Aku membantunya merapikan sprei tempat tidur dan menyusun pakaiannya dengan rapi di lemari kecil yang serupa dengan kami. Kamar ini dulunya dipakai oleh karyawan lama, yang sekarang sudah berhenti bekerja dan menikah.Di atas lemari yang tidak sampai setinggi diriku itu, aku menyusun sisir, parfum dan beberapa perlengkapan lain yang ada di kopernya. Kulihat dia masih berbaring sambil menutupi matanya dengan lengan. Dia kembali terlihat seperti menahan beban berat. "Sampai kapan Abang mau tinggal di sini?" tanyaku seraya mendorong koper kosong nya ke bawah tempat tidur."Sampai kamu siap," jawabnya sambil sesekali menarik napas. "Siap untuk apa?""Untuk ikut pulang" Aku menghela napas. "Chaca lebih suka tinggal di sini," jawabku berbohong. Dia mencoba bangkit dan duduk di sisi tempat tidur. Mengucek matanya yang terlihat lelah dan mengantuk. "Bagaimana kalau toko ini tiba-tiba saja bangkrut, lalu tutup? Atau tiba-tiba terjadi kebakaran atau....""Berhenti menakut-nakuti," umpatku
"Kamu kenapa,Cha?" Kurasakan Runi mengelus pundakku. Namun tangisku semakin pecah, tak mampu menjawab dan harus memulainya dari mana. Runi kemudian mencoba memelukku dan menepuk-nepuk punggungku. "Sudah, tidak apa-apa. Menangis saja. Aku tidak akan bertanya." Runi berusaha menenangkanku. Aku kembali terisak di pelukannya.Jadi, mereka semua sudah tau keberadaanku saat ini? Aira? Haikal? Bahkan teman-teman di SunCo? Aku tak dapat lagi membaca komentar mereka satu persatu yang terus menerus menanyakan bagaimana keadaanku.Sekhawatir itukah mereka? Seketika aku mulai menyadari, aku tak benar-benar sendiri. Ada mereka yang selalu menemani dan menguatkanku. Tak henti-hentinya air mata ini mengalir, hingga sesenggukan aku di dada Runi. .Keesokan paginya aku bekerja seperti biasa. Kamar Bang Malik masih tertutup rapat, kembali kubiarkan begitu saja. Mungkin kalau lapar dia akan keluar dengan sendirinya.Seperti biasa kami memulai aktivitas dengan bersih-bersih dan menghidupkan semua mesin
Apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Bang Malik juga tampak sangat antusias. Bang Malik memang pernah mengatakan, kalau kini dia tak lagi mengurus SunCo dan lebih memilih menjalankan usahanya sendiri. Usaha inikah yang dia katakan yang membuatnya tidak menggantungkan hidup sama Mama? Kenapa sampai saat ini kehidupan Bang Malik masih menjadi misteri buatku. Sekaya apa dia sampai-sampai sanggup meninggalkan perusahaan dan rumah Mama? "Ini, Pak, minumannya." Kulihat Kak Uli menyuguhkan dua teh botol yang di pesan dari toko depan. Pasti Pak Yaz yang menyuruh. Gadis berjilbab itu tampak malu melihat Malik yang sedang duduk di samping tempatnya berdiri. Plis, jangan berusaha menggodanya. Dia itu milikku. Tiba-tiba ada hawa panas yang bergejolak di dalam dada. Tak biasanya Kak Uli tersenyum dengan sembarangan pria. Apa Bang Malik sudah berhasil menggoyahkan imannya? Ayolah, Kak. Jangan tikung cintaku di sepertiga malam dengan doamu. Tiba-tiba aku merasa cemas, apakah nanti dia akan tet
Aku terkejut, kala melihat wajahnya yang kini tepat berada di depanku. Menatapku dengan sedikit senyuman penuh harapan. Seketika aku mundur dan bangkit dari sisi ranjang. Merasa malu dengan apa yang baru saja aku ungkapkan. Apakah aku terkesan agresif, atau.. murahan? Ish.. entah seperti apa wajahku kali ini. Mungkin sudah memerah dan terlihat memalukan. Aku mundur dan melangkah, bermaksud untuk pergi dan meninggalkannya. Namun dengan sigap tangan ini tertangkap dan ditarik lagi olehnya. "Mau kabur ke mana lagi, ha? Hayo, tanggung jawab. Barusan ngomong apa?""Eh? Emang Chaca ngomong apa?" Aku pura-pura bodoh, sambil mengalihkan pandangan ke sembarang arah. "Jadi, kita nikah?"Eh? Apa ini? Sebuah lamaran? Beginikah rasanya? Jantungku kembali berdegup tak menentu. Terdengarkah sampai ke telinganya? "Menikah? Kenapa secepat ini?" tanyaku gugup. "Karena Abang tidak ingin kehilangan kamu lagi.""Tapi... ""Tadi kamu bilang sudah siap, jangan lagi mengingkari janji," protesnya sebel
"Aira langsung menghubungi Abang setelah beberapa saat potomu terunggah. Dia histeris dan menyuruh Abang langsung menyusul dan membawamu kembali. Tidak peduli apa yang baru saja Abang kerjakan saat itu." Suaranya mulai terdengar serak. "Abang begitu terpukul melihat fotomu begitu bahagia berada di antara orang-orang asing itu. Merasa sakit, karena bukan bersama Abang kamu membagi kebahagiaan dengan wajah seceria itu. Sesakit itu rasanya tidak dianggap sama sekali." Dia terbungkuk sesenggukan.Aku bangkit dan berdiri di hadapannya. Memeluk dan berlutut agar dia segera menghentikan tangisannya. "Maafkan Chaca, Bang. Chaca bersalah....".Sudah beberapa hari ini Bang Malik tak lagi turun saat toko di buka. Aku sengaja melarangnya, agar tak lagi jadi pusat perhatian di kalangan para karyawan. Aku juga tidak rela kalau sampai dia terlihat akrab dan sering ngobrol sama mereka. "Maaf ya Kak Uli, Abang Chaca sebentar lagi akan menikah." Aku berterus terang sama Kak Uli yang kemarin sudah l
Tangannya mulai melonggar dan membalas genggaman tanganku. Wajah garang itu kini berangsur pulih dan mulai tenang. Aku kemudian mengusap rambutnya seperti anak kecil. Bagaimanapun, aku sudah mulai terbiasa dengan situasi seperti ini, bukankah semua ini juga karena aku? "Nanti Chaca akan bicara langsung sama Pak Yaz. Jadi dia tidak perlu repot-repot meminta ijin sama Abang." Aku kembali membujuknya. "Kemudian baru kita akan pulang."Malik terkejut mendengar penuturanku. Mungkin tidak akan terpikirkan olehnya bahwa secepat itu aku berubah pikiran. Tapi itu bukan hanya semata-mata karena masalah ini. Tidak sama sekali. Aku sudah memikirkannya semalaman. Memikirkan bahwa kehidupanku bukan di sini. Banyak orang yang merindukanku di sana. Orang-orang yang sebenarnya juga sangat kurindukan. Orang-orang yang benar-benar tidak pernah kulupakan sedetik pun dari ingatan. Aku benar-benar akan kembali, meski tanpa ada kejadian hari ini. "Abang tidak perlu lagi khawatir, Chaca akan ikut kemana
Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers
POV MALIK.Aku mengenang kala kejadian waktu itu. Tubuhku yang terbaring lemah di... mungkin rumah sakit. Kulihat ada tiang yang menggantungkan cairan yang terhubung langsung dengan urat nadiku.Aku mencoba bergerak, merasai wajahku yang kini terasa tebal dan kaku. Kurasakan seluruhnya terbalut perban dengan rasa sakit yang luar biasa. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Beberapa wanita berpakaian serba putih datang untuk memeriksa apa yang terjadi kepadaku. Tak lama seorang pria dewasa juga muncul, mungkin seorang dokter. Ya, samar kulihat dari pakaian putih bersihnya, dia seorang dokter. Hampir seminggu setelah aku terjaga, dokter membuka seluruh perban di wajahku. Disaksikan oleh sepasang suami istri dan anak lelaki mereka. Memandangku dengan cemas dan was-was. Apa aku ini terlihat seperti hewan buas bagi mereka? Sejenak kemudian, kulihat rasa lega di wajah mereka, seolah semua sedang baik-baik saja. "Siapa namamu, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut. "Hannan Maliki S