Cinta.
Ingin pergi jauh!
Aku jenuh!
Jenuh dengan duniaku!
Jenuh dengan rutinitasku!
Lelah dengan pekerjaanku yang menyita nyaris dua puluh empat jam hariku!
Bosan selalu berpura-pura berperan menjadi orang lain!
Bosan dengan puja-puji penuh kepalsuan demi kebanggan diri!
Bosan dengan hiruk pikuknya infotainment dan media sosial yang selalu mengumandangkan namaku, yang sebagian besar isinya hanya berupa kontroversi, alih-alih prestasi. Padahal sudah sedemikian lelahnya aku memberi yang terbaik demi dedikasiku pada dunia entertainment selama lebih dari lima tahun ini!
Bosaaaaaan!!!!
Berulang kali Cinta memekik kalimat-kalimat itu di dalam hati. Karena dia tak sanggup berteriak lagi, seakan lidahnya sudah terkunci. Hanya air mata yang mengiringi.
Dia juga manusia biasa yang punya rasa lelah. Rutinitas dengan setumpuk jadwal yang menggulungnya setiap hari membuatnya bagaikan robot yang sudah di pr
Hampir dua jam lamanya Cinta dirias oleh dua orang make up artist yang bergenre sama dengan Sabrina. Riasan wajah yang nyaris sempurna dengan kesan smokey eye yang sangat natural dan elegant. Ditambah dengan rambut panjangnya yang lurus licin dan melambai sangat seksi ketika tertiup angin dari pintu balkon yang terbuka.Sejujurnya hari ini dia sangat lelah. Walaupun seharian kemarin tak berkegiatan apapun karena Sabrina sengaja mengosongkan jadwalnya agar Cinta bisa menenangkan diri dan beristirahat. Itu pun atas paksaan sang ayah dengan mengurungnya di kamar, seperti seorang narapidana di dalam penjara. Semata-mata karena tak ingin Cinta nekad kabur dari rumah untuk menemui Pram. Namun karena jadwal syuting yang tak bisa Cinta abaikan, sang ayah akhirnya mengijinkannya keluar, tapi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.Sesaat Cinta menghela napas panjang mengingat kemarin malam dia dipertemukan oleh ayahnya dengan seorang pria bertubuh tinggi besar dengan wajah ho
Dari tempatnya berdiri, di samping gerbang besar berpagar tinggi, di balik batang pohon akasia yang berdaun rindang, Pram terpaku menatap sosok Cinta yang sedikit kepayahan menyingkap bagian bawah gaun, tengah melangkah cepat menuju ke arahnya.Tak ada yang mampu melukiskan bagaimana indahnya pertemuan dua insan yang saling mencinta, yang kini terpaksa harus berjauhan lantaran jurang perbedaan yang membentang.Jarak mereka tak kurang dari tiga langkah saja. Jarak yang cukup dekat untuk mempersilahkan bola mata Cinta menatap Pram begitu lekat.Jarak yang mampu memberi kesempatan untuk Cinta mengagumi penampilan sosok tinggi tegap Pram yang berbalut kemeja biru dan celana jeans itu.Jarak yang membuat hati Cinta berkembang berkali lipat menikmati lesung pipi Pram yang tercetak bersama senyuman yang sangat dia rindukan.Dengan jantung berpacu kencang, bukan karena takut ketahuan Bastian, namun lebih karena menjumpai sang kekasih hati, Cinta mengikis j
Pramudya.Perlahan kelopak matanya terbuka, walaupun masih terasa sangat berat karena pengar yang melanda begitu hebat. Sesaat dia memicing dan mengerjap lemah demi menyesuaikan cahaya yang menusuk tajam di bola matanya.Bau obat-obatan seketika menyengat indera penciuman. Aroma khas ruang perawatan rumah sakit itu seakan mampu membangkitkan kesadarannya, walaupun belum sepenuhnya sempurna.Semua yang berada di sekitarnya serba putih, ada juga nuansa hijau muda di beberapa bagian ketika netranya sudah terkuak lebar.Pram tak ingat bagaimana dia bisa berada di ruang perawatan ini dan sudah berapa lama tak sadarkan diri. Akan tetapi benaknya masih mampu memutar kembali rekaman peristiwa yang dia alami. Peristiwa yang membuatnya terkulai tak berdaya. Pengeroyokan tiga lawan satu yang melumpuhkannya tanpa ampun.“Bu Cinta .... “ desisnya berat karena tenggorokan yang tercekat.Lantas terdengar bunyi geseran kursi di seb
Pramudya.Satu minggu berada di ruang perawatan rumah sakit, kondisi Pram tampak semakin membaik. Luka-luka di wajah sudah mulai mengering, hanya meninggalkan bekas yang masih mencetak warna kebiruan di bawah mata dan sedikit di sudut bibir.Tulang rusuk yang patah belum sepenuhnya pulih, namun dia mulai mampu menggerakan tubuh dengan perlahan untuk meregangkan persendian yang sempat kaku dengan berbagai pengobatan dan anestesi yang diberikan.Sebuah keberuntungan bagi Pram, karena Bu Ocha dengan keihklasan dan begitu perhatian mendampinginya selama masa perawatan. Dengan tekun dan penuh kasih sayang, Bu Ocha merawat Pram hingga dia pun rela tidur di sofa untuk menemani Pram hampir dua puluh empat jam.Yang menjadi konsentrasinya saat ini adalah Pram menjalani perawatan dan pengobatan semaksimal mungkin agar segera sembuh total dan pulih seperti sedia kala.Sepanjang hidup, baru kali ini Pram merasa diperhatikan sedemikian dalam layak
Pramudya.Dengan kepala setengah tertunduk dia menatap layar gawainya yang pecah parah. Batangan itu nyaris terbelah dua. Bahkan baterainya pun sudah retak di bagian tengah. Bukan hanya tak bisa menghubungi orang-orang yang menurutnya penting. Namun yang lebih menyesakkan, foto-foto wajah Cinta pun yang tersimpan tak bisa lagi dia pandang.Walaupun dua hari lalu, dia masih berkesempatan bicara dengan Cinta melalui ponsel Sabrina. Namun jelas dia merasa tak puas karena Cinta tidak bisa datang menemuinya lantaran Pak Abraham mengurung gadisnya itu hingga saat ini.Saat itu, Pram hanya bisa memandangi bola mata Cinta yang terus menerus meneteskan air mata. Serta wajah yang sembab tanda gadis itu menangis untuk waktu sekian lama. Padahal hatinya gemas ingin sekali menyentuh pipi yang basah dan menghapus air mata itu. Namun apa daya dia tengah terbaring lemah dan juga terhalang oleh perintah Pak Abraham yang begitu keras memisahkan dirinya dengan Cinta.&l
Dari jendela pesawat di sebelah kirinya, Pram melemparkan pandangan ke daratan di bawah sana. Tampak terbentang luas bagai jutaan titik penuh warna yang lama kelamaan semakin menjauh dan mengecil, lalu hilang di balik awan putih yang berarak di angkasa.Pram memejamkan mata merasakan sesak yang tiba-tiba hadir di dalam dada saat membayangkan wajah gadis tercinta yang terpaksa dia tinggalkan tanpa sempat bertemu, walaupun untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal sementara waktu dan meminta gadis itu untuk menunggu.Namun dia yakin Cinta juga merindu seperti dirinya saat ini. Karena setiap kali hatinya melirihkan nama Cinta, sekujur tubuhnya serasa menghangat dan jantungnya berdebar hebat.Pagi tadi sewaktu Bu Ocha mengantarnya ke bandara, dia memohon pada Bu Ocha untuk segera menyempatkan diri bertemu Sabrina dan meminta nomor pribadi Cinta. Agar dia dapat menghubungi gadis itu begitu sampai di tempat tujuan.Dan Bu Ocha berjanji hanya dengan menganggukka
Tegak dan berusaha bersikap tenang, Pram duduk di sofa single tengah menunggu Burhan yang menghadap manajer HRD di dalam ruangan.Penampilannya tampak rapi pagi ini. Mengenakan celana basic hitam dan kemeja biru tua. Sepatu pantofelnya mengkilat licin tanpa noda. Rambut klimisnya membingkai wajahnya yang segar merona. Tak ketinggalan keharuman khas pria yang menguar dari tubuh tegapnya. Para karyawan wanita yang berada di balik kubikel sesekali meliriknya penuh tanda tanya. Bahkan ada beberapa yang melemparkan tatapan nakal menggoda sambil berbisik-bisik dengan sesama rekan kerja. Namun Pram tetap bersikap datar, walaupun merasa risih karena dirinya kini menjadi santapan mata para wanita.Perfect! Pesona Pram memang tak terbantahkan.Walaupun kepala tetap tegak, namun bola mata dia arahkan ke bawah. Sesekali dia melirik laju jarum jam tangannya. Sudah lewat tiga puluh menit dia duduk sendiri menunggu Burhan di dalam sana.Pintu ruangan yang
Tok ... Tok ... Tok....Terdengar ketukan dari pintu kamar. Pram yang baru selesai berpakaian melangkah cepat menuju pintu.Ketika Pram menguak pintu itu lebar, seorang wanita tua tampak berdiri tegak di hadapannya dengan tersenyum ramah. Namun tiba-tiba senyuman wanita itu memudar, seiring dengan bola matanya yang membelalak lebar. Pram menangkap reaksi yang berubah secepat kilat itu, mengernyitkan dahi menatap wanita di hadapan. Dia merasa seperti ada sesuatu yang salah dengan dirinya.“Bu? Selamat pagi.” Pram menyapa lebih dulu. Spontan membuyarkan keterpanaan wanita itu.Wanita itu gelagapan disapa oleh Pram. Kemudian merubah raut wajahnya dengan menghadirkan kembali senyuman ramah seperti di awal tadi.“Eeeh ... iya. Se ... selamat pagi,” balasnya gugup.“Ehmm ... Ibu ... siapa?” tanya Pram hati-hati demi melihat sinar mata wanita itu begitu sendu menatap dirinya.“Oh, iya.