Riki dan Roman terdiam, tidak ada satu pun kata yang mereka keluarkan untuk menanggapi pertanyaan Jazlan. Pandangan mata mereka masih tidak bisa lepas, tetap melihat ke atas atap.“Ka..katakan aku sedang bermimpi!” ujar Jazlan masih tidak percaya.Namun, Riki dan Roman masih tidak bergeming. Seperti tersihir oleh apa yang dilihatnya di atas atap. Hal yang baru pertama kali mereka lihat, secara langsung, seumur hidupnya.“Hei! Kalian mendengarku?” tanya Jazlan sekali lagi, sambil mengguncangkan pelan lengan Riki dan Roman.Riki dan Roman masih tetap berdiri mematung. Tidak bergerak, pun tidak memberikan tanggapan terhadap pertanyaan Jazlan.Tes..Suara satu tetes cairan mengalir dari atas atap, mengenai dahi Riki yang sedang mendongak ke arah atas. Ia pun reflek segera membersihkan tetesan cairan yang ternyata adalah darah. 
Di dekat danau Hutan Terlarang, Awan dan Rosie tampak masih berjalan, memecah keheningan malam. Sambil tetap menyapukan pandangan ke seluruh penjuru danau, mencari keberadaan sahabatnya, Cantigi dan Jhagad yang terjatuh ke jurang dengan sungai mengalir di bawahnya. KRU…KRUUU Malam di Hutan Terlarang benar-benar sunyi, nyaris tidak terdengar suara apa pun kecuali suara burung hantu yang sedari tadi terus berbunyi. Atau suara kepak sayap kelelawar yang samar-samar terdengar ketika melintas. Semakin jauh kaki melangkah menyusuri kawasan Hutan Terlarang, satu hal yang masih sama, perasaan dilihat entah oleh apa atau siapa. “Wan! Kau lihat itu?” kata Rosie sambil menunjuk ke tanah di depannya. Awan tidak menjawab, namun langsung mengambil posisi jongkok, mendekati tanah yang ditunjuk oleh Rosie. Perlahan Awan mengarahkan cahaya headlamp miliknya ke arah tanah di depannya.
Awan dan Rosie dalam keadaan yang terdesak. Sudah tidak ada pilihan lagi, harus mengambil tindakan sekarang juga atau terlanjur tidak bisa sama sekali nanti. Sekelebat Awan melihat ke arah depan, sorot mata tampak tidak sebanyak yang ada di sisi kanan maupun kiri mereka.Tanpa berkata-kata, Awan pun langsung menyambar tangan Rosie, menariknya, melarikan diri. Mendengar pergerakan mereka berdua, serigala yang ada di depan mereka pun akhirnya juga sudah mulai bergerak.“Sial!” maki Awan kepada headlamp yang saat itu tidak membantu penerangan sama sekali di dalam kabut.Jarak pandang yang menipis membuat pandangan Awan terganggu, tidak setajam sebelumnya. Awan hanya bisa mengandalkan pendengarannya saja. Berbeda dengan Awan, sepertinya pandangan serigala itu tidak terganggu sama sekali. Artinya, serigala serigala itu bisa dengan mudah menerkam Awan dan Rosie, kapan saja.GERRR&helli
“Sepertinya begitu,” jawab Awan dengan nada suara yang masih ragu-ragu.Awan tidak menyangka sama sekali, bahwa ia akan mengalami kejadian yang seperti ini. Awan mungkin pernah mendengar bahwa ada beberapa tempat yang memang memiliki fenomena kabut menyesatkan. Entah siapa pun yang berada di dalam lingkup kabutnya, mereka hanya akan dibuat berputar-putar di area itu-itu saja.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Rosie sudah mulai mengkhawatirkan banyak hal lagi.“Ayo, coba kita melangkah lagi untuk memastikan!” ajak Awan.Rosie pun mengangguk, menyetujui apa yang disarankan Awan. Mereka berdua berjalan dengan langkah agak cepat, membelah sunyinya malam di Hutan Terlarang. Bahkan saking sunyinya, yang terdengar hanya suara langkah kaki mereka berdua saja. Setelah beberapa menit berjalan.BUK..“Aduh, eh, ada apa ber
Dalam lingkup kabut yang tebal, cahaya itu mulai terlihat semakin jelas bentuknya. Sesekali angin pun bertiup menggoda tubuh mereka berdua dengan hawa dingin yang menusuk tulang, menambah debar jantung keduanya menyaksikan cahaya itu mendekat.KRETEK..Samar-samar terdengar suara ranting yang terinjak oleh sesuatu, dari arah yang sama dengan cahaya itu terlihat. Seiring berlalunya waktu, cahaya itu terlihat memancarkan warna kuning, dengan pergerakan yang tampaknya tidak stabil. Bergoyang-goyang tidak beraturan.“Wan, i.. itu.. bukan sepasang mata besar bukan?” tanya Rosie sambil mengeratkan pegangan tangannya pada jaket Awan.Awan hanya diam, karena ia sendiri pun tidak yakin apa itu. Ketika jarak mereka berdua dengan kedua cahaya hanya terbilang tujuh langkah saja, terlihat jelas sumbernya.“Hmmph…” Awan menghembuskan napas pelan.
Sosok yang tinggi besar dengan kalung tulang belulang itu terlihat berdiri menatap mereka berempat. Ekspresinya datar, namun sorot matanya memang tajam. Rambutnya panjang dan agak acak acakan. Pertama kali melihatnya tentu saja orang bisa terkejut dibuatnya.“Pak Jogoboyo!” sapa Cantigi sambil tersenyum kepada sosok itu.“Eh?” Rosie kaget sambil menelan ludah melihat ke arah Cantigi.“Ros, Wan, beliau Jogoboyo di pondokan ini. Pak, ini teman kami, Rosie dan Awan,” kata Jhagad memperkenalkan.Jogoboyo itu hanya mengangguk pelan dengan ekspresi yang tetap datar. Menatap satu per satu per satu ke arah Rosie dan Awan. Kemudian tersenyum tipis, tatkala melihat Awan.“Ehm. Mohon maaf Pak, apakah teman kami ini juga boleh menginap di sini malam ini?” tanya Jhagad dengan sopan.Sambil terus melangkah, Jogoboyo itu
Kali ini Awan tidak menimpali perkataan Jhagad. Karena Awan juga merasakan hal yang sama. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan, ketakutan yang tidak diketahui pasti penyebabnya. Tapi itu ada, menghantui mereka sejak menginjakkan kaki di kawasan Hutan Terlarang.“Ayo! Ada banyak hal yang harus kita bagi bersama, tentang Jazlan dan Tegar. Cantigi dan Rosie mungkin juga akan khawatir kalau kita tidak kunjung kembali ke pondok!” ajak Jhagad kepada Awan.Awan tidak menjawab. Namun langsung melangkah mengikuti Jhagad yang sudah melangkah lebih dulu menuju pondok mereka. Tidak jauh, mungkin hanya beberapa ratus meter saja berjalan, mereka berdua pun sampai di depan pondoknya.“Wan, jangan beri tahu mereka tentang tempat ini dan Jogoboyo. Kau tidak ingin kondisi menjadi lebih merepotkan bukan?” bisik Jhagad kepada Awan sebelum memasuki pondok.Awan mengangguk. Tentu saja, Awan sebisa m
Tidak ada jawaban. Namun, bayangan samar sosok dalam kabut itu tiba tiba saja terlihat berhenti. Cantigi pun memberanikan diri melangkah mendekat. Tapi tiba tiba."Hah.. Hah... Hah.."Seseorang muncul, menarik tangannya dengan napas terengah engah sambil berkata, “Apa yang kau lakukan?”Cantigi pun menoleh, kemudian berkata, “Ish.. kau ternyata Gad, mengagetkan saja!”“Kau sebenarnya kenapa tiba tiba saja mengejar serigala?” tanya Jhagad kesal.“SSST…” ucap Cantigi sambil menunjuk ke arah di mana bayangan sebelumnya terlihat.Tapi sayang, bayangan itu pun sudah tidak terlihat lagi di sana. Benar benar musnah tanpa jejak, seperti serigala yang dikejar oleh Cantigi sebelumnya.“Kenapa?” tanya Jhagad tidak mengerti.“Tunggu! Tegar?” bukannya menjawab, Canti