“Astaga mama, aku kira masalahnya besar,” Daza merasa keheranan sampai hanya bisa memijak batang hidungnya tersebut.“Apa katamu? Kamu kira ini masalah kecil?!” mama memekik memarahinya.“Ma. Isi dari ruangan itu hak dan milikku, jadi aku bebas mau kuapakan barang-barang di dalam sana. Memang apa hubungannya Lavendra dengan ruangan itu? Dia juga baru tahu, kan?” Daza menjelaskan dari sudut pandangnya.Mama memukul lengan Daza yang menganggap enteng apa yang barusan dikatakannya. Seorang pria yang dikira mengerti bagaimana perasaan wanita ternyata tidak ada bedanya sama sekali. Bahkan dia lebih buruk daripada apa pun.“Bodoh! Bodoh!” Berkali-kali mamanya memukul setiap kali kata keluar dari dalam mulutnya.“Wanita itu tidak suka tidak dilibatkan dalam urusan orang yang dicintainya! Dia itu maunya dianggap! Kalau kamu memutuskan tanpa mengatakannya kepadanya, itu sama saja kamu menganggapnya tidak ada!”“Tapi aku masih tetap bersamanya. Aku masih mempedulikannya, dan aku masih berusaha u
Lavendra begitu terkejut sampai tidak bisa berkata sama sekali. Ia sama sekali tidak menerka bahwa barangbarang yang dirinya pertanyakan ternyata semuanya ada di sini dan tidak ada yang hilang sama sekali. Ia tidak tahu.Langsung matanya melihat ke arah sang suami yang telah memandanginya dengan penuh pengertian dan juga kasih sayang yang begitu tulus. Jujur saja, Lavendra merasa sangat malu sekali.Apa yang ia marahi dan ambeki daritadi ternyata tidak seperti yang dirinya pikirkan. Ia terlalu berpikiran buruk dan juga tidak mau sedikit pun bersabar atas penjelasan yang mungkin saja sudah dipersiapkan oleh suaminya, kan?“Aku bukan tidak mau memberitahu. Hanya saja ruangannya belum siap saja,” jelas singkat dari Daza sembari tersenyum tipis kepadanya, dan juga mengoyakkan rambut Lavendra tersebut.Senyum Lavendra memang terpancang, tetapi menunjukkan rasa malu yang tidak dapat dibendung sama sekali. Ia merasa sangat malu karena tidak bisa mengendalikan dirinya tersebut.“Aku bukan ora
Lavendra merasa senang sekali. Sebenarnya dibalik alasan dia tida mau bekerja lagi bukan lah perihal mengenai keramaian lagi. Melainkan karena orang-orang yang sudah tidak memandangnya selayaknya sesama pekerja.Semenjak mereka tahu bahwa Lavendra adalah istri Daza, mereka seolah mencoba memanfaatkan momentum dengan bersikap baik untuk mendapatkan nilat plus dari dirinya ini. Padahal Lavendra sama sekali tidak ingin hal itu terjadi.Belum lagi, ada banyak wanita yang mulai secara terang-terangan mencoba mengincarnya, jadi, ia harus menjaga jarak untuk menghindari terjadinya sesuatu yang buruk.“Tapi, kalau kamu jualan seperti itu, bukannya berarti kamu akan keluar saat aku tidak ada di rumah?” tanya Daza.Lavendra tampak sumringah mendengarnya. Daza mengkhawatirkannya dengan sangat terang-terangan. Itu membuat Lavendra makin yakin bahwa Daza memang hanya untuk dirinya seorang.“Kenapa? Kamu pikir aku akan bertemu seseorang mencurigakan di luar sana?” Lavendra sedikit menggodanya karen
Wanita itu sepertinya berumur di bawah dari Lavendra, atau mungkin bisa saja lebih tua. Dirinya memberikan senyuman terbaik dan juga menatap wanita tersebut dengan sangat lembut. Ia ingin membuatnya merasa terintimidasi.“Hai,” sapa Lavendra.“Ha- Hai,” sapanya.Lavendra tidak langsung melabrak atau pun langsung menegurnya. Biasanya yang seperti ini hanya angin lalu saja, atau bisa dikatakan tidak perlu dikhawatirkan sama sekali. Karena bukan ancaman.Wanita tersebut membawakan kopi kepada Daza, dan dengan sangat berhati-hati sekali. Seperti takut akan mendapatkan sebuah serangan balasan yang begitu besar sekali.“Begini-“PRYANGGG. “Aduh!” kaget dari wanita tersebut, yang pada akhirnya menjatuhkan gelas tersebut di meja Daza.Daza tidak merespon, namun dari raut wajahnya sudah jelas sekali dia marah dan tidak senang. Karena kopi tersebut tumpah sampai mengenai jasnya. Lavendra tidak melakukan apa-apa. Dia bahkan tidak melotot melihat wanita tersebut. Namun wanita itu lah yang sepert
Mendengarnya membuat Lavendra merasa berdebar. Ia tahu kalau apa yang tadi ia katakan pasti akan dibalas dengan demikian. Dengan sedikit mendongak, dirinya langsung mengecup pipi Daza dengan lembut.“Love you,” ucap Lavendra.“Love you more my wife,” balas Daza dengan senyuman yang lebar.Esok harinya, Daza mengambil cuti karena ada pertemuan keluarga nantinya. Lavendra sendiri sibuk memikirkan resep yang perlu ia tulis untuk kafenya tersebut. Semua seolah berjalan dengan sangat baik saja pada saat itu.Dan untuk pertama kalinya, mereka berdua secara bersama-sama, akhirnya membersihkan rumah bersama. Daza memegang penyedot debu untuk mmbersihkan sekitar, dan juga sesekali mengambil lap untuk meja. Sementara Lavendra tugasnya di dapur, ia harus menyiapkan makanan dan juga membersihkan area kulkas dan juga bagian tempat piring nantinya.“Honey, aku mau memindahkan beberapa pot bunga palsu di ruang tamu, bagusnya di letakkan dimana?”“Oh, di ujung ruangan saja. Kalau diletakkan di gudan
Lavendra tidak bisa meredakan situasi ini lagi. Mengingat memang apa yang dikatakan oleh Daza ada benarnya. Dan itu pasti membuatnya sangat marah saat melihat keberadaan dari Riko sendiri.Keluarga Daza yang mendengarnya seolah kaget dan tampak tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Daza barusan. Melihat bahwa tidak ada yang membantah sama sekali, membuat suasana jadi makin tidak enak.Kakek menoleh melihat ke arah Riko, “Benar begitu?” kakek curiga.“o- Oh, tidak Kek. Mana mungkin aku melakukan hal serendah itu,” Riko baru mencoba membela diri, dengan suara gugup.Jawabannya tentu saja mengundang kecurigaan yang sangat jelas sekali. Maka dari itu, dia sama sekali tidak bisa menghindar meski sudah menjawab barusan. Daza tidak mundur, dia juga tidak memberikan kelonggaran atas apa yang dikatakan olehnya barusan.“Benarkah? Lalu saat Lavendra pulang ke kampung halamannya, siapa yang menurutmu mencoba menghasutnya untuk berpisah denganku? Sembari mengimingi sesuatu yang lebih?” Daz
Apa yang dikatakan Diana memang sedikit terdengar ambigu, tetapi, Lavendra merasa seperti dia sedang berbicara dengan temannya yang ia kenal lama dan juga sangat dekat.Diana melirik ke arah Riko denga dingin, dan juga memasang wajah kesal karena Riko membuat suasana makan bersama mereka sedikit hancur dan juga tidak enak untuk dirasa lagi.“A- Apa maksudmu? Kamu sendiri tahu apa? Kamu yang bahkan tidak bekerja dan hanya bisa menggantungkan diri pada keluarga memangnya bisa apa?” tanya Riko sembari merendahkan Diana.Diana meletakkan kedua alat makannya tersebut, kedua tangannya berada di atas meja sembari menopang wajahnya dengan ekspresi yang tidak tersinggung dengan apa yang barusan dikatakan oleh orang tersebut.Entah dia menyembunyikan rasa kesal atau mungkin Diana memang sudah kebal dengan apa perkataan orang, Diana benar-benar kelihatan seperti orang yang cukup tangguh.Cukup lama Diana diam dan tidak berbicara lagi. Riko bukannya merasa lega Diana akhirnya diam dan tidak ikut
Riko menelepon seseorang yang sama-sama menjadi korban sakit hati dari pasangan Daza dan juga Lavendra. Yap, tidak lain dan juga tidak bukan ialah Lora. Wanita yang ia kenal sebagai orang yang sangat terobsesi kepada Daza.(“Apa kamu gagal? Haha, sudah kubilang. Lavendra punya pengaruh aneh yang membuat semua rencana gagal total,”) tawa dari seberang, mengejek usaha dari Riko.“Sudah. Pokoknya, kamu mau tidak kerja sama denganku?” Riko yang merasa malu mencoba untuk menepis dan memilih tidak membicarakan lebih lanjut.(“Hmmm, bagaimana ya….. memangnya, apa untungnya kalau aku bagiku harus membantumu?”) Lora mempermainkannya.“Tckk, aku akan memfasilitasi semua keinginanmu. Aku juga akan memberikan dana kalau semisal kamu perlu. Dan lagi, bukannya kamu bisa mendapatkan Daza juga setelahnya? Jadi, ini win-win solution,” kesal Riko.Dari seberang terdengar tawa cekikikan dari Lora setelah mendengar ucapan dari Riko. Penawaran besar dan jelas saja menguntungkan jauh di atasnya ini tidak m