"Hmm...." Riana mengerjap-ngerjapkan matanya. Kepala terasa sangat pusing. Sakit. Seperti orang salah tidur.Perlahan dia terbangun. Matanya menyala liar tatkala melihat sebuah tangan besar dan atletis ada di atas dadanya. Merangkul tubuhnya yang tengah tidur telentang.Apa ini?!Riana langsung bangun. Menyingkirkan kuat-kuat tangan itu dari atas tubuhnya. Srek! Riana langsung memeriksa tubuhnya. Badannya tertutup gaun tidur. Perlahan dia mengintip bagian dalam gaun tidurnya. Matanya kembali membelalak saat tak tahu dirinya tak memakai baju dalam apapun!Marah. Riana langsung mengambil selimut yang menutupi tubuh si pemilik tangan itu. Kaki Riana langsung menendangnya kuat-kuat hingga orang itu jatuh terguling."AOW!" lengking orang itu kesakitan di atas karpet."KURANG AJAR KAMU, DAVID!" teriak Riana penuh emosi. Matanya sudah berlinang air mata. Tak mampu menahan rasa marah dan kecewa yang membeludak dalam hatinya. Tak berapa lama, tangisnya pun meledak. Tak terima dengan apa yang t
David terperanjat kaget melihat Riana ada di depan pintunya. Sementara itu, perempuan yang ada di atas pangkuannya tetap duduk santai. Seolah tak terjadi apa-apa.Tergesa-gesa Riana mengambil kembali kotak makanannya yang menggelinding ke dalam ruangan. "Ma-maaf," pinta Riana sambil menundukkan badan lalu berbalik bergegas keluar ruangan."Nona, tak usah buru-buru. Kemarilah," panggil si perempuan itu.Perlahan Riana mematung. Tak bisa berkutik. Seluruh tubuhnya menjadi kaku."Iya. Duduk saja," beritahu David.Ucapan David pastinya adalah perintah absolut yang harus ditepati. Sambil berdoa dalam hati, Riana berbalik kembali menghadap David. Pandangannya masih menunduk. Hanya sekali saja Riana berani mengintip. Itupun ketika si perempuan seksi itu berbisik di telinga David. Entah apa yang dibisikkannya."Duduk kataku!" hardik David."I-iya. Iya," dengan langkah robot Riana berjalan dan duduk di hadapan David. Si perempuan itu tersenyum menatap Riana."Namamu siapa?" tanya si perempuan
"Risa! Apa-apaan ini semua? Sejak kapan kamu memasangnya?" selidik Jo saat Risa baru saja duduk di hadapannya."Jo, bukankah kamu terlalu tidak sopan padaku? Harusnya kamu menanyaiku ingin minum apa kan? Aku jadi kecewa. Padahal susah payah kuluangkan waktuku untuk berkunjung ke apartemenmu," Risa menyilangkan kaki kanannya lalu menyalakan rokok mint kesukaannya.Tangan Jo bergerak menyambar rokok yang baru akan dinyalakannya. Diremasnya rokok itu sebelum dibuang di tempat sampah."Haaah!" keluh Risa."Jangan merokok di tempatku. Ini apartemenku. Bukan apartemenmu," lanjut Jo sambil mengambilkan segelas jus jeruk untuk Risa."Minum," Jo meletakkan gelas jus itu di atas meja lalu duduk di seberang Risa."Kamu kolot sekali Jo. Apa salahnya sih merokok?" keluh Risa."Paru-parumu bisa rusak. Kamu juga bisa susah hamil.""Kalau kamu mau menghamiliku, aku akan berhenti. Gimana?" Risa bangkit dari duduknya lalu melangkah duduk di pangkuan Jo. “Kita bisa mulai lagi Jo. Masih ada waktu buat ru
Refleks David menggerakkan bibirnya memagut bibir Riana lebih dalam. Tangannya pun bergerak mendorong badan Riana hingga tubuh perempuan itu bersandar di jok mobil. Dengan lembut David melanjutkan lumatannya dan membuka perlahan bibir Riana yang mendesah karena desakan bibirnya yang memburu untuk saling bersatu padu."Mmmmh …." desah Riana tapi David masih melanjutkan perjalanannya untuk menyecap dan menikmati bibir Riana. David bisa merasakan beda kakunya lidah Riana saat lidahnya berusaha mengajak untuk saling bertaut dalam irama."Da…vid…." ujar Riana dengan napas naik turun saat David sudah benar-benar melepaskan bibirnya. Wajah Riana sangat merah karena ciuman yang memburu dan sangat intens barusan. Wajah kemerahan Riana sangat menggoda. Namun, David memutuskan untuk menyudahinya."Kamu yang mulai duluan tadi," ujar David sambil melepaskan pegangannya dari bahu Riana.Jantung Riana masih berdetak tak karuan. Wajahnya begitu memanas. Masih terasa hembusan hangat napas David di sel
Tangan Riana gemetar hingga ponselnya jatuh. Untung Jo dengan sigap menangkapnya."Ada apa Riana?" Jo menatap bingung Riana."Antar aku balik Jo. Sekarang," pinta Riana."Tapi masih hujan gini? Tunggu sebentar lagi ya? Sampai gerimisnya reda. Habis itu kita lari ke mobil buat pulang," saran Jo.Riana terduduk lemas. Tak mengomentari ucapan Jo. Melihat Riana seperti itu mengingatkannya saat dirinya memutuskan rencana pertunangan mereka empat tahun lalu. Ekspresi yang sama. Badan gemetar dan tatapan kosong.Apa yang sedang terjadi Riana? tanya batin Jo sendu. Jo berharap ini tidak berhubungan David. Aku nggak bisa biarin Riana suka dengan orang itu, tekad Jo.Riana sendiri masih berusaha menenangkan diri. Berusaha tak percaya dengan apa yang didengarnya. Bagaimana mungkin orang seperti David akhirnya berakhir dalam sebuah kecelakaan pesawat? Haruskah dirinya bahagia? Karena artinya hutang ayahnya tak perlu dia lunasi?Nggak! Jangan mati David! Aku belum bayar semua hutangku! Rafa nanti
Riana langsung berlari memeluk David yang sedang menikmati pemandangan salju turun di balik kaca bening beranda resto hotel. Hatinya sangat lega melihat David ada di hadapannya."David! Kamu masih hidup rupanya! Syukurlah," Riana memeluk erat David."Hei Kamu apa-apaan sih?" David kaget Riana akan bersikap seperti ini padanya. Awalnya dia mengira Riana akan senang saat tahu dirinya mati dalam kecelakaan pesawat. Nyatanya, gadis itu malah memeluk tubuhnya dengan pandangan berkaca-kaca penuh kelegaan."Aku belum bayar hutangku ke kamu David! Jangan mati! Rafa nanti gimana?" tangis Riana pun pecah. Dirinya sudah tak sanggup pura-pura tegar lagi.David perlahan mengusap-usap kepala Riana. "Aku masih hidup kok. Udah. Buruan berhenti nangis," tutur David lembut.Riana tersadar akan sikapnya. Segera Riana melepaskan pelukannya lalu menghapus air mata yang masih tersisa di pelupuk matanya. David menuntun Riana agar duduk di kursi yang sudah dipesan. Dia juga menyodorkan tisu agar Riana bisa m
"Da-david….," panggil Riana tergagap. Hatinya berdebar-debar tak karuan."Apa?""Kita beneran sekamar?""Iya. Ada dua kasur. Kamu pilih aja yang kamu suka," David melepaskan jaketnya lalu meletakkannya di gantungan baju.Riana langsung berlari mengecek kebenaran ucapan David. Hatinya lega karena ucapan David benar."Tapi kenapa ada dua kasur? Malam sebelumnya kamur tidur sama siapa?," Ekor mata Riana terus mengikuti kemana arah David pergi."Gia," jawab David singkat. Laki-laki itu tampak mengambil bathrobe dan handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi.Sambil melepas jaket, Riana memandangi kamar yang disewa David. Sangat luas memang. Ada mini pantry buat masak juga. Sesaat mata Riana sangat mengantuk. Mulutnya pun sudah menguap lebar. Perlahan dia pun merebahkan diri di kasur dan terlelap.David yang baru selesai mandi, mendengus melihat Riana yang sudah mendengkur di kasur. "Dia nggak mau cuci muka dulu apa? Mana nggak pake selimut lagi? Kepalanya juga nggak dibantalin," omel David s
Triiiiing.... Triiiiing.... Triiiiing....Riana tergagap kaget. Hampir saja dia melempar hapenya sendiri. Nada dering cempreng hapenya membuatnya kaget."Halo, Bu?" Riana langsung mengangkat telepon dari ibunya."Riana, kamu kapan balik dari Jepang?""Kenapa Bu?""Itu kemarin ditanyain Dokter Jo.""Hah? Jo? Ngapain? Kok tau rumah?""Taulah. Kan dia temenmu. Dia main seharian kemarin. Masakin Ibu sama bantu bersih-bersih rumah. Seneng banget rasanya. Kayak udah punya mantu," cerita ibu Riana penuh kebahagiaan."Bu, lain kali kalau dia ke rumah, suruh pulang aja kalau nggak ada Riana. Ya?""Nggak ah. Dia kan rajin. Enak diajak ngobrol juga. Nggak ada kamu juga tetep Ibu suruh masuk ke rumah.""IBU!" Riana jadi kesal sendiri dengan ibunya."Ibu suka dia Riana. Nggak masalah kalau kamu terima dia," tutur ibu Riana."Nanti deh Bu dibicarain lagi. Dah Bu," Riana menutup teleponnya. Bisa-bisanya Jo bergerak secepat ini mendekati ibunya. Padahal, dulu Jo anteng-anteng aja. Tak pernah ribut me