"Kamu yakin dengan ini, Mil?" Kalina menghampiri saudaranya yang baru saja menuruni tangga menuju lantai dasar. Dia terlihat sudah mengenakan celana joger cargo dan jaket jins crop dengan ransel sedang yang sudah bertengger di punggungnya. Kamila melangkahkan kaki di undakan tangga terakhir dan mengangguk mantap. Dia letakkan tangan di kedua sisi bahu Kalina"Yakin banget. Kamu nggak usah kuatir, Kal. Aku udah sehat dan fit, kok. Lagian udah lama nggak aktivitas di luar, kangen rutinitasku yang dulu." Senyum lebar yang dia tunjukkan sekejap menghilangkan keraguan pekat yang sempat menyelimuti diri Kalina. "Aku janji bakal bawa mereka ke hadapanmu," yakinnya dengan tangan terkepal. Kalina menggeleng, dia menurunkan kedua tangan Kamila dari bahu, lalu menggenggamnya, erat. "Bagiku, keselamatanmu masih yang paling utama. Tolong berjanji! Pulanglah dalam keadaan dan kondisi apa pun. Aku dan ayah akan menunggumu selalu."Kamila tersenyum hangat, lalu menarik saudara kembarnya dalam peluka
"Belum ada tiga jam sejak kepergian Kamila, tapi aku sudah begitu mengkhawatirkannya," aku Kalina saat dia dan Revan tengah menikmati sunset di bangku dekat kolam berenang. Ayahnya dan Bu Hilma juga sudah kembali ke Surabaya untuk melanjutkan kesibukan mereka. Vila yang beberapa waktu ditempati Kalina, Kamila, Revan, dan beberapa asisten rumah tangga ini terletak di daerah Puncak, Bogor dengan view yang luar biasa indah. Tempat ini sengaja dia jadikan hunian sementara, sejak merebaknya kasus Keluarga Wijaya yang didalanginya. Pemandangan yang asri, tempat yang luas dan nyaman menjadi hiburan tersendiri di tengah penatnya segala masalah yang datang bertubi akhir-akhir ini. "Percayalah Kamila akan baik-baik saja, Kal. Sebenarnya dia hebat dalam segala hal kecuali mengendalikan perasaan, kecerobohan, dan ingatan.""Ya, dia juga sangat pandai membuat orang lain yang ada di sekitar merasakan nyaman." Kalina menoleh ke arah Revan. "Benar, begitu?"Revan tertegun. Dia paham maksud Kalina.
"Pegangan, oi!" teriak Kamila saat mendapati Detektif Nizar hendak terjungkal, karena motor yang dikendari dengan ugal-ugalan melewati jalan setapak yang hanya muat untuk satu kendaraan roda dua. Wajah lelaki manis berumur akhir dua puluhan itu terlihat begitu tertekan setelah dibawa berputar-putar melewati kompleks, lalu masuk dari satu gang ke gang lainnya sampai Kamila benar-benar berhasil menyusul laju motor Feri yang berjalan cepat menuju daerah pesawahan yang baru saja dibajak manual menggunakan Kerbau. Meskipun sempat ragu, dan merasa kikuk. Terpaksa Detektif Nizar melingkarkan tangan di pinggang ramping Kamila, daripada menerima risiko terjungkal, tepelanting, dan terguling-guling dipematang sawah. "Udah punya istri atau anak?" teriak Kamila lagi saat motornya semakin mendekati kendaraan Feri. "Hah?" Detektif Nizar memastikan lagi. "Anak sama bini!" ulang Kamila dengan suara yang lebih keras. "Oh, belum.""Bagos. Berarti nggak akan ada yang khawatir meskipun lecet dan te
"Awalnya kita tiba-tiba diteror anak buahnya Pak Dahlan dan Yayang. Mereka ngirimin video saat ibu dan Nenek disekap di rumah sendiri. Kita juga nggak ngerti gimana bisa mereka dapat alamat rumah itu, padahal ibu ngasih alamat palsu saat dia diberhentikan sembilan tahun lalu. Jujur, gue emang sempet ragu saat tahu ternyata ibu yang terlibat dalam pelecehan saudara lo saat itu, tapi akhirnya gue mampu meyakinkan diri kalau apa yang udah diperbuat tetep harus dipertanggungjawabkan. Walaupun hubungan kita memang udah renggang sejak ibu memutuskan untuk menikah lagi dengan brondong mata duitan, setelah bapak meninggal, tapi mau bagaimana juga dia tetep ibu yang udah ngelahirin gue dan Cici. Apalagi saat itu posisinya ada nenek juga. Akhirnya di hari yang sama gue kasih semua bukti yang udah dikumpulin selama ini, berikut copy-an yang Kalina punya. Belum cukup dengan semua itu, di hari yang sama. Saat ibu sudah bersedia menjadi saksi dan mengakui semua kesalahannya, dia malah jadi korban
Empat bulan kemudian ...."Masih belum ada kabar dari Kamila, Van?" Kalina menatap lurus ke depan sembari mengelus perutnya yang sudah membesar. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, hari demi hari, pekan berganti bulan dinanti, tetapi saudara kembarnya tak kunjung pulang seperti janji tempo hari. Mereka kehilangan koneksi, komunikasi keduanya terputus sejak sebulan terakhir. Siang malam Kalina menunggu, menguatkan diri di antara ketakutan yang menggerogoti. Sebenarnya dia bisa saja memulai pencarian besar-besaran, tapi Kalina ingat pesan Kamila terakhir kali. Bahwa perempuan itu benar-benar akan kembali sendiri. Membawa serta bukti dan saksi, bersama tim yang sudah dibentuknya beberapa bulan ini. "Masih belum, Kal." Suara Revan terdengar rendah. Lelaki itu duduk di samping Kalina dan merangkul bahunya. Kalina menyandarkan kepalanya di bahu Revan. Perempuan itu meremas kedua tangan dan bergumam pelan. "Kalau tahu akan begini, mungkin saat itu aku tak akan mengizinkannya pergi. Ba
"Jadi, ini alasanmu menghubungi pers dan polisi?" pekik Revan dengan suara nyaris tertahan.Untuk pertama kalinya Kalina tersenyum lebar. "Ya. Aku bangga sekali pada Kamila."Ting! Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka. Mereka telah sampai di lantai yang dituju. Kalina menggandeng tangan Revan. Ada debar dan perasaan antusias yang tak tertahan. Akhirnya. Hari ini semua yang dia perjuangkan akan benar-benar terbayar. Langkah keduanya tiba-tiba terhenti tepat di depan pintu masuk ruangan."Mereka sudah tiba," ucap Kalina begitu saja. Revan yang langsung peka dengan maksud Kalina langsung berlari menuju tilas kaca yang melapisi beberapa ruangan di setiap lantai. Dari ketinggian dua puluh tiga gedung, mata awasnya masih bisa melihat sebuah mobil Van berhenti di pelataran perusahaan. Enam orang turun berurutan dari dalamnya. Mereka diketahui. Kamila, Detektif Nizar, Feri, Cici, dan dua tersangka utama yaitu Pak Dahlan dan Yayang. ***Bruk! Tubuh Pak Dahlan yang sudah babak belur d
Empat bulan sebelumnya ...."Papa minta maaf, Wisnu. Sebenarnya bukan niat kami untuk menumbalkanmu, ini hanya tentang kesalahanpahaman."Pak Dahlan menghampiri Wisnu yang sedang berkemas di apartemennya yang rencananya akan dijual. Lelaki itu terlihat sudah menurunkan beberapa foto pernikahannya bersama Kalina, dan sedang membersihkan debu pada sebuah bingkai foto yang menunjukkan seorang lelaki berseragam dan gadis penjual kue. Foto tersebut bisa diperkirakan diambil antara tujuh belas sampai delapan belas tahun lalu. Gambaran masa lampau yang amat berkesan baginya bahwa sampai sekarang. "Tak usah basa-basi, langsung bilang saja apa yang Papa mau?" cetus Wisnu tanpa mengalihkan pandangan dari bingkai berukuran sedang di pangkuan."Jadi, begini." Pak Dahlan langsung mengambil tempat di samping Wisnu. "Papa mau kamu tetep stay di sini! Walau bagaimana pun perusahaan, hanya satu-satunya aset kita yang tersisa. Papa yakin dengan kemampuan kamu, kamu bisa mengembalikan kejayaan PT. Wij
Kamila menatap punggung lebar lelaki yang duduk di teras depan. Nampaknya dia tengah bersiap untuk pulang. Akan tetapi, sesuatu seolah menahannya untuk tetap tinggal. Seandainya waktu bisa diputar, satu-satunya yang dia harapkan hanya kembali ke masa di mana dia dan Kamila masih begitu dekat di masa lampau, seandainya selepas menyelesaikan study dia mengikuti apa yang diinginkan dan menolak perjodohan yang ditetapkan orangtuanya, mungkin tak akan pernah ada korban, dan dia tak akan mungkin ada di titik sekarang. Gerakan seseorang yang duduk di sampingnya, menarik Wisnu dari lamunan. Dia menoleh pada perempuan yang kini memotong rambutnya lebih pendek daripada yang terlihat terakhir kali. Dadanya berdegup kencang, ada semacam perasaan sesak yang sulit digambarkan, ketika mengetahui takdir yang begitu kejam mengatur jalan bertentangan untuk dua insan yang mengharapkan sebuah penyatuan. "Aku nggak akan mengucapkan terima kasih atas apa yang sudah kamu lakukan, aku juga nggak akan mengu