"Sekarang teruskan saja aktingmu. Pura-pura aja nggak tau, sambil kumpulin bukti. Seiring kamu cari bukti, buat surat perjanjian. Siapa yang berkhianat maka tak ada harta gono–gini saat bercerai. Semua jatuh ke tangan yang diselingkuhi," ucap Sandra membuka pikiranku. Benar kata sahabatku itu, aku ingin lihat, jika Mas Bagas Miskin Alika masih mau sama dia. " Tapi, bagaimana caranya, Ra? Mas Bagas pasti nggak mau tanda tangan jika tau isinya. Lah wong dia memang selingkuh." "Itu urusan gampang! Nanti aku minta tolong Mas Dika supaya bisa dapat tanda tangan Bagas. Sekarang mereka lagi ada proyek barang, Bagas nggak akan curiga." Seketika mataku berbinar. Senangnya bukan main, semoga saja semuanya berhasil. Tunggulah, Mas. Kau yang membuat aku jadi jahat begini. Setengah mati aku menjaga kesetiaan hanya untukmu, ternyata seenak jidatmu menipuku. Bahkan kau membawa selingkuhanmu ke rumahku, dan sekarang nyawaku hampir saja melayang akibat ulahnya. Akan kubalas setiap luka yang
"Ke–ke–keracunan ...." jawabnya terpotong-potong. Gugup terlihat jelas di wajah tampannya. Suaranya bergetar, mengulang ucapanku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Aku tahu gugupnya hanya ingin menyembunyikan kesalahan, bukan karena rasa khawatir atau kaget. Aku sangat yakin Mas Bagas tau, jika Alikka memang telah meracuniku. "Sudahlah, Mas! Percuma juga ngomong sama kamu! Toh, aku nggak penting juga 'kan," ucapku, lalu memejamkan mata kembali. Rasa benci mendominasi otak, ingin rasanya men–smackdonw pria kadal ini. "Sayang, kamu ngomong apa sih? Tentu saja kamu itu penting buatku," ucap Mas Bagas. Lelaki itu membelai kepalaku yang tetap memejamkan mata. Belaiannya sama sekali tidak membuatku merasa nyaman. Hatiku sudah tawar, sejak tahu ia membagi cintanya dengan Lika. Setiap sentuhannya membuat aku merasa jijik, membayangkan, jika tangan itu juga membelai wanita busuk itu. "Sudahlah, Mas! Baik kamu berangkat kerja aja, aku mau istirahat." Aku menyisihkan ta
Jam menunjukkan pukul setengah enam sore, saat mobil Mas Fiqri tiba di depan rumahku. Sengaja Mas Fiqri memarkirkan mobilnya di pinggir jalan karena memang berniat langsung pulang setelah mengantarku. Keadaan rumah terlihat sepi, tapi di teras mobil Mas Bagas sudah terparkir. Menandakan pemiliknya sedang berada dirumah. Lagi-lagi hatiku merasa perih. Aku di rumah sakit sendirian, tidak ada yang menemani. Mas Bagas malah lebih memilih pulang ke rumah menghabiskan waktu bersama madu busuknya, membiarkanku sendirian. Sungguh tega kamu Mas! "Assalamualaikum," salamku, tapi tak mendapat sahutan dari dalam. Saat hendak membuka pintu, ternyata tak dikunci. Aku segera menyerat langkah masuk ke dalam rumah. Seketika terlintas di kepala, ingin memergoki kelakuan Mas Bagas dan Lika saat aku tak ada di rumah. Pasti mereka lagi asyik, hingga tak menyadari kedatanganku. Langkah lebar, segera ku aktifkan ponsel di tangan, ingin merekam semua kejadian nanti. Siapa tau bisa dijadikan buk
Meski ragu, tapi akhirnya si Bibik melakukan juga apa yang kusuruh. wanita renta itu segera menyeret langkahnya menuju kamar Lika. Lagi-lagi Mas Bagas dan Alika terperangah. Mungkin keduanya bingung, harus berbuat apa, dan bagaimana aku bisa tahu rahasia mereka berdua. Bahagia sekali bisa melihat wajah kaget keduanya. Siapa suruh berani bermain api, 'kan terbakar sendiri akhirnya. "Mas, aku nggak mau keluar dari rumah ini, Mas," Lakukan sesuatu!" ucap Alika pada suami sirinya. Madu busuk itu merengek persis anak kecil minta jajan. Ingin rasanya tertawa jahat melihat ketakutan Lika. Tadi aja sok-sokan, berasa Nyonya. Kamu salah memilih lawan Alika Putri. Aku bukanlah tipe istri yang diam bila ditindas suami. Cinta memang diperlukan dalam sebuah hubungan, tapi cinta bukan jaminan mencapai kebahagian. Meski tanpa Mas Bagas, aku bisa menggapai bahagiaku sendiri. Silahkan kau miliki dia sepenuhnya. Aku lepas tangan. Ku katakan bye bye. "Sa–sayang ... kita bisa bicarakan ini b
"Berhenti, Dewi! Sekali saja kau melangkah keluar maka ..." Mas Bagas tak melanjutkan ucapannya. Kubalikkan badan demi melihat laki-laki yang sebentar lagi akan ku gugat cerai itu. Setelah kejadian ini, hatiku mantap untuk berpisah darinya. Tiada lagi keraguan. "Maka apa, Mas? Ayo lanjutkan ucapanmu. Kenapa berhenti," ucapku menantangnya. Pria itu menelan ludahnya, terlihat dari jakunnya yang naik turun. "Ok. Biar aku yang lanjutkan. Maka kau akan menalakku, itu 'kan lanjutannya, Mas? silahkan saja!" Kuteruskan langkah yang sempat berhenti. Langkah kakiku ini, adalah awal dari kehancuran kalian. Lihat saja! "Dewi, tunggu! Sayang ... Yang jangan pergi. Jangan begini, Yang! Jangan tinggalin Mas." Dasar pecundan*! Dia pikir ancamannya mempan. Tidak lagi sekarang, aku bahkan sudah siap ditalak olehnya. Dengan sedikit berlari Mas Bagas menyeret kaki mendekat. Pria itu melepas pegangannya pada madu busuknya, mencoba mencegahku, tapi aku tak peduli. Tekatku sudah bulat, har
Bab 22"Dewi ...." Mas Bagas memanggil namaku, sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. Kulihat dari balik kaca, laki-laki itu menatap sendu ke arah mobil Mas Fiqri. Selamat tinggal, Mas! Hubungan ini sudah benar-benar berakhir. Kuhela nafas panjang setelah duduk menyandarkan belakang ke sandaran kursi mobil. Hari ini sangat melelahkan, penuh drama dan menguras emosi. Pertengkaran dengan Mas Bagas dan Alika bukan saja membuatku sakit, namun juga lelah jiwa dan raga. Aku tidak menyalahkan takdir atas retaknya pernikahanku. Mungkin Tuhan ingin menaikan levelku dengan adanya ujian ini. Layaknya anak sekolah yang harus menghadapi ujian agar bisa naik kelas. Bukan kecewa karena tersingkirkan, tapi kecewa karena tiada kejujuran dalam pernikahan yang mati-matian kujaga segenap jiwa. Perih yang terlalu dalam kurasakan karena pengkhianatan Mas Bagas. Dua tahun menjalin ikatan, tak ada angin tak ada badai tapi kapal pernikahan yang baru saja berlayar karam di lau
PoV Author Sementara di tempat lain, setelah kepergian Dewi, Alika merasa sangat senang dan bahagia. Wanita itu berpikir jika telah berhasil menyingkirkan madunya dan menjadi pemenang. Dengan sombongnya ia memerintah Bibik ini dan itu. Berasa telah menjadi Nyonya sesungguhnya. Dengan angkuh ia berbuat semaunya, tak ada lagi drama orang tua dan anak. "Bik, segera pindahkan semua barang saya ke kamar utama. Mulai sekarang sayalah pemilik kamar itu," ucapnya dengan nada angkuh. Benarlah, harta itu bikin silau. Selain dendam masa lalu, istana mewah Dewi menjadi incaran Alika. Dengan segala upaya ia menjerat Bagas, agar bisa masuk ke dalam pelukannya kembali. Sungguh, perselingkuhan tak akan pernah terjadi tanpa keinginan kedua pihak. Bagas yang kurang iman terjerat pesona Alika, mantan kekasihnya, meskipun, sebenarnya cintanya besar untuk Dewi, istrinya. Perlahan wanita itu berjalan mengekor Bibik yang telah lebih dulu melangkah masuk ke dalam kamar utama. Wanita itu berdecak kagum s
[Morning, siputku.] Isi pesan yang pertaman. Spontan aku memonyongkan bibir lima senti, kemudian menariknya menjadi senyuman. Ternyata kakakku masih seperti dahulu, ia masih ingat denganku. Seketika ingatanku tertarik ke masa lalu. Masa-masa remaja, masa yang penuh kebahagian. Meski tak pernah merasakan kasih sayang orang tua, tak lantas menjadikanku anak yang kurang kasih sayang. Kasih sayang dari seorang kakak tetap bisa kurasakan. Meski tanpa ikatan darah namun kasih sayang yang ia berikan sangat berlimpah. [Bersiaplah. Aku akan menjemputmu. Seseorang ingin bertemu denganmu.] Isi pesan yang kedua. Aku mengernyitkan dahi, heran. Siapa kira-kira gerangan yang ingin bertemu denganku. "Ah, Mas Fiqri bikin penasaran aja." Aku membatin [Assalamualaikum, Wi. Nanti jam 10 ketemuan yuk! Masih penasaran nih! Ku jemput di hotel. Semangat!] Isi pesan yang ketiga. Senyum mengembang membaca pesan yang ketiga. Pesan dari Sandra sahabatku. Sandra adalah bukti, darah memang lebih kental da