"Maaf, Mbak. Apa wanita dengan rambut sepundak dan mantel hitam baru saja chek in di hotel ini?" Wisnu berdiri di depan meja resepsionis Hotel Melati, saat melihat mobil yang dikendarai Kamila berbelok ke sini. "Mohon maaf, kalau boleh tahu bapak siapanya, ya? Kami tidak bisa memberi tahu informasi lebih lanjut kalau memang tidak ada hubungan berarti," tutur sang resepsionis dengan ramah. "Saya suaminya, Mbak. Nama istri saya Kalina Fathira.""Saya periksa sebentar." Resepsionis tersebut terlihat mulai memeriksa layar komputer di hadapan. Beberapa saat kemudian dia mengangguk pelan setelah memeriksa kedua data diri yang diberikan, dan menemukan kecocokkan. "Kalau begitu silakan, Pak. Beliau ada di lantai 6 kamar nomor 120."Wisnu mengangguk, lalu buru-buru menuju kamar yang dituju. "Kal! Kalina! Tolong biarkan aku masuk. Kita bicara sebentar." Wisnu menggedor-gedor pintu kamar bernomor 120 itu. Namun, tetap tak ada sahutan dan respons dari dalam. "Kal, aku mohon. Maaf, atas segala
"Mendingan sekarang kamu pulang, keadaan di rumah mungkin sedang kacau, pastikan Indra dapat penanganan yang sesuai. Dia udah bener-bener kecanduan." Sembari merapatkan outer yang melapisi gaun tidurnya, Kamila melirik Wisnu yang duduk di sofa, sementara dia di sudut ranjang. Meskipun sesuatu yang tak terduga baru saja terjadi, beruntung Kamila sempat menarik diri hingga tidak ada hal lebih yang terjadi walaupun keduanya sama-sama tak bisa saling mengindari. "Tapi--""Tenang, aku bisa mengurus diri sendiri," potong Kamila, sebelum sempat Wisnu menyanggahnya. "Baiklah." Dengan berat hati Wisnu beranjak dan berjalan menghampiri, dia merunduk hendak mengecup puncak kepala Kamila, tapi perempuan itu lebih dulu menghindarinya. Akhirnya dia terpaksa pergi, meski ada yang masih tertinggal di sini. ***Beberapa pejalan kaki dan para pengendara roda empat maupun dua, menatap penasaran pada seorang wanita yang memanjat tangga menyobeki iklan yang dipasang pada papan reklame di pinggir jalan
"Indra harus direhab, Pa. Jangan kasih tahu dulu mama tentang ini. Kondisi beliau juga masih belum stabil soalnya."Wisnu dan Pak Indra tengah menatap Indra yang terbaring di ruang rawat akibat beberapa luka yang dia terima dari pelawanan Kamila yang membabi-buta. "Ya. Memang itu yang terbaik buat anak yang nggak berguna ini.""Pa ...." Wisnu mengingatkan. "Dari dulu dia cuma beban, beberapa kali papa ingin membuangnya, tapi mamamu selalu menghalangi.""Walau bagaimana pun Indra tetap darah daging papa.""Ya, itulah yang papa sayangkan. Seandainya dia bukan anak kandung papa, pasti sudah lama papa singkirkan," cetus Pak Dahlan sinis, sebelum pergi meninggalkan ruangan. Di sofa samping brankar Wisnu menghampiri Della yang masih menangis tersedu-sedu setelah tahu apa yang baru saja terjadi sepeninggal dia ke rumah orangtuanya."Di luar papa-mamamu udah nunggu," ujar Wisnu sembari, meletakkan tangan di salah satu pundak adik iparnya itu. Della menurunkan tangan yang semula menutupi w
Satu jam sebelumnya .... Mobil Range Rover biru mengkilat itu terparkir di pelataran kediaman Wijaya. Kalina keluar dari dalam dengan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. Menutupi betapa dingin dan kosong tatapan yang tersembunyi di baliknya. Ternyata rumah masih dalam keadaan sepi. Mungkin sebagian anggota keluarga masih ada yang bekerja atau menemani Indra di rumah sakit. Perempuan itu berjalan memasuki kediaman, di tengah jalan tiba-tiba dia berpapasan dengan Cici. "Nya ...?" Cici memicingkan mata, memastikan. Kalina menoleh, dia melepas kacamatanya, lalu tersenyum begitu tipis. "Ini saya."Mata Cici langsung melebar. "Nyonya udah kembali?""Ya, terima kasih atas kerjasamanya selama ini. Dokumen yang kamu kirim pada Kamila di Surabaya juga sudah sampai di tangannya hari itu. Boleh saya minta semua rekaman CCTV yang sudah kamu pasang di rumah ini?""Ah, iya. Ini, Nya." Cici merogoh saku seragamnya, lalu menyodorkan USB pada Kalina. "Di luar prediksi, kemarin rekaman P
"Wanita itu 100% bukan Kalina, sekarang aku yakin sepenuhnya. Yang jadi pertanyaan sekarang, siapa dia sebenarnya? Kenapa dia bisa melumpuhkan Indra dengan begitu mudahnya? Padahal aku tahu pasti Kalina yang asli tak bisa bela diri. Dia lemah, manusia patung tanpa ekspresi, bodoh, dan sangat menyedihkan!" Yayang mondar-mandir di ruang kerja milik Pak Dahlan saat lelaki paruh baya itu tengah terkulai lemas di atas kursi setelah mengurus segala keperluan sang istri yang baru saja dilarikan ke rumah sakit. Sekarang Bu Dahlia tengah ditemani Wisnu melewati masa-masa kritisnya. "Bisa kita bicarakan tentang hal itu nanti? Ibu mertuamu baru saja dilarikan ke rumah sakit. Kalau pun benar terbukti wanita itu bukan Kalina yang asli, kita bisa dengan mudah menjebloskannya ke penjara dengan tuduhan pencurian identitas dan pembohongan publik. Apa yang harus dikhawatirkan?!"Mendengar itu, sontak Yayang memutar tubuh menghadap Pak Dahlan dengan tatapan tajam. "Apa yang harus dikhawatirkan Anda bi
Satu jam sebelumnya .... Mobil Range Rover biru mengkilat itu terparkir di pelataran kediaman Wijaya. Kalina keluar dari dalam dengan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. Menutupi betapa dingin dan kosong tatapan yang tersembunyi di baliknya. Ternyata rumah masih dalam keadaan sepi. Mungkin sebagian anggota keluarga masih ada yang bekerja atau menemani Indra di rumah sakit. Perempuan itu berjalan memasuki kediaman, di tengah jalan tiba-tiba dia berpapasan dengan Cici. "Nya ...?" Cici memicingkan mata, memastikan. Kalina menoleh, dia melepas kacamatanya, lalu tersenyum begitu tipis. "Ini saya."Mata Cici langsung melebar. "Nyonya udah kembali?""Ya, terima kasih atas kerjasamanya selama ini. Dokumen yang kamu kirim pada Kamila di Surabaya juga sudah sampai di tangannya hari itu. Boleh saya minta semua rekaman CCTV yang sudah kamu pasang di rumah ini?""Ah, iya. Ini, Nya." Cici merogoh saku seragamnya, lalu menyodorkan USB pada Kalina. "Di luar prediksi, kemarin rekaman P
Bogor, Februari 2010Sebuah Vila mewah milik pribadi di bilangan Sentul, Bogor, menjadi saksi bisu pertemuan empat keluarga kaya yang menjalankan bebagai perusahaan terkemuka di tanah air. Pertemuan bisnis yang melibatkan anak-anak tertua dari keempat pengusaha tersebut sudah cukup menjelaskan tujuan mereka yang sebenarnya. Perjodohan antara sesama kaum elite mungkin sudah tak asing lagi di telinga, pernikahan yang terjalin atas dasar bisnis semata agar bisa mengikat mesra dua perusahaan yang sebelumnya tak pernah bekerja sama. Keegoisan orangtua dalam melebarkan sayap kekuasaan, menjadikan anak sendiri korban yang terpaksa menjalani pernikahan tanpa cinta. Mungkin tak semua demikian, tapi beberapa di antaranya memang tertekan menjalani kehidupan rumah tangga yang ditentukan orangtua.Tiga orang putri sulung keluarga konglomerat berkumpul di satu tempat yang sama bersama pewaris pertama PT. Wijaya Sejahtera. Wisnu Adiwijaya, Nama lelaki berusia dua puluh lima tahun yang tak asing di
Hari yang ditentukan Kalina akhirnya tiba, sebuah pertemuan dua keluarga diadakan di perumahan elite kediaman Hartono di bilangan Jakarta Barat. Pak Dahlan bersama sang istri datang menemani putra tertua mereka Wisnu Adiwijaya. Terlihat pula Pak Hari dan Bu Hilma yang menjamu bakal besan dan menantu mereka. Dari lantai dua Kalina turun menenteng sebuah map bersampul kuning. Berbeda dengan penampilan di pertemuan pertama, kali ini gadis itu terlihat begitu cantik dan anggun dengan dress dan make up tipis, rambut hitam legamnya terurai panjang. Selalu seperti itu sejak dulu. Dia duduk di samping Pak Hari, tepat berhadapan dengan Wisnu yang terpesona melihat penampilannya malam ini."Ini adalah berkas penjanjian pra nikah yang sudah saya buat. Dibawahnya sudah tertera materai yang harus ditanda-tangani kedua belah pihak yang menjalani. Jadi, saya harap apa pun yang tertulis di sini, orangtua sama sekali tak boleh menginterupsi."Semua orang terdiam, lalu berpandangan. Pak Dahlan dan Bu D