Share

BAB 6: Teror dari Arah Semak-Semak

Awan yang tadinya lebih fokus ke arah semak-semak pun menoleh.

Tidak disangka, di balik batuan besar itu ada danau yang terhampar luas. Uniknya, mereka tidak merasa jalanan yang menurun sebelumnya, namun tanpa sadar, jika sebelumnya sebelah kiri ada tebing cukup tinggi yang membatasi sungai, sekarang berubah menjadi danau luas.

‘Sungguh topografi yang unik’ gumam Awan dalam hati.

Awan dan Rosie pun berjalan sedikit menurun, mendekati pinggiran danau. Hal pertama yang mereka lakukan setelah sampai di pinggiran danau adalah, mulai menyapukan mata ke seluruh sisi danau. Mencari keberadaan Cantigi, Jhagad dan Tegar.

PLUK..

Sesekali, riak kecil air danau pun membuat fokus mereka berdua teralihkan. Berharap itulah pertanda kehidupan dari yang mereka cari. Namun sayang, riak-riak air itu hanyalah percikan ikan yang melompat bermain-main kegirangan.

“Hmm..”

Rosie menghembuskan napas pelan. Tidak ada tanda-tanda keberadaan teman-temannya. Mereka berdua pun melanjutkan menyusuri pinggiran danau, yang mau tidak mau membuat mereka masuk lebih jauh lagi ke dalam Hutan Terlarang.

“Kita lanjut jalan saja,” kata Awan singkat.

Semakin jauh mereka berdua berjalan, semakin terasa aneh suasana Hutan Terlarang. Awan yang cenderung peka terhadap tanda-tanda alam pun menyadarinya, seperti ada yang menatap mereka. Tapi, jelas-jelas tidak ada satupun orang lain selain mereka di area ini.

Sebaliknya, sambil melangkahkan kakinya, Rosie masih sibuk melihat ke kanan dan ke kiri. Mengamati sekitar, mencari tanda-tanda keberadaan orang-orang yang dicarinya sedari tadi. Saat ini, pikiran Rosie hanya dipenuhi oleh kekhawatirannya terhadap Cantigi, Jhagad dan Jazlan  saja. Tidak ada yang lainnya.

SREK..

Pelan sekali terdengar dari kejauhan suara gesekan di antara semak-semak. Awan yang tidak mau membuat Rosie menjadi cemas pun lebih memilih mengaktifkan mode waspada diam-diam, sambil terus memperhatikan sekitar.

Dalam pikirannya, satu-satunya hal yang mungkin mengawasi mereka di Hutan Terlarang ini adalah hewan liar. Terlepas dari mahluk lain sebagaimana cerita yang dipercaya oleh penduduk lokal, Awan lebih memilih berpikir rasional.

“Sudah berapa jauh kita berjalan Wan?”

“Mungkin satu jam”

Sementara, kobaran api masih terlihat menyala-nyala. Rosie tampak sudah benar-benar kelelahan. Kekhawatiran sukses membuatnya kehilangan banyak sekali tenaga. Sedangkan area di mana mereka berdiri saat itu tergolong dipenuhi tanaman yang cukup rapat, ditambah sensasi diperhatikan entah oleh siapa, atau apa pun masih memeluk erat.

“Ros!”

“Ya”

“Kau tidak lelah?”

“Oh, tidak, nanti kalau lelah aku bilang Wan” ucap Rosie meyakinkan, sambil tersenyum tipis.

Awan sebenarnya berniat untuk tetap melanjutkan perjalanan hingga mencapai wilayah dengan tumbuhan yang tidak serapat sekarang. Namun, tiba-tiba tubuh Rosie terhuyung, seperti akan segera terjatuh.

“Ros, kau tidak apa-apa?”

Melihatnya, tangan Awan reflek menyangga lengan kanan dan kiri Rosie agar tetap tegak. Ekspresi lemah Rosie terlihat, berusaha tersenyum, dan kembali menegakkan tubuhnya, berdiri tegap. Saat itu Awan menyadari, tidak ada pilihan lain selain berhenti.

Rosie sebenarnya tidak ingin berhenti, karena tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk menyelematkan teman-temannya.  Dia pun sempat berdebat dengan Awan.

"Aku tidak apa-apa, kita lanjut saja,” kata Rosie mencoba meyakinkan.

Awan hanya diam, menatap datar Rosie yang jelas-jelas terlihat sedang memaksakan diri.

“Mereka sedang membutuhkan bantuan kita, terlalu sering istirahat mungkin akan membuat kita terlam..bat,” ucap Rosie tercekat diujungnya.

Mendengarnya, Awan tahu benar bahwa Rosie sedang benar-benar dipenuhi kekhawatiran. Sama halnya dengan dirinya. Tapi, sebagai laki-laki, logikanya masih bisa berkerja di saat genting seperti ini. Sedang Rosie, perasaannyalah yang lebih mendominasi.

Awan pun tanpa berkata-kata menuntun Rosie ke arah pohon tumbang di sisi danau, mengambil tas carier dari punggung Rosie, membantunya duduk dengan nyaman.

Tas carier mereka pun di letakkan Awan di sebelah Rosie duduk, untuk sandaran. Kemudian, Awan mengambil posisi duduk jongkok tepat di depan tempat Rosie duduk.

"Kalau kita berakhir pingsan, lantas siapa yang akan memberi mereka bantuan?” tanya Awan lembut.

“Sebentar saja, isi tenaga,” lanjut Awan sambil membuka satu bungkus roti dan memberikannya kepada Rosie.

Entah kenapa, Rosie yang awalnya bersikeras ingin melanjutkan perjalanan tiba-tiba luluh begitu saja. Seperti tersihir, tidak berdaya kecuali mengiyakannya.

'Sejak kapan Awan bisa menjelma menjadi laki-laki yang begitu lembut dan penuh perhatian seperti ini', pikir Rosie.

Tanpa banyak bicara, Rosie pun mengambil roti yang diulurkan oleh Awan dan mulai memakannya. Melihatnya, Awan tersenyum tipis kemudian mengalihkan pandangannya ke danau. Mulai membuka bungkus roti yang dipegangnya.

Sejenak mereka melamaskan kaki, dengan hanya ditemani danau yang begitu sunyi. Sambil pikirannya tetap berlari-lari, mencemaskan orang-orang yang sedang dicarinya sedari tadi.

KRETEK..

Suara ranting terdengar samar-samar dari arah semak-semak yang tidak jauh dari tempat mereka beristirahat. Awan yang tadinya hendak menggigit Rotinya pun terhenti. Mendengarkan lebih seksama, ke arah sumber suara.

KRETEK… KRETEK..

Sekali lagi, suara ranting terinjak terdengar. Awan pun tidak hanya menggunakan indera pendengarannya saja. Matanya mulai fokus menyapu seluruh sudut semak-semak di dekat mereka. Tibalah matanya menangkap sesuatu, dua titik cahaya di sela-sela semak-semak.

Untuk memastikan, Awan pun mulai berdiri, melangkah mendekati dua titik cahaya yang dilihatanya tadi.  Semakin dekat, dua titik cahaya itu seperti sepasang sorot mata yang tajam menatap ke arahnya.

Meredupnya sinar matahari, membuat sorot mata itu terlihat lebih jelas. Awan pun semakin melangkah mendekat, dan semakin dekat. Namun, tiba-tiba.

“Wan!” ucap Rosie sambil menepuk punggungnya dari belakang.

Panggilan dari Rosie itu pun membuat fokus Awan teralihkan. Ketika Awan melihat ke arah semak-semak, sorot mata itu sudah tidak ada. Tidak lama kemudian, mereka pun melanjutkan perjalanan, menyusuri danau yang entah di mana ujungnya.

GERRRRR…

Lima belas menit mereka berjalan, terdengar suara dari arah dalam Hutan Terlarang. Awan yang sedari awal selalu waspada pun tidak terlalu kaget mendengarnya.

Berbeda dengan Rosie, setelah tenang, kepekaannya mulai kembali, perasaan cemasnya pun mulai menggelayuti.

“Apa itu Wan?” takut-takut Rosie bertanya.

Awalnya Awan hendak menjawab gesekan daun akibat terkena angin. Tapi, sebelum sempat Awan mengatakannya, suara khas hewan sayup-sayup terdengar.

AUUUU…..

Astaga, sedikit saja suara khasnya terdengar sudah membuat bulu kudu merinding, membuat mengirimkan sinyal tentang gambaran sosok hewan yang mengeluarkannya.

AUUU....

Sekali lagi, suara khas hewan itu terasa semakin mengeras, pertanda sumber suaranya semakin mendekat. Awan pun mulai berpikir, jika benar sumber suara khas ini berasal dari hewan yang dipikirkannya, maka hanya ada satu pilihan, bersembunyi. Mengingat, dia hanya berdua dengan Rosie.

Bertarung tidak akan mudah jika juga harus melindungi. Belum sempat Awan memberitahu Rosie, semak-semak terdekat terlihat mulai menyibak, pertanda ada yang sudah siap menuju ke arah mereka, menunjukkan dirinya.

Dengan suara gemetar, Rosie berkata “Wan, semak-semak itu bergerak-gerak sendiri!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status