Aya menatap Eric penuh tanda tanya. Gadis itu tidak mengerti maksud dan tujuan Eric mengatakan hal itu. Keningnya berkerut memperhatikan wajah Eric yang ekspresinya susah dijelaskan.“Menikah. Kita menikah,” ulang Eric menunjuk ke arah Aya dan dirinya bergantian.“Pak Eric, tolong jangan yang aneh-aneh. Bukan karena kita satu kamar dan satu tempat tidur, lalu Bapak seenaknya bicara kaya gitu. Saya gak mungkin nikah sama Pak Eric,” ucap Aya berapi-api.“Jangan terlalu cepat mengambil keputusan Aya. Aku siap menunggu sampai kamu bilang iya untuk ajakan aku tadi,” sahut Eric tersenyum.Aya menggelengkan kepala cepat. “Saya gak bakal bilang iya, Pak. Sudah pernah saya bilang kalau saya bukan istri Bapak. Jadi, stop memperlakukan saya seperti mendiang istri Bapak.”Eric terdiam sejenak menghela nafasnya. Ia lalu meraih tangan Aya dan mengelus lembut punggung tangan gadis itu. Tak ingin terbuai, Aya menarik paksa tangannya.“Aku tahu kalian orang yang berbeda,” kata Eric pelan. Hanya sekali
Mengirimkan surat ketidakhadirannya, hari ini Aya izin untuk tidak masuk kantor dengan alasan sakit. Sebenarnya ia malas bertemu Eric ditambah lagi badannya masih pegal. Pukul setengah delapan ia masih uring-uringan di kamar, padahal perutnya sudah mulai keroncongan. Teringat banyaknya pakaian kotor yang belum dicuci, Aya terpaksa bangun dari tidurnya. Sebelumnya ia sudah memesan nasi uduk untuk sarapan paginya kali ini.Gadis itu berjalan ke ruang depan dan membuka jendela. Ia lalu beranjak ke belakang dan menyalakan mesin cuci.“Banyak banget ini uangnya,” kata Aya kaget saat merogoh kantong celana Eric dan menemukan tujuh lembar uang berwarna merah yang terlipat. Merogoh kantong celana yang lain, Aya menemukan kertas. Perlahan ia membuka kertas putih yang terlipat itu dan menemukan namanya tertulis di sana.“Eric, Fayra, Farah,” ucap Aya membaca tiga nama yang tertulis di kertas itu, “pake gambar ini lagi,” lanjut Aya melihat gambar betul hati di ujung kertas. Menyimpan uang dan ke
“Mama pulang besok ya, Ric,” kata Ajeng sambil membelai rambut Farah yang mulai mengantuk dipangkuannya. Tadinya gadis kecil itu mengantuk, tapi tiba-tiba ia bangun dan duduk di samping Ajeng, membuat kaget mereka yang ada di ruang tengah.“Kok bangun lagi? Tadi bukanya ngantuk,” kata Ajeng heran.“Pa, satu minggu ini Farah libur. Farah ikut sama Oma ya,” ucap Farah seketika membuat Eric mengerutkan kening.“Boleh aja, sih,” sahut Eric ragu.“Memangnya Farah nanti gak kangen sama Tante Aya?” tanya Ajeng sengaja. Ia ingin melihat reaksi Eric saat mendengar jawaban Farah.“Kangen, tapi nanti kan bisa video call Tante Aya lewat Papa. Nanti Farah juga bawa oleh-oleh biar Tante Aya senang,” kata Farah menatap Eric dan Farah bergantian.Hitung-hitung Farah bisa liburan sebentar bersama Ajeng dan Tari. Eric lantas mengiyakan permintaan gadis kecilnya itu dan langsung memesan tiket untuk pener besok siang.Sekolah Farah selama seminggu ke depan memang diliburkan karena semua guru di sekolahn
Eric langsung menarik tangan Aya kala wanita itu mulai berjalan menjauhinya. Jalan keluar yang seharusnya tinggal lurus saja, tapi langkah kaki Aya malah menuju menuju ke sebelah kiri tempat orang biasa memesan taksi bandara."Kamu mau kemana?" tanya Eric."Saya pulang naik taksi aja ya, Pak." Aya menatap Eric dengan tangan yang masih disandera oleh pria itu.Eric mengerutkan keningnya. Ia lantas melepaskan tangan Aya kala ponsel milik gadis itu berdering. Berjalan beberapa langkah menjauhi Eric, ia mengangkat telepon yang ternyata dari Via."Kenapa kamu nyari Pak Eric ke aku?" protes Aya saat Via bertanya dimana Eric berada."Yang terakhir ketemu Pak Eric kan kamu, tadi kan kamu ke ruangan Pak Eric. Aku telepon dari tadi gak diangkat, di chat juga gak dibaca," ucap Via."Gak tahu, emang kenapa?" tanya Aya.Via kemudian menjelaskan perihal ia mencari Eric karena ingin menanyakan pertemuan dengan klien hari ini jadi atau dibatalkan saja."Ya kamu batalin aja lah, wong Pak Eric juga gak
Santai sehabis makan malam, Aya duduk di sofa ruang tamu sambil melihat foto-foto kegiatan outbond kemarin. Tidak berselang lama sebuah pesan dari Wisnu masuk. Keningnya berkerut melihat folder foto yang Wisnu kirimkan.“Astaga, Wisnu!” pekik Aya tidak percaya. Matanya melotot melihat satu per satu foto yang tersaji di layar ponselnya. Apalagi kalau bukan foto ia bersama dengan Eric yang diambil tanpa sepengetahuan dirinya. Begitu serius ia melihat foto-foto itu, hingga ia berjalan membuka pintu sambil terus menatap layar ponselnya, saat ada yang mengetuk pintu dari luar.“Siapa?” tanya Aya tak melihat ke arah depan tapi malah fokus ke layar ponselnya.“Eh. Lo kok, Pak Eric? Aduh, itu balikin ponselnya saya, Pak.” Aya syok lantas menguber Eric yang membawa ponselnya masuk dan duduk di ruang tamu.Pria itu memasang senyum sambil mengusap layar ponsel Aya, selang beberapa menit kemudian Eric mengembalikan ponsel milik Aya.“Jadi kamu suka?”“Suka apanya, Pak? Ini juga mau dihapus,” ucap
“Anda siapa? Kenapa anda bisa masuk ke kamar saya?!” Kening gadis itu tampak berkerut saat melihat seorang pria berdiri di depan kamar hotelnya dan menerobos masuk ke dalam. Tidak seperti orang normal pada biasanya, pria itu tampak sempoyongan dengan tatapan mata yang sayu. Dengan langkah gontai ia mendorong tubuh gadis itu masuk ke dalam kamar. Gadis yang memiliki sapaan akrab Aya itu, hari ini memang sedang menggunakan voucher menginap gratis di sebuah hotel. Aya mulai gugup, tapi ia juga tidak bisa mengelak saat pria itu tahu-tahu telah menimpa dirinya. Cukup berat, sehingga Aya kesusahan untuk bergerak. “T-tunggu! T-tuan, anda siapa? Ini salah!” Sekuat tenaga Aya berteriak tepat di telinga pria itu, berharap pria itu bisa segera sadar. Dengan suasana kamar yang minim penerangan Aya sama sekali tidak jelas melihat wajah pria itu. “Fania, ini aku,” ucap pria itu setengah sadar dengan mata menatap Aya yang berada tepat di bawahnya. Senyum mengembang di bibir pria itu. Reflek Aya
Hari ini Aya resmi pindah ke cabang utama. Badannya masih terasa lelah akibat perjalanan darat yang cukup lama, tapi ia tidak mungkin untuk izin karena ini adalah hari pertamanya bekerja.Selesai memarkirkan motornya, ia bersiap untuk masuk.“Semoga hari ini baik-baik saja,” doa Aya dalam hati.Baru saja hendak melangkah masuk ke dalam kantor, ia bertemu tatap dengan seorang pria yang sedari tadi berdiri di depan pintu masuk. Pria itu menatap Aya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan seksama. Awalnya Aya berniat untuk menyapa, tapi karena ekspresi wajah pria itu sangat dingin, niat itu Aya urungkan.Dengan kepala sedikit menunduk, gadis itu melangkah masuk.Agenda rutin pagi ini adalah pengarahan dari manajemen. Kegiatan yang cukup membosankan tapi harus tetap dilakukan. Sepanjang pengarahan berlangsung, Aya terus menatap ke arah layar besar yang menyajikan data kinerja kantor cabangnya. “Ada yang ingin disampaikan, Pak Eric?” tanya moderator untuk yang kedua kalinya.Tanpa koma
Aya berbalik dan mengerutkan kening menatap Farah. Ia heran mengapa anak perempuan itu memanggilnya dengan sebutan mama. Aya kemudian memutar kepalanya ke kiri dan kanan, melihat ke sekelilingnya. Sejauh yang ia lihat tidak ada orang selain mereka di tempat itu.. Sudah pasti telinganyatidak salah dengar dengan apa yang anak kecil itu ucapkan. Ucapan yang tertuju untuknya.“Maaf, Mbak. Saya Ajeng, Omanya Farah,” ucap Ajeng memperkenalkan diri sambil menghampiri mereka berdua.Aya tersenyum menatap Ajeng sambil menyebutkan namanya.“Ayo sama Oma ya,” bujuk Ajeng mencoba melepaskan tangan Farah yang erat menggenggam tangan Aya.“Sudah. Gak apa-apa, Bu,” ucap Aya tidak tega melihat Farah yang tampak manyun.“Ini Mama kan, Oma?” Pertanyaan Farah membuat Aya dan Ajeng saling berpandangan bingung. Terlebih Aya.Tidak ingin membuat Farah menangis di tempat umum, Ajeng kemudian meminta tolong pada Aya untuk mengajak Farah ke toko mainan. Tentunya ia tetap mengikuti di belakang sambil menghubun