Riana terlentang menguasai kasur. Sejak menikah, David tak pernah masuk ke dalam kamar. Hanya sebatas pulang dan mengambil baju. Setelah itu, pergi lagi. Entah kemana. Riana tak tahu.Hal itu membuat Riana menyesal kenapa dirinya harus menangis saat disuruh David pindah kamar. Padahal, David tak pernah mendekatinya sama sekali. Mencolek pun tidak."Haaaah…. Mungkin aku yang berlebihan? Apa aku minta maaf aja ya?" pikir Riana menyesal.Ya, memang sih jika dipikir-pikir, dirinya diberi obat perangsang. Secara otomatis sudah menyusahkan David. Dia cukup beruntung karena David mau menikahinya."Nggak! Kenapa aku ngebela dia? Dia kan udah gituin aku," Riana menggelengkan kepala kuat-kuat. Saat ini logika dan hatinya sedang bertarung. Haruskah menerima keberadaan David sebagai suaminya dengan ikhlas atau tetap memusuhi David dalam diam."Ah! Susah amat sih?! Kayak ngerjain UN matematika aja!" Riana memukuli boneka unicorn miliknya. Bonekanya kini berjajar jadi tiga. Tambahan satu saat David
Tak hanya mencuci jari telunjuknya. Riana juga mencuci wajahnya. Walau saat ini tengah musim dingin. Dia merasa sangat gerah. Kedua tangannya bergerak-gerak mengipasi wajah.Butuh waktu agak lama baginya agar bisa kembali tenang. Namun, saat dia keluar kamar mandi, hatinya kembali berdebar. Semuanya karena David. Laki-laki galak itu sudah menungguinya di luar lalu meraih tangannya dan memasangkan plester luka di jarinya."Udah nggak sakit kan?" tanya David dengan tatapan serius."Iya. Kan cuma luka kecil juga," Riana menarik tangannya lalu berjalan kembali di meja.Riana berniat melanjutkan kembali makan kepitingnya. Namun, piring kepitingnya sudah tak ada."Kepitingku mana?""Makan yang lain dulu.""Tapi aku mau kepitingku," Riana menunjukkan muka memelas. Tapi memang dasarnya David itu keras. Dia tak menanggapi ucapan Riana. Sebaliknya, dia malah menaruh makanan lain di piring baru dan menyodorkannya ke Riana."Makan!" tegas David. Saking kagetnya Riana sampai cegukan.Riana pun mem
David bangun. Menatap Riana yang tubuhnya gemetaran. Dengan wajah menahan tangis, Riana menoleh dan menatap David. Meminta penjelasan."Kamu… kamu bohong sama aku?" air mata Riana jatuh seketika.David memilih diam. Tak menanggapi Riana. Membiarkan gadis itu melanjutkan tangisannya.Masih basah di ingatan David saat malam mereka di hotel. Ya, tadinya David memang sudah sangat frustasi. Sudah membopong Riana ke kasur dan bertekad untuk menuruti permintaan Riana yang masih dalam pengaruh obat.Namun, David teringat lagi ucapan Riana yang hanya ingin memberikan mahkota kesuciannya pada suaminya saja. Bukan yang lain. Sekuat tenaga David mencoba mengedepankan otaknya. Menghadapi semua godaan yang diberikan Riana padanya dan berbalik arah membopongnya ke kamar mandi.Tubuh Riana langsung dia letakkan ke kamar mandi. Shower mandi dia nyalakan dan arahkan pada Riana. Sekeras mungkin. Membuat Riana kehabisan napas dan tak sadarkan diri. Setelahnya David terduduk lemas di lantai. Dia masih me
Gia mencolek David yang masih duduk diam sambil meneguk red wine-nya. Tak peduli dengan David, Gia terus lanjut menyanyi sambil memainkan kecrekan yang disediakan oleh tempat karaoke."Nyanyi dong Vid!" Gia duduk di sebelahnya. David masih tak merespon."Udah pas nih lagunya sama kamu," Gia kembali memutarkan lagu lawas Dewa 19 yang berjudul Risalah Cinta itu."Diem banci!""Ya, salahmu sih pake sok-sokan bohongin orang. Kamu kira lagi main drama korea? Terus cewek yang kamu suka bisa klepek-klepek gitu? Ya nggak lah Beb! Ah!" Gia ikut mengomel menyalahkan David. Tak mau berdebat, David hanya mendiamkan Gia saja."Terus udah sembuh belum si Bebeb Riana? Duh, kalian pergi bulan madu kok malah gini sih jadinya. Traumatis!""Belum. Masih sakit dia. Makanya pulang.""Brengsek sih kamu Vid! Sakit hati sampe ke fisik tuh si Bebeb Riana!""Udahlah! Cerewet! Buruan ceritain laporan temenmu si Maru itu!""Iya deh," Gia meneguk birnya sebentar. “Beb, yang salah nembak si Manis itu orang Jepang
"Ini. Aku mau minta rujuk," Risa menyerahkan dokumen saat Jo mengunjunginya keesokan harinya. Ini adalah pertanda baik bagi Risa. Jarang sekali Jo mencarinya duluan."Apa kamu lakuin sesuatu ke Riana?" tanya Jo cemas. Terakhir kali Jo meninggalkan Riana sendirian di kamar itu. Dia khawatir Risa melakukan hal buruk pada Riana. Apalagi dia kesulitan menghubungi Riana setelah peristiwa itu terjadi."Jo! Kita lagi obrolin anak dan pernikahan kita! Jangan bahas perempuan itu lagi!" hardik Risa kasar. Rasa cemburu di hatinya meluap-luap. Dia sudah berusaha sejauh ini tapi Jo masih tak menunjukkan simpati sedikit pun padanya."Aku serius Risa! Kamu nggak ngapa-ngapain Riana kan?!" Jo meninggikan suaranya."Aku juga serius, Jo! Aku nggak mau anak ini lahir tanpa ayah!" Risa ikut-ikutan meninggikan suaranya."Oke. Kita rujuk. Kita nikah lagi. Anak itu bakal jadi tanggung jawabku," ujar Jo."Beneran?" raut wajah Risa langsung mengembang cerah. Secerah mentari di pagi hari."Ya. Tapi kamu harus
BRUK!"MAMA!" Rafa langsung berlari menghampiri Riana yang terjatuh di halaman sekolahnya."Aduh," telapak tangan Riana terasa panas karena jatuh di tanah."Nggak apa-apa kan?"Riana merasa tak asing dengan suara itu. Saat mendongak, ternyata ada Aldyn di dekatnya. Aldyn membantu Riana bangun. Sementara Rafa dan Jenny menunggu di dekat mereka."Makasih," ujar Riana."Ih! Mama kok nggak hati-hati sih? Nanti sakit lagi. Kapan Rafa bisa main sama Mama kalau Mama sering sakit-sakitan?" keluh Rafa."Mama cuma jatuh kok. Tenang aja," Riana membersihkan lututnya dan bajunya. Gara-gara masih kepikiran ucapan David, dia jadi tak bisa konsentrasi."Kemarin kena influenza ya? Kata Rafa kamu sampai nggak dibolehin ketemu siapa-siapa," tutur Aldyn."Iya. Kata dokter begitu. Kayaknya aku nggak cocok sama cuaca dingin di Jepang waktu liburan ke sana.""Liburan dengan siapa?""Sama Om! Tapi Rafa nggak diajak. Huh!" Rafa memasang muka manyun karena sering ditinggal.Aldyn mengacak-acak rambut kepala R
"Lhoh, ada Om Gia main ke sini!" teriak Rafa senang saat masuk ke dalam rumah. Bocah itu meloncat duduk di sisi Gia."No! No! No! Panggil Teh Gia. Bukan Om. Okay, darling?" Gia mencubit pipi Rafa."Kata Om David, Om Gia cowok. Panggilnya tetep Om Gia.""Hiiiih! Si David ini emang harus dipotong anu-nya deh. Bisa-bisanya ngajarin gitu si Rafa," omel Gia. Bibirnya manyun tak jelas.Riana menutup bibirnya dengan tangan kanannya. Berusaha menahan tawa. Matanya memilih menatap ke arah lain agar tak ketahuan Gia kalau dirinya sedang tertawa."Denger ya, Rafaku yang ganteng, berbudi luhur, sayang Mama, Papa, dan Teh Gia.""Sayang Om David juga," imbuh Rafa menyela Gia."Iye. Iye. Sayang semua orang di rumah ini dah. Cinta tanah air, rajin menabung, dan banyak makan.""Suka main kelereng juga," lanjut Rafa."Iya. Pokoknya Rafa yah. Kalau panggil urang jadi Teh Gia atau Tante Gia. Jangan panggil-panggil Om lagi.""Kenapa?""Tante cantik kan?""Cantik kan Mama.""Nanti nggak Om- eh Tante kasih
"Ini Bos data bulan ini," Jono menyetorkan data klien untuk bulan Februari."Udah dilunasi semua?""Yang di kolom merah masih belum Bos. Apa mau seperti biasa?""Iya. Kalau nggak lunas, ya sita aset. Nggak ada aset, bisa jual orangnya. Harga organ dalam juga makin mahal di pasar.""Siap, Bos," Jono mengundurkan diri.Sudah jadi rahasia perusahaan jika ada klien yang tidak bisa bayar harus membayar dengan tuntas. Entah dengan aset atau dijual tubuh dan organnya. Hal ini sudah jadi kesepakatan bersama secara turun temurun di keluarga Golden dalam mengembangkan perusahaan. Karenanya, keturunan keluarga Golden bisa bebas memilih pasangan mereka. Tak perlu mencari keturunan hebat dalam rangka berbisnis. Semuanya karena sistem bisnis keluarga Golden yang sudah mengakar kuat untuk menyedot kekayaan klien secara konsisten dengan jasa layanan yang selalu memuaskan.Namun, para penerus usaha utama keluarga Golden harus mengalami persaingan yang berdarah-darah. Saling menjatuhkan sampai melukai