Pagi itu Wisnu bangun dan melihat pemandangan yang indah dari atas balkon kamar Amanda. tinggal di daerah pegunungan memang sangat tenang. Jauh dari kebisingan dan polusi kota yang sering memicu stress.Di bawah sana, dia melihat Moana yang sepertinya hendak jalan-jalan pagi. Dia ingin banyak mengobrol dengan Moana. Karena itu dia pun bergegas turun dan mengikutinya.Moana tersenyum melihat menantunya berlari-lari menyusul di belakangnya. Sekarang dia melihatnya bukan hanya sekedar menantu, tapi juga keponakannya. Keponakan dari mantan suaminya dulu. Masih teringat, betapa anak ini sangat lucu dan menggemaskan saat kecilnya dulu. Sekarang sudah segede ini.Sembari berjalan-jalan, Moana menceritakan tentang banyak hal setelah berpisah dengan Purwa.“Saat itu aku sedang menemui seorang teman di kota lain, tiba-tiba ada berita tentang bencana tsunami. Sambungan komunikasi juga transportasi terhenti total. Aku bahkan tidak tahu bagaimana nasib keluargaku. Keesokan harinya aku baru mendapa
Wisnu mendapat panggilan dari Ujang yang menyampaikan mereka sudah ada di Surabaya. Rencananya mereka datang besok pagi-pagi, namun diluar perkiraan sore ini sudah tiba di Surabaya.Wisnu mencari istrinya untuk pamit karena harus segera menjemput Purwa. Lagi pula ada banyak hal yang harus dia bicarakan dulu dengan Purwa sebelum pria itu bertemu dengan Moana.“Bukannya Mas Wisnu bilang, Om Purwa datang besok?” tanya Amanda heran karena tiba-tiba saja mendengar Purwa sudah di Surabaya.“Mungkin, Om ambil penerbangan tercepat, tahu sendiri kan bagaimana dia kalau punya keinginan?”“Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu.” Amanda bergegas membuka lemari untuk berganti baju.“Sayang, sebaiknya kamu di rumah saja. Biar aku saja yang menjemputnya. Kau temani mama saja” “Oh, begitu?”Amanda tahu Mamanya tentu kepikiran di detik-detik dia harus bertemu dengan mantan suaminya dulu. Amanda tidak boleh membiarkan Moana stress, karena itu dia menyetujui ucapan suaminya. Lagi pula pasti ada banyak
Amanda mengetuk kamar Moana sebelum masuk. Moana masih duduk termenung di tempat tidur. Dia bahkan belum menggenakan jilbabnya. Amanda jadi mencemaskannya. Dia duduk di samping Moana.“Ma, kalau Mama kurang enak badan, aku akan sampaikan pada Mas Wisnu. Kita bisa undur pertemuannya kok!”“Tidak, aku tidak apa-apa,” ujar Moana bangkit mengambil jilbab segiempat dan menggenakannya. Tanganya terlihat sedikit bergetar.“Sini, Ma. Aku pakaikan” Amanda menghampiri Mamanya dan membantunya menggenakan jilbab. Dia berusaha mengalihkan pikiran Moana yang tegang. “Mas Wisnu bilang, seharusnya aku seperti Mama, pakai hijab biar tidak mengumbar aurot.”Moana menatap wajah cantik putrinya itu, dia kemudian mengangguk membenarkan. “Iya, Suamimu benar,” hanya itu katanya.“Ma?” Amanda menatap Moana yang risau itu lalu memeluknya. “Aku akan bersama Mama terus, kalau ada yang membuat Mamaku sedih dia harus berhadapan denganku. Tidak peduli siapapun itu.”“Eh, kau ini! Mama tidak apa-apa, Mama hanya sed
Amanda merasa lega karena semua sudah selesai hari ini. Mamanya sudah pulang dan memintanya menginap saja di hotel menemani Wisnu yang saat ini ada kesibukan yang harus dikerjakannya dari hotel. Moana menyadari, bagaimanapun mereka sudah menjadi suami istri. Tidak baik jika sering terpisah di awal pernikahan mereka. “Mama yang tidak enak sama Wisnu, kalau kamu masih juga pulang bareng Mama,” tukas Moana saat Amanda keberatan Moana memilih pulang sendiri. “Kalau begitu aku anter Mama pulang, deh!” Amanda menawarkan, Moana menggeleng. “Tidak usah, tadi Pak Purwa menawarkan untuk anter pulang dan aku menolaknya. Kalau kamu harus anter Mama, jadi tidak enak kan nanti!” tolak Moana. “Semua baik-baik saja, kan, Ma?” Moana mengangguk dan tersenyum tapi sulit ditebak. Membuat Amanda jadi bertanya-tanya. “Ya sudah, Mama balik dulu.” Amanda tidak bisa membujuk Moana, akhirnya membiarkan saja Moana berlalu di ikuti Abim. Dia hanya menatap punggung Moana dengan harapan semua baik-baik saja.
“Ya ampun, apa itu?!”Amanda terkejut melihat noktah itu, dengan segera bangkit dan berlari ke kamar mandi mengunci pintunya. Dia memeriksa bagian bawahnya dan melenguh kecewa karena tamunya datang saat dia tidak ingin menerimanya.“Amanda, kau baik-baik saja?” terdengar Wisnu berteriak dari balik pintu.“Eng, I-iya Mas…!”“Buka pintunya dulu, jangan buat aku cemas!” masih Wisnu mengetuk pintu kamar mandi.Amanda mencari-cari pembalut di rak. Dia selalu membawa benda itu jika pergi kesuatu tempat karena tidak tahu kapan pastinya mesntruasi. Siklus bulanannya memang sering maju mundur.Selesai menggenakannya dia segera mengambil bathrobe di lemari.“Sayang?!” Wisnu sepertinya masih menunggunya, padahal dia sudah berusaha berlama-lama.Akhirnya dengan tidak enak Amanda beranjak membuka pintu. Jujur, dia masih malu sekali pada Wisnu. Dia bahkan tidak sanggup menampakkan wajahnya saat membuka pintu itu.“Ada apa?” Wisnu melihat Amanda menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.“Ma
Purwa berjalan-jalan di sekitar hotel dan terkenang dulu pertama kali dia datang ke kota ini untuk menghadiri undangan walikota—yang merupakan teman lamanya. Melihat kota sejuk dan indah ini, dia teringat istrinya yang berharap bisa menghabiskan masa tua di daerah pegunungan. Karena itu Purwa membangun hotel ini. Awalnya Hotel ini dinamakan sesuai nama istrinya—HAMIDA—tapi untuk beberapa alasan nama hotel ini berubah menjadi Hotel Esther. Purwa tidak berhenti keheranan, orang yang menjadi inspirasi di bangunnya hotel ini ternyata juga tinggal di kota yang sama. Jalan takdir itu memang unik. “Selamat pagi, Pak?” sapa seseorang dengan menunduk sopan. “Pagi? Siapa kamu?” “Saya Arik, manajer hotel ini. Maaf tidak bisa menyambut kehadiran Bapak kemarin karena masih ada meeting di Bandung” Purwa menatap dan menilai Arik, sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. “Jadi kau tahu di mana Amanda tinggal?” Purwa bertanya pada Romi, salah seorang pegawai hotel yang diminta untuk men
“Aduh, kenapa dijatuhin, Mama?” ucap Amanda menaruh kembali liontin itu di meja. Untuk pertama kali Purwa dan Moana saling memandang dan sepakat. “Ah, sang pemilik liontin sudah mengambilnya,” ujar Purwa tersenyum melirik Moana. Moana pun faham. Jika Liontin itu milik keuarga Dinata. Maka Amanda memang berhak memilikinya sekarang. Purwa lega, masalah liontin itu sudah selesai. “Itu milikmu sekarang” ujar Moana pada Amanda yang sudah duduk di samping mereka. “Apa? milikku? Mama mmemberikannya padaku?” ucap Amanda girang. Sejak dulu Amanda sudah ingin memiliki kalung itu. Tapi Moana yang memang merasa itu bukan haknya selalu melarangnya. “Iya, sayang. Maaf, kalau tahu kalian akan menikah sejak dulu aku berikan liontin itu padamu” “Maksudnya?” Amanda bingung. “Itu Liontin keluarga kami Amanda, ibu-ibu kami biasanya memberikan liontin itu pada putrinya atau menantu wanitanya. Dulu liontin itu untuk mamamu, dan kini sudah jadi hak milikmu.” Purwa menjelaskan. “Wah, kenapa ceritanya
Wisnu merebahkan tubuhnya tampak lelah sekali dengan rangkaian kegiatan hari ini. Setelah menuntaskan pekerjaannya, Wisnu akan mengambil waktu sebulan untuk cuti dan berbulan madu. Dia jadi teringat sang istri lalu buru-buru mengambil HP-nya. Melihat beberapa pesan dan panggilan tidak terjawab. Dia kemudian segera menghubunginya. Tuut! Tuut! Tuut! Panggilan tidak juga di angkat. Apakah Amanda sudah tidur? [Met malam sayang, aku baru bisa periksa hp, kamu sudah tidur ya? Have nice dream!] tulis Wisnu dan mengirimkannya pada Amanda. Amanda memang belum tidur, dia tidak bisa memejamkan matanya dan resah. Berkali-kali dia meruntuki dirinya yang menyebalkan ini. Kenapa terus memikirkan hal buruk tentang Wisnu. Akhirnya dia sepakat bahwa ini hanyalah pengaruh moodnya yang buruk karena hormon kewanitaannya. Jadinya dia pun membalas pesan suaminya itu. [Malam Mas, sudah selesai acaranya? Cepat istirahat ya, I love u] [Aku telpon ya?] Karena Amanda belum tidur, Wisnu jadi ingin menelpon