***"Mas, aku bisa jelaskan ....""Bim, itu gak benar! Rekaman video itu bukan ....""Jadi Om mau bilang kalau orang kepercayaanku berbohong dan mengedit video ini? Buat apa?" Suara Bima meninggi. "Sudah sejak awal aku ingin memecat putri Om yang gak bawa pengaruh apa-apa buat Perusahaanku, bahkan ... dia dengan sengaja membuat semua sekretaris yang dulu resign dengan alasan yang gak masuk akal! Aku tau itu semua ulah Melinda, Om!"Melinda terbelalak. Dia tidak menyangka jika Bima sudah mengendus semua perbuatannya selama ini."Sudah berulang kali aku bilang, aku ... tidak menaruh perasaan apapun pada dia! Jadi tolong, sudahi drama kalian ini. Aku muak!"Pak Agung yang tadinya menyimak kini ikut naik pitam. Bisa-bisanya teman yang dia anggap baik ternyata bersiap menusuk dari belakang. "Demi harta, begitu, Pras?"Pak Pras menggeleng lemah. "Gung, dengarkan aku ... ini semua salah paham." "Salah paham Om bilang? Bukti video ini masih kurang kuat, begitu?"Pak Pras mati kutu. Dia gela
***"Ck, kamu apa-apaan sih, Han!" hardik Bima kesal. "Minggir! Rusak gendang telingaku!""Bapak lagian kenapa teriak-teriak sih, bikin kaget aja!" balas Hana menggerutu. "Minggir, Pak! Saya bawa banyak cangkir nih!"Bima menyingkir. Setelah Hana berlalu baru lah dia tersadar akan sesuatu. "Eh, berani sekali dia bentak-bentak saya, cari mati!" gumam Bima sambil geleng-geleng. "Ini juga, gak kira-kira banget kalau mau berdebar-debar!" Bima menepuk dadanya dengan gemas.***"Mbak, aku rencana caesar besok, bisa datang ya?"Hana yang tengah meluruskan badan dibuat terkejut dengan telepon dari Nita. "Besok? Sengaja banget cari akhir pekan ya," goda Hana sambil tertawa. "Besok pagi aku sama Emak kesana, Insya Allah, doakan perjalanan kami lancar ya."Anita memekik girang. Selama kehamilannya yang mulai membesar, dia hampir tidak pernah keluar rumah karena Kevin melarangnya untuk bepergian jauh. Jadilah selama ini dia hanya saling bertukar kabar dengan Hana. "Gak perlu bawa apa-apa, aku m
***"Saya tidak sedang dalam mode ingin diajak bercanda, Pak," kata Hana sinis. Bima melengos. Dia menyentak napas kasar dan menimpali. "Kamu pikir aku sedang bercanda?""Tentu," sahut Hana cepat. "Bapak pikir akan ada yang percaya bahwa Bos Perusahaan besar jatuh cinta pada janda, seorang wanita yang sudah gagal dalam mempertahankan rumah tangganya, juga gagal menikah untuk yang kedua kalinya karena calon suaminya meninggal. Bapak pikir akan ada yang percaya itu?" Kedua mata Hana memanas. Inilah sebabnya dia menolak membuka diri pada teman-teman prianya. Hana masih trauma. Trauma ditinggalkan membuat Hana sulit untuk menerima orang-orang baru dalam hidupnya. "Kalau mendiang Kenan bisa mencintai kamu sampai dia meninggal, apa aku dilarang, Han?""Berhenti bercanda, Pak!" bentak Hana lantang. Kedua tangannya bergetar hebat mendengar Bima menyebut nama Kenan. "Tetap hidup dengan tidak mencintai saya. Cukup!""Han, kenapa ....""Bapak gak akan pernah tahu bagaimana traumanya saya di mas
***"Sudahlah, Pak, jangan bercanda ke arah sana terus. Saya ...."Hana menggantung ucapannya di udara sementara Bima mengangguk paham dan kembali menikmati hidangan di depannya."Jadi besok kamu gak bisa makan malam bersama Papa?""Saya sudah berjanji pada Anita untuk datang, Pak, bisakah acara makan malamnya ditunda minggu depan? Maaf," kata Hana sungkan. "Keterlaluan sekali saya menolak ajakan orang pertama di Perusahaan, tapi ... saya benar-benar sudah berjanji pada istri Kevin, Pak.""Oke, Hana. Aku paham," sahut Bima tenang. "Jangan khawatir, Papa juga pasti paham. Lagipula kita terlalu dadakan membuat acara."Hana berterima kasih dan kembali mengikuti gerakan Bima menghabiskan makanan di atas meja. Siasana puncak yang semakin lama semakin ramai membuat Hana dan Bima semakin enggan untuk beranjak. Dinginnya puncak tidak lantas membuat keduanya jengah menatap keindahan alam dari atas sambil menikmati minuman hangat. "Kita pulang?" Hana mengangguk setuju. "Sudah terlalu larut, s
***"Pak Bima?" Hana memekik di depan rumah ketika Bima keluar dari mobilnya yang berbeda lagi dari kemarin malam. "Kan saya sudah bilang kalau ....""Pak, Mak ... sudah siap?"Emak dan Bapak memandang Hana dengan tatapan bingung sementara Hana justru jauh lebih bingung lagi."Kalau sudah siap, ayo! Kita langsung ke Rumah Sakit atau ke rumah Kevin dulu?"Segaris senyum terbit di bibir Bapak dan Emak. Keduanya paham jika keberangkatan mereka kali ini adalah dengan diantar oleh Bima. Sementara Hana cemberut karena Bima datang tanpa memberi kabar."Kami naik Bus, Pak. Pak Bima bisa naik Bus?" tanya Hana tak acuh. "Kalau gak bisa, mending gak usah ikut!""Kamu gak lihat aku bawa mobil?" sahut Bima ketus. "Kalau kamu mau naik Bus, ya silahkan! Tapi Bapak sama Emak ikut aku.""Loh, situ siapa kok ngalah-ngalahin anak sendiri?" Hana berkacak pinggang. "Anaknya Emak sama Bapak itu saya, Pak. Kok Bapak yang ngatur sih?!""Kamu gak tau, ini ... calon mantu," kata Bima sembari memainkan kerah ba
***"Ma, dia bukan supir," kata Kevin membuat langkah kaki Bu Wira terhenti. "Hah, bukan? Lalu ...?" Bu Wira menatap bingung pada Kevin dan semua orang yang ada di ruang tamu."Ini Pak Bima, partner bisnisku," jelas Kevin. "Bos Hana."Sorot mata Bu Wira seketika meredup. Senyumnya langsung memudar ketika Kevin mengatakan jika Bima adalah Bos Hana yang baru. Sontak saja ingatannya beralih pada bagaimana dulu Kenan memperlakukan Hana. Sikapnya sama seperti sikap Bima pada Hana saat ini. "B-- Bos?"Suasana yang hangat seketika membeku. Semua orang di ruang tamu sontak saja saling pandang karena air muka Bu Wira yang berubah tidak ramah seperti semula. "Hana ... bekerja?"Hana paham. Sejak awal dia tidak mengatakan jika dia sudah bekerja di Perusahaan lain sementara Perusahaan Kenan pun bisa kapan saja menerimanya dengan pintu terbuka. Wanita cantik itu melangkah mendekat. Dia memeluk Bu Wira dan berkata. "Maaf, Ma.""Kamu bekerja, Nak?" tanya Bu Wira menyelidik. "Dimana?"Belum sempat
***"Mama habis nangis?" Hana duduk di samping Bu Wira dan bergelayut manja di lengan wanita yang dulu adalah pemilik pemasok sayuran terbesar. Siapa sangka, pertolongan Bu Wira kala itu adalah jalan bertemunya Hana dan Kenan. "Kenapa?"Bu Wira menggeleng. Dia membalas pelukan Hana dari samping dan berbisik. "Dia suka sama kamu ya?"Pipi Hana bersemu. Air muka wanita itu sudah menjelaskan bagaimana perasaannya di depan Bu Wira. Ada sedikit nyeri, namun Bu Wira lagi-lagi berusaha menguasai diri. Kenan dan Hana memang bukan jodoh. Hana berhak melanjutkan hidupnya sementara Kenan berhak melihat kebahagiaan Hana di alam sana. "Kalau Mama lihat, sepertinya lebih dari suka. Sikapnya seperti Kenan."Hana menoleh dengan cepat. "Mama juga merasakan itu?"Bu Wira mengangguk membenarkan. "Caranya mencuri hati kamu persis seperti cara Kenan waktu itu. Iya kan?"Hana bergeming. Lagi-lagi kesedihan merajai hatinya. "Tapi perasaan ini belum tumbuh, Ma. Aku ....""Tidak perlu terburu-buru, Hana. Mam
***"Kenapa buru-buru ngajakin balik, Han?" tanya Emak ketika mobil mereka mulai keluar dari pelataran rumah sakit. "Emak sama Bapak sudah bersiap bawa baju ganti. Eh, gak jadi menginap. Kenapa?""Canggung, Mak," jawab Hana lirih. "Lagian gak enak sama Pak Bima. Sudah diantarkan gratis, masa dia balik sendiri. Kasihan.""Perhatian sekali," puji Bima sambil tersenyum manis. "Terima kasih sudah memikirkan aku."Hana melengos. Bima selalu saja bisa membuat jantungnya berdebar hebat. "Saya hanya merasa tidak tau diri kalau membiarkan Pak Bima pulang sendirian. Setidaknya kalau pulang sama-sama kan saya jadi gak sungkan-sungkan amat."Emak dan Bapak manggut-manggut paham. "Ya sudah, setidaknya tadi sudah menjenguk. Bagaimana baiknya menurut kamu saja, Emak dan Bapak ngikut."Suasana di dalam mobil mulai hening. Emak dan Bapak tertidur sementara Hana bermain-main dengan ponselnya. "Besok makan malam bersama Papa, kamu siap, Han?"Hana meletakkan ponsel ke dalam tas. Dia menoleh sejenak la