“Kalau dari cipratan noda darah di dindingnya justru lebih terlihat seperti tempat pembantaian manusia,” jawab Jazlan.
“A..apa? Pem.. ban .. taian katamu?”
Jazlan hanya mengangguk. Begitu pun Riki. Suasana hening sejenak.
“Satu pertanyaan, kenapa kalian sampai masuk ke ruang bawah tanah itu?” tanya seorang pendaki.
“Entah kalian akan percaya atau tidak. Aku tidak sengaja menyentuh bagian dinding lorong hingga membuat pintu ruang bawah tanah itu terbuka. Kami bertiga langsung terjun ke ruang bawah tanah itu begitu saja. Pun tidak sengaja membuka pintu ruang rahasianya. Semua benar benar secara kebetulan terjadi begitu saja,” terang Jazlan.
“KEBETULAN KATAMU? Semua kekacauan ini gara gara kalian!” bentak salah satu pendaki emosi, sambil meninju wajah Jazlan.
BUK
Tubuh Jazlan pun te
“Aku sebenarnya tidak terlalu yakin, tapi sepertinya cukup layak untuk dicoba. Daripada terjun ke bawah begitu saja. Kalian pun tidak perlu ikut turun, bantu aku mengalihkan perhatian Mahluk Haus Darah dari sini saja,” ujar Jazlan.Para pendaki termasuk Riki saling lihat, dengan ekspresi penuh tanya. Sementara itu, Mahluk Haus Darah masih berkeliaran di sekitar benteng, sambil mendesis.SSSSSSSSHHHHHH“Mengalihkan perhatian? Bagaimana caranya?” tanya seorang pendaki.“Jadi begini, karena mereka sepertinya peka terhadap suara. Tolong lemparkan batu batu seperti ini, atau benda apa saja ke arah yang jauh dari pintu gerbang benteng ini. Selagi Mahluk Haus Darah itu menjauh, aku akan turun ke bawah dan mulai menutup pintu gerbang benteng,” urai Jazlan menjelaskan rencananya.“Kau yakin rencana ini akan berhasil? Apa tidak sebaiknya kita menun
Sementara itu, jauh dari area Hutan Terlarang, di dalam salah satu ruangan basecamp Gunung Argon via Roc sudah berkumpul beberapa orang. Dalam ruangan yang dindingnya penuh dengan lambang organisasi Mapala itu, tampak beberapa orang sudah duduk dengan tenang, termasuk diantaranya Kolonel Sagara, Kepala Pengelola Basecamp dan Kakak Rosie.“Maaf, hal penting apa yang Pak Kolonel maksud?” tanya Kakak Rosie sopan.Kolonel Sagara dan Kepala Pengelola Basecamp saling tatap, kemudian Kepala Pengelola Basecamp pun memberikan anggukan pelan. Melihatnya, Kakak Rosie pun mengerti bahwa sepertinya itu adalah perkara yang serius.“Sebelumnya, perlu saudara tahu, Kolonel Sagara di sini bukan hanya sebagai Ketua sekaligus Penanggung Jawab Penanangan Bencana Kebakaran Gunung Argon tapi juga Ketua Tim khusus yang menangani satu masalah lain,” Ketua Pengelola Basecamp mulai menjelaskan.&
Kakek Tua itu hanya diam, tetap berdiri beku, sorot matanya seperti sedang ketakutan, tangannya mengepal, bergetar. Seorang petugas Basecamp tampak berusaha membujuk Kakek Tua pergi dari ruangan itu, tapi tidak berhasil.Kakek Tua itu tidak mau bergerak sedikit pun. Kepala Pengelola Basecamp pun melambaikan tangan ringan, memberi isyarat agar petugas Basecamp membiarkan saja, tanpa perlu memaksa Kakek Tua itu untuk pergi. Sedangkan Kakak Rosie masih menunggu jawab atas pertanyannya sebelumnya.Setelah hening sejenak.“Mereka sudah bangkit! Mereka sudah bangkit kembali!” ucap Kakek Tua itu dengan suara bergetar, memecah keheningan.Kakak Rosie yang sama sekali tidak mengerti apa apa pun semakin bingung. Kakek Tua itu tidak menjawab pertanyaannya justru mengatakan hal yang ambigu sekali. ‘Ada apa dengan Kakek ini? Aneh sekali!’ gumamnya dalam hati.Di sisi l
Hah.. Hah.. Hah..Suara napas Kakak Rosie terdengar terengah engah, setelah berteriak begitu keras, mengeluarkan semua unek unek yang selama ini sudah coba ditahannya. Sementara itu, karena saking kerasnya suara teriakan Kakak Rosie, orang orang disekitar Basecamp pun terhentek, menghenhentikan aktivitas yang sedang mereka lakukan. Menatap ke arah Basecamp. Bertanya tanya 'suara apa itu tadi?'"Maaf! Saya sudah tidak sanggup menahannya. Tolong katakan apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Kakak Rosie lemah, sambil menatap ke arah Kolonel Sagara."Minumlah dulu, tenangkan diri dulu!" kata Kepala Pengelola Basecamp sambil memberikan segelas air kepada Kakak Rosie."Tidak, Pak! Saya tidak ingin minum. Bagaimana saya bisa minum jika saya tidak tahu nasib adik saya sendiri sekarang seperti apa? Tolong langsung ceritakan saja semuanya sekarang juga, Pak! Tolong!" tolak Kakak Rosie dengan sopan.Kepala Pengelola Basecamp pun menyerah, me
Sementara itu, di area yang dikelilingi batuan batuan besar, jauh di dalam kawasan Hutan Terlarang. Di dalam pondok, Rosie tampak sedang melamun."Lihat saja terus, awas lompat itu mata!" gurau Cantigi menggoda Rosie yang melamun."Eh?" Rosie pun menjawa gelagapan ketika menyadari bahwa dirinya tanpa sadar melamun sambil melihat ke arah Awan yang sepertinya tertidur."Melamun terus! Katakan, selama aku tidak ada terjadi apa di antara kalian berdua, hah?" sekali lagi Cantigi menggoda Rosie."Apa sih, jangan aneh aneh Gi! Aku, entah kenapa tiba tiba kepikiran Kakak!" Mendengarnya, Cantigi pun terdiam, menghentikan ledekannya. Sementara Awan seperti biasa tertidur, Jhagad kali ini juga, mereka sepertinya kelelahan. "Harusnya malam ini aku sudah di rumah, menelpon Kakak, menceritakan perjalanan kita di sini. Tapi sekarang justru aku masih terjebak di sini! Kakakku pasti marah besar karena belum juga kuberi kabar," Rosie mencoba bergurau sediki
Setelah Jogoboyo itu pergi, Cantigi, Rosie dan Jhagad masuk kembali ke dalam pondok mereka. Saat itu Awan tampak masih terbaring telentang, menutup matanya.“Eh, Gi! Menurutmu kenapa kita tidak boleh keluar dari pondok jam satu hingga tiga dini hari nanti?” tanya Rosie penasaran.“Entahlah, mungkin di jam jam itu sedang ada kegiatan penduduk sini yang tidak boleh diketahui orang asing seperti kita. Atau..” jawab Cantigi sambil memberikan ekspresi menebak nebak tengil.“Atau apa?” tanya Rosie, seperti biasa mudah sekali dipancing rasa penasarannya.“Atau mungkin ada hal lain yang sebaiknya kita tidak tahu!” jawab Cantigi sambil nyengir.“Misalnya?”“Hantu!” celetuk Jhagad, mencoba bergurau.“Ih, serius…!” Rosie merajuk.“Ak
Ketika Rosie sudah mulai menyibak sedikit daun rumbianya. Tiba tiba saja ada yang menghentikan pergerakan tangannya dari arah belakang. BUK Rosie pun menoleh ke belakang. Ternyata Awan sudah berdiri di belakangnya, menghentikan pergerakan tangannya. Rosie mengehembuskan napas. “Hah., kau ternyata, Wan!” “Bukankah Jogoboyo bilang jangan keluar pondok sampai pukul tiga dini hari berlalu?” ucap Awan sambil menunjukkan jam yang masih menunjukkan pukul 02: 57. “Ada Jazlan di luar memanggil manggil dari tadi,” kata Rosie. “Kalau benar itu Jazlan, dia akan langsung masuk tanpa perlu memanggil manggil dari luar seperti itu.” “Tapi, suaranya mirip sekali!” “Satu lagi, Jazlan tidak memanggil Cantigi dengan sebutan ‘Gi!’, tapi ‘Gils’ bukankah begitu?” “Eh, iya sih! Tunggu dulu, kalau bukan Jazlan, la.lalu si..siapa?” “Entahlah, lebih baik kita tidak perlu tahu!” “Ehem…” tiba tiba Cantigi mengeluarkan suara berdehem cukup keras, sambil melihat ke
Jhagad tidak menjawab, tapi justru langsung melangkah ke sebelah kanan jalan, mendekati salah satu ruko kecil. Cantigi, Rosie dan Awan pun mengikutinya.Rosie pun sumringah ketika melihat ke arah meja dagangan pedagang itu. ‘Taplak meja hijau!’ gumamnya dalam hati.Seperti yang dikatakan Jogoboyo, Jhagad sekarang sudah berdiri tepat di depan meja dagangan pedagang itu. Tanpa berkata apa apa. Menunggu pedagang itu meresponnya. Tidak terlalu lama, terdengar suara perempuan.“Sepertinya kalian bukan orang sini,” kata pedagang itu sambil meletakkan sebuah koin perak di meja tepat di depan Jhagad berdiri.TEKK..GLUP!Setelah mendengar perkataan pedagang itu, Rosie menelan ludah. ‘Bagaimana pedagang ini tahu mereka bukan orang sini?’ gumamnya dalam hati.Sementara itu, Awan dan Cantigi masih melihat ke arah meja. Tampak tangan pedagang itu kukunya rapi, kulitnya putih bersih, namun cenderung pucat. Berbeda dengan Awan dan Can