Daripada ketahuan lebih dulu, lebih baik mengambil jalan tercepat saja, begitulah yang ada di pikiran Angga. Lelaki itu menarik gas motor penuh tenaga, menerobos lampu lalu lintas yang terang menyala tersebut. Beberapa orang menjerit, tatkala Angga hendak ditubruk pengendara lain. Bahkan, ada yang sampai memakinya di jalanan. Ia tak peduli. Yang penting bisa selamat dari pemantauan Cinta."Mas! Apa-apaan, sih!" Ofi di belakangnya memukul. Sebelah tangan meremas baju yang Angga kenakan. "Kamu mau buat kita mati atau bagaimana? Tiba-tiba ngereog di motor," sambungnya kesal. Tentu ia kaget.Angga membuang napas lega. Berharap, kalau Cinta sama sekali tidak mengenalinya. Bisa hilang sumber pemasukan, jika sampai dia ketahuan selingkuh selama ini. Pria itu tak menggubris perkataan Ofi. Ia terus melajukan kendaraan, sampai betul-betul jauh dari titik lampu merah tempat ia meliht Cinta tadi.Sesuai keinginan hati, Angga betul-betul minta ditraktir oleh Ofi dengan alasan dompetnya ketinggal
"Jadi, Jeng Dila nggak ada yang jemput?" tanya ketua arisan, tatkala Bu Dila menyatakan ketakutannya ditinggal sendirian di restoran tersebut."Iya nih, Jeng. Anak saya malah mendadak ngevlog di gunung. Padahal dia yang antar saya tadi ke sini." Tadinya Bu Dila memang menyewa mobil hasil pesanan online. Kini dia sudah tidak punya duit lagi."Kenapa nggak pesan taksi aja, Jeng?" tanya member lain."Duh, gimana, ya? Saya punya pengalaman buruk pesan-pesan mobil online begitu. Saya pernah dilarikan sama sopirnya, jadi sampai sekarang nggak berani lagi.""Ya, ampun ngenes banget pengalamannya ya, Jeng. Ya, sudahlah. Kalau begitu biar saya yang antar aja pakai mobil. mau, kan?"Satu sisi Bu Dila merasa lega, karena dia bisa pulang ke rumah tanpa berjalan kaki, tetapi di samping itu dia tak sanggup juga menunjukkan, bahwa tempat yang selama ini ia tinggali adalah kontrakan sederhana."Boleh, boleh." Sebuah ide mencuat.Bu Dila pada akhirnya diantar oleh teman arisannya. Begitu hendak mendek
Wanita berwajah lebam dengan air mata yang telah mengering di pipinya itu melajukan langkah. Ia memang telah berubah baik, tetapi bukan berarti dia adalah perempuan polos. Ruby bukan juga sosok lemah seperti yang terdapat di beberapa novel digital. Ia kuat, tegar dan tak mudah diinjak. Tak peduli, jika pernikahannya Roy baru beberapa hari saja terjalin. Kalaulah memang lelaki itu berlaku jahat, maka kenapa dia harus membisu. Ruby memasuki kantor polisi dan mengadukan KDRT yang baru saja dia alami. Muka benyok dan beberapa bekas memar di badan cukup menjadi bukti atas berita yang ia sampaikan hari itu. Ditambah lagi dengan pengaduan, jika seorang pria bernama Roy terlibat jual beli narko*a. Biar sekalian saja. Tak usah tanggung-tanggung. "Akan kami proses secepatnya." Begitulah balasan yang Ruby dapat, setelah ia memberikan alamat rumah.Perempuan penuh derita itu harus mencari hutangan. Menunggu gaji yang keluar sebulan lebih lagi membuat ia tak akan bisa bercerai dengan Roy secepa
"Apa?" Kepala Angga semacam diserang puluhan peluru. Bibirnya mengonsumsi debu sebab ternganga di bibir jalan. Angga menajamkan telinganya. Berpikir ulang tentang ucapan Cinta barusan."Sudah dua bulan, Mas. Gimana ini? Kamu tanggung jawablah. Tanggal berapa kita nikah? Pokoknya harus bulan ini!" tuntut Cinta dengan nada sekhawatir mungkin.Menikah? Itu belum ada dalam kamus Angga, setelah gara-gara ulahnya dia kehilangan perempuan high value dan seseorang bunuh diri karenanya pula. Angga sadar, kalau selama ini dirinya memang selalu berhubungan layaknya suami istri dengan penjaga toko bolu tersebut. Namun, siapa sangka, kalau Cinta tidak menggunakan kontrasepsi? Angga pikir karena sudah selalu berbuat, perempuan itu tahu untuk menjaganya. Ini malah sudah dua bulan pula usia kandungan Cinta. Apa tidak tambah keder Angga dibuatnya.Pria itu menekan tombol merah dan memang sengaja menghindari kesalahan terbesar yang ia lakukan. Angga juga memutuskan secara kilat untuk memblokir nomor
Bagai disambar petir mendengar kabar yang disampaikan oleh pihak kepolisian. Tadinya Ruby pikir itu cuma fiktif belaka dan ujung-ujungnya mereka akan minta tebusan berupa duit. Dia yang sejujurnya tak percaya lantas menggiring Bu Dila turut mendatangi kantor polisi. Benar saja. Angga terperangkap bersama narapidana lain di sana. Pihak kepolisian bilang; ia akan menjalani sidang seminggu ke depan, sebelum pada akhirnya dijatuhi masa tahanan. Bu Dila lemas, begitupun dengan Ruby. Dunia seakan roboh. Ibu dari lelaki cab*ul tersebut hampir mampus memikirkan gaya hidupnya yang pasti perlahan surut. "Angga! Kenapa Angga? Kenapaaaa?" Bu Dila menggebrak jeruji sejuk tersebut.Ruby menangis di belakang, memandang pria berpakaian orange itu sambil menggigit kuku risau. Hatinya padam. Tak seharusnya Angga menuruti hawa nafsu."Sudah aku bilang jangan macam-macam, Mas! Aku juga sempat larang Mas Angga buat keluar, kan? Inilah akibatnya!" sela Ruby di tengah hiruk pikuk tangisan ibu mereka.Lel
Alih-alih ingin bergaya dengan sekawanan Ibu sosialita, Dila justru dikagetkan dengan perangai mereka yang berubah drastis. Berbeda saat bertutur sapa melalui grup. Bahkan, sejak kemarin mereka heboh mengajak Bu Dila agar ikut kumpulan di minggu ini."Apa-apaan ini, Bu?" tanya Bu Dila dengan alis yang menukik tajam. Tentu merasa kaget sekaligus kecewa dengan perilaku member arisan tersebut."Sengaja kami menyuruh ibu untuk datang ke sini. Lebih tepatnya, kami mau mengeksekusi Bu Dila!" ujar ketua perkumpulan tersebut."Maksudnya apa, ya? Saya nggak ngerti." Wanita itu terkesan seperti orang bodoh di tengah keramaian yang ada."Ngaku aja, Bu! Selama ini Ibu sudah bohongi kita semua tentang kekayaan dan pekerjaan anak!" cercah wanita yang satu lagi.Sekujur tubuh Bu Dila menegang. Wajahnya menebal disertai dada yang bergemuruh dahsyat. Bagaimana pula mereka bisa tahu tentang identitas asli Bu Dila, sementara ia telah berusaha menutupinya serapat mungkin."Saya nggak ngerti apa maksudnya
"Apa lihat-lihat!" Seorang lelaki berotot lagi kekar membidik pria bertubuh jenjang dan agak tipis dengan sorot menakutkan. Netranya menyiratkan kemarahan. Tak suka ada yang menganggu ketenangannya.Sosok berwajah manis, tetapi layu itu sontak bergidik. Membayangkan tangan kokoh milik lelaki di depannya menghantam kepala. Pasti langsung jendol. Angga.Ya, dia berhasil mendekam di bui, setelah perbuatan teledornya kala itu.Sudah seminggu berada di balik jeruji besi. Ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, apalagi dia hidup bersama rekan-rekan yang lebih dulu menginap di sana. Badan mereka besar dengan wajah yang menyeramkan. Selama ini setiap kali Angga melihat ke arah mereka, semua pada heboh. Menyangka, kalau lelaki yang badannya lumayan cungkring itu hendak mencari masalah. Angga membeku. Ia memang nakal, tetapi ternyata kenakalannya tak berarti, saat ia telah berhadapan dengan orang-orang yang jauh lebih ganas. Ia bak anak kucing yang berada di bawah ketiak singa dewasa."Sini!
Tiga hari berlalu.Angga dulu adalah seorang pemuda cerdas yang penuh potensi, bahkan ia pernah menjabat sebagai seorang guru yang diidam-idamkan banyak siswa. Namun, keadaan tak terduga mengubah hidupnya secara drastis. Setelah kehilangan pekerjaannya dan tak memiliki tempat tinggal, dia terpaksa menjalani kehidupan sebagai tukang tipu wanita. Merebut harta banyak perempuan dengan bekal wajah tampan yang ia miliki.Ide gila sahabatnya kemarin berhasil mengeluarkan Angga dari bui. Tak ada yang mengetahui, jika sosok di balik pakaian serba gelap itu adalah dirinya. Entahlah, mungkin saat ini pihak kepolisian sedang geger perkara kaburnya seorang tahanan dari penjara.Namun, Angga harus menerima kenyataan pahit tentang ibunya yang sudah meninggal dunia, sementara adiknya-Ruby hidup sebatang kara. Angga cukup ngilu mengetahui kabar buruk ini. Namun, tak bisa juga menjenguk makam ibunya sekaligus menemui Ruby sang adik. Angga tak boleh berlama-lama ada di kota itu. Doni menyarankannya aga