Refleks David menggerakkan bibirnya memagut bibir Riana lebih dalam. Tangannya pun bergerak mendorong badan Riana hingga tubuh perempuan itu bersandar di jok mobil. Dengan lembut David melanjutkan lumatannya dan membuka perlahan bibir Riana yang mendesah karena desakan bibirnya yang memburu untuk saling bersatu padu."Mmmmh …." desah Riana tapi David masih melanjutkan perjalanannya untuk menyecap dan menikmati bibir Riana. David bisa merasakan beda kakunya lidah Riana saat lidahnya berusaha mengajak untuk saling bertaut dalam irama."Da…vid…." ujar Riana dengan napas naik turun saat David sudah benar-benar melepaskan bibirnya. Wajah Riana sangat merah karena ciuman yang memburu dan sangat intens barusan. Wajah kemerahan Riana sangat menggoda. Namun, David memutuskan untuk menyudahinya."Kamu yang mulai duluan tadi," ujar David sambil melepaskan pegangannya dari bahu Riana.Jantung Riana masih berdetak tak karuan. Wajahnya begitu memanas. Masih terasa hembusan hangat napas David di sel
Tangan Riana gemetar hingga ponselnya jatuh. Untung Jo dengan sigap menangkapnya."Ada apa Riana?" Jo menatap bingung Riana."Antar aku balik Jo. Sekarang," pinta Riana."Tapi masih hujan gini? Tunggu sebentar lagi ya? Sampai gerimisnya reda. Habis itu kita lari ke mobil buat pulang," saran Jo.Riana terduduk lemas. Tak mengomentari ucapan Jo. Melihat Riana seperti itu mengingatkannya saat dirinya memutuskan rencana pertunangan mereka empat tahun lalu. Ekspresi yang sama. Badan gemetar dan tatapan kosong.Apa yang sedang terjadi Riana? tanya batin Jo sendu. Jo berharap ini tidak berhubungan David. Aku nggak bisa biarin Riana suka dengan orang itu, tekad Jo.Riana sendiri masih berusaha menenangkan diri. Berusaha tak percaya dengan apa yang didengarnya. Bagaimana mungkin orang seperti David akhirnya berakhir dalam sebuah kecelakaan pesawat? Haruskah dirinya bahagia? Karena artinya hutang ayahnya tak perlu dia lunasi?Nggak! Jangan mati David! Aku belum bayar semua hutangku! Rafa nanti
Riana langsung berlari memeluk David yang sedang menikmati pemandangan salju turun di balik kaca bening beranda resto hotel. Hatinya sangat lega melihat David ada di hadapannya."David! Kamu masih hidup rupanya! Syukurlah," Riana memeluk erat David."Hei Kamu apa-apaan sih?" David kaget Riana akan bersikap seperti ini padanya. Awalnya dia mengira Riana akan senang saat tahu dirinya mati dalam kecelakaan pesawat. Nyatanya, gadis itu malah memeluk tubuhnya dengan pandangan berkaca-kaca penuh kelegaan."Aku belum bayar hutangku ke kamu David! Jangan mati! Rafa nanti gimana?" tangis Riana pun pecah. Dirinya sudah tak sanggup pura-pura tegar lagi.David perlahan mengusap-usap kepala Riana. "Aku masih hidup kok. Udah. Buruan berhenti nangis," tutur David lembut.Riana tersadar akan sikapnya. Segera Riana melepaskan pelukannya lalu menghapus air mata yang masih tersisa di pelupuk matanya. David menuntun Riana agar duduk di kursi yang sudah dipesan. Dia juga menyodorkan tisu agar Riana bisa m
"Da-david….," panggil Riana tergagap. Hatinya berdebar-debar tak karuan."Apa?""Kita beneran sekamar?""Iya. Ada dua kasur. Kamu pilih aja yang kamu suka," David melepaskan jaketnya lalu meletakkannya di gantungan baju.Riana langsung berlari mengecek kebenaran ucapan David. Hatinya lega karena ucapan David benar."Tapi kenapa ada dua kasur? Malam sebelumnya kamur tidur sama siapa?," Ekor mata Riana terus mengikuti kemana arah David pergi."Gia," jawab David singkat. Laki-laki itu tampak mengambil bathrobe dan handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi.Sambil melepas jaket, Riana memandangi kamar yang disewa David. Sangat luas memang. Ada mini pantry buat masak juga. Sesaat mata Riana sangat mengantuk. Mulutnya pun sudah menguap lebar. Perlahan dia pun merebahkan diri di kasur dan terlelap.David yang baru selesai mandi, mendengus melihat Riana yang sudah mendengkur di kasur. "Dia nggak mau cuci muka dulu apa? Mana nggak pake selimut lagi? Kepalanya juga nggak dibantalin," omel David s
Triiiiing.... Triiiiing.... Triiiiing....Riana tergagap kaget. Hampir saja dia melempar hapenya sendiri. Nada dering cempreng hapenya membuatnya kaget."Halo, Bu?" Riana langsung mengangkat telepon dari ibunya."Riana, kamu kapan balik dari Jepang?""Kenapa Bu?""Itu kemarin ditanyain Dokter Jo.""Hah? Jo? Ngapain? Kok tau rumah?""Taulah. Kan dia temenmu. Dia main seharian kemarin. Masakin Ibu sama bantu bersih-bersih rumah. Seneng banget rasanya. Kayak udah punya mantu," cerita ibu Riana penuh kebahagiaan."Bu, lain kali kalau dia ke rumah, suruh pulang aja kalau nggak ada Riana. Ya?""Nggak ah. Dia kan rajin. Enak diajak ngobrol juga. Nggak ada kamu juga tetep Ibu suruh masuk ke rumah.""IBU!" Riana jadi kesal sendiri dengan ibunya."Ibu suka dia Riana. Nggak masalah kalau kamu terima dia," tutur ibu Riana."Nanti deh Bu dibicarain lagi. Dah Bu," Riana menutup teleponnya. Bisa-bisanya Jo bergerak secepat ini mendekati ibunya. Padahal, dulu Jo anteng-anteng aja. Tak pernah ribut me
CTAK!"ADUH!" Riana langsung memegang dahinya yang kesakitan karena jentikan jari David. Tak berhenti sampai di situ, David menarik pipi kirinya."David! Hentiin!" Riana memukul-mukul tangan David."Makanya pake sarung tangan kalau keluar," beritahu David sambil melepaskan cubitannya. Sebenarnya dia cukup gemas dan ingin mengecup bibir Riana. Tapi dia berusaha menahannya dan hasilnya malah mengganggu gadis itu."Iya! Iya! Nanti aku beli.""Bagus," David terdiam sesaat. “Mau main ski? Dekat sini ada arenanya dan nggak mahal.""Mau!" teriak Riana antusias setelah mendengar embel-embel frasa "nggak mahal".David pun mengajak Riana menuju resort ski Fujiten yang memang terkenal di area sekitaran Danau Kawaguchiko. Di sana, mereka bisa bermain ski sepuasnya."Kalau nggak bisa, kamu main di kids playground aja," celetuk David membuat Riana sedikit dongkol. Resort Ski Fujiten ini memang menyediakan area Kids Playground untuk pengunjung yang hanya ingin mainan salju saja."Kamu kan bisa ajari
BANG!Riana langsung menarik David sehingga posisi mereka berputar balik. Peluru yang harusnya mengenai punggung kiri David kini bersemayam dalam lengan kanan Riana."Argh!" erang Riana kesakitan. Lengannya terasa sangat panas seperti ditusuk-tusuk. Darah mengucur dari lukanya.David tak sempat melihat si penembak. Dia pun tak ingin mengejarnya. Sekarang Rianalah prioritasnya. David langsung mengikat luka Riana dengan handuk dan membawanya menuju ke rumah sakit.Tangan David gemetaran. Dia menunggu dokter mengobati luka Riana. Rasa kesal dan marah berkecamuk dalam dada David.Tak berapa lama dokter sudah selesai mengobati Riana. David segera masuk ke dalam kamar. Tampak Riana sedang tiduran di sana."David, kamu udah tangkap penjahatnya?" tanya Riana masih dalam posisi berbaring. Riana merasa tangan kanannya masih kebas karena bius lokal yang diberikan oleh David padanya."Bodoh kamu! Apa pentingnya penjahat itu?!""Memang penting kan? Dia mengincarmu. Pasti ada orang yang jahatin kam
"Bantu aku dulu! Ini sakit! Tolong obatin?" rengek Riana mendistraksi Jo dan ibunya."Bentar. Bentar. Ibu ambilin kotak P3K," secepat kilat ibu Riana mengambilkan obat. Jo juga ikut keluar untuk mengambil tas kerjanya di ruang tamu. Dia ingat menyimpan perban dan alkohol luka di sana.Riana menunggu di kamar sambil menahan perih. Otaknya berputar. Memikirkan alasan lain untuk mengelabui ibunya. Jangan sampai ibunya tahu dia habis kena tembak waktu di Jepang.Jo dan ibu Riana masuk lagi ke kamar dalam waktu yang hampir bersamaan. Jo yang menangani luka Riana. Sementara ibunya menemani di samping dengan wajah khawatir."Bu, ada bau gosong," celetuk Riana."Aduh! Ibu lupa! Ya udah. Ibu ke dapur lagi. Nak Jo, titip Riana ya," ibu Riana melesat lagi keluar. Kali ini ke dapur agar masakannya tak jadi arang.Riana tertawa. Ibunya terlalu khawatir padanya sampai lupa sama masakan."Dasar Ibu," gumam Riana seorang diri."Dia khawatir padamu, Riana.""Tau kok. Kamu ngapain di sini?""Obatin kam