai saat ini belum ada kabar baik tentang Raffi. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?Ting![Bu, ada warga yang melihat seorang anak kecil berlari disekitar daerah dipinggir hutan.] pesan dari seorang yang sedang bertugas di lapangan memantau perkembangan.[Coba kamu pastikan. Dan kirim alamat dimana anak itu terakhir terlihat.]Aku bergegas berkemas, aku harus ke sana. Dari pada disini aku bisa mati karena kepikiran Raffi.[Mas, aku berangkat ke daerah P, ada kabar tentang Raffi. Aku harus kesana.] aku mengirim pesan itu
Sesampainya di tempat ditemukannya tas biru itu, aku tersungkur lemas. Hanya tas saja yang teronggok di sana. Dan beberapa bekas darah yang menempel di daun kering."Ya Allah..." Sesak didada makin meraja. Aku meraung sejadi-jadinya. Tak rela jika anakku hilang dengan cara seperti ini."Rin, Istighfar, jangan begini. Raffi pasti masih hidup. Dia tak jauh dari sini, hayo jangan menyerah, Rin."Aku tahu Nana pasti hanya menenangkanku, suaranya juga bergetar."Raffi... Raffi... " aku terus berteriak memanggil anakku itu. Betapa berdosanya aku ya, Allah. Tak menjaga amanah yang Engkau berikan.Hari makin siang, kini bantuan dari relawan pun berdatangan. Seluruh hutan disisir tanpa lelah. Hingga ditemukan gubuk di tengah hutan dan ladang yang ditanami berbagai tanaman. Tapi, tak ada orang disana. Rumah yang tak terkunci itu digeledah, dan ditemukan bekas baju koko anak yang sudah robek-robek bercampur warna darah yang juga sudah mengering."Raffi pasti disini, Raffi ada disini." tangisku
Aku yang tengah berbaring terlonjak bangun."Ya Allah, Alhamdulillah... dimana dia? Bagaimana keadaannya?" tanyaku tak sabar."Sekarang dilarikan ke rumah sakit, Bu. Keadaannya lemas, Raffi ditemukan warga didepan rumahnya dengan luka dan hampir tak sadarkan diri, Bu.""Ya Allah." desisku. Badanku gemeteran ada rasa syukur, bahagia dan sedih dalam satu waktu. Dengan cepat aku dan Nana berangkat menuju rumah sakit yang dimaksud.Raffi masih terbaring di atas brangkar rumah sakit, di tangannya sudah terpasang infus. Wajahnya pucat dan kurus. Aku meraih tangan Raffi, dan menciumnya berkali-kali.Ya Allah, keadaan seperti apa yang dia hadapi diluar sana pasti sangat berat dan sulit, maafkan Ibu, Nak. Aku sangat bersyukur bisa menemukan Raffi kembali walau dalam keadaan yang memprihatinkan.Tiga jam Raffi tertidur pulas. Mungkin efek obat yang diberikan dokter."Bu..." panggil Raffi lemah. Aku yang masih memakai mukena setelah sholat Maghrib bergegas bangun."Sayang, ini Ibu, Nak." tak kua
Mendengar suara wanita dikamar suamiku, mendadak oksigen didada menipis. Lahar panas serasa sedang mengalir dialiran darahku. Kami masih pengantin baru. Tak mungkin rasanya Mas Ahmad mempermainkanku.Hari ini aku berangkat ke Taiwan bersama Raffi, aku ingin mencari kepastian. Keberangkatanku tentu saja tanpa sepengetahuan Mas Ahmad."Kamu yakin, Rin?" tanya Nana meragukanku.Aku mengangguk cepat."Hidup itu sebuah kepastian, Na. Aku ingin memastikan semuanya. Aku tak takut jika harus menjadi janda untuk kedua kalinya, dari pada mempunyai suami tapi mengkhianati." Nana memelukku, air matanya berurai.Nana sedari dulu tahu bagaimana aku berjuang. Sepertinya kepahitan hidup enggan melepaskanku."Sudah Na, jangan nangis ah. Aku sudah biasa berteman lara, dari dulu." kelakarku garing.Tangis Nana makin kencang."Rin, kalau ada apa-apa kabari aku. Kembalilah Rin, aku akan menemanimu bagaimana pun keadaanmu." ucapan tulus Nana memancing bening di mata turun tanpa permisi."Makasih ya Na, kam
Seorang wanita dengan pakaian seksi berjalan angkuh melewatiku. Wangi parfumnya dapat tercium beberapa meter ke belakang. Aku pun meneruskan langkah hingga kami bertemu lagi dalam lift yang sama.Ternyata lantai yang kami tuju pun sama. Perempuan itu berjalan lebih dulu, bunyi high heels nya terdengar lantang beradu dengan lantai.Dia berbelok menuju arah yang sama denganku. Perasaanku mulai tak nyaman. Hingga benar, dia berhenti tepat didepan pintu kamar Mas Ahmad.Aku terpaku, perempuan itu bisa masuk tanpa perlu mengetuk pintu terlebih dahulu. Mas Ahmad tak terlihat, kaki ini terasa menyatu dengan lantai yang kuijak. Tanganku dingin, tapi hatiku begitu panas.Dengan mengucap Bismillah, aku melanjutkan langkahku.Perlahan kubuka knop pintu. Tampak Mas Ahmad berbaring di ranjang dan ada perempuan itu yang membelai rambut kepalanya mesra. Mata suamiku terpejam rapat, apa dia begitu menikmati sentuhan itu.Brak!Pintu terbanting beradu dengan tembok dinding membuat kedua manusia itu te