Mata Mayang membelalak; terkejut saat Bu Andah memberikan formulir pengajuan ujian skripsi bulan depan. Mayang tidak bisa menolak. Ia menerima kertas formulir itu dengan berat hati."Isi sekarang saja, takutnya nanti kamu malah lupa dan sengaja tidak mengisi formulir itu." Bu Andah tidak ingin dibantah saat ini. "Lagi pula, apa bedanya ujian bulan depan dengan semester depan. Bulan depan setidaknya bisa mengurangi bebanmu. Saya tidak tahu ada masalah apa yang menimpamu saat ini, tapi cobalah untuk profesional. Selesaikan satu per satu masalah yang kamu hadapi saat ini," nasihat Bu Andah dan membuat Mayang terdiam.Jari-jemari Mayang pun seolah patuh pada perintah. Semua diisi dan segera diserahkan pada Bu Andah. Mayang juga mencatat semua persyaratan untuk ujian. Ia harus mencetak transkrip nilai, sebagai salah satu syarat untuk bisa ujian skripsi."Ini, Bu. Saya permisi dulu. Terima kasih atas bantuan Ibu selama ini," pamit Mayang sambil berdiri dari kursinya lalu menyalami dosen pem
"Hanya tinggal jemur aja. Itu juga udah tinggal tiga lembar aja," jawab Mayang sambil tersenyum bahagia.Mereka berdua masuk ke dalam kamar Mayang. Kamar gadis berkulit putih itu kini sudah rapi dan wangi. Mayang sudah membersihkannya dengan baik dan benar. Bu Darsih segera duduk dan meluruskan kakinya yang sangat pegal. "Bu, Mayang buatkan teh hangat dulu, ya. Ibu pengen camilan apa? Kayaknya yang jual gorengan belakang kosan udah buka," kata Mayang sambil mengambil dua cangkir untuk membuat teh hangat."Ga usah beli-beli. Ini Ibu bawakan banyak makanan. Ada wingko babat, ikan bandeng lengkap dengan sambalnya, ini juga Ibu bawa kerupuk kulit ikan kesukaan kamu, kata Bu Darsih sambil membuka kantung plastik besar yang tadi dibawanya."Wah ... makasih, Bu. Mayang ke belakang dulu, ya," pamit Mayang pada sang Ibu.Mayang segera ke dapur milik tempat indekos ini. Saat hendak mengambil teh, Mayang melihat daun mint dan madu yang selalu disediakan untuk Revan. Mayang segera membuang dua b
Mayang tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi yang putih dan berjejer rapi. Ia tidak mungkin mengatakan pada ibunya jika selama lebih dari dua puluh hari tidak mencuci baju. Beliau pasti akan marah dan mencecar dengan banyak pertanyaan. Mayang memilih menyimpan rapat masalahnya itu."Bu, Mayang mandi dulu aja. Nanti baru beli nasi di belakang kosan saja." Mayang segera menyambar handuk yang tadi diangkatnya dari jemuran samping kamarnya."Anak gadis kok jam segini belum mandi sama sekali. Pamali atuh," kelakar Bu Darsih dan membuat Mayang terkikik geli.Logat khas Jawa milik ibunya sangat lucu ketika menirukan ucapan orang Sunda. Sama sekali tidak cocok dan lucu. Bu Darsih memang sangat lucu dan bisa menghibur Mayang saat ini. Mayang pun segera membersihkan tubuhnya dan setelahnya akan makan malam bersama dengan sang ibu.Malam semakin larut dan sangat dingin kali ini. Bu Darsih sudah terlebih dahulu terlelap tak lama setelah selesai makan malam. Mayang tidak bisa memejamkan mata sa
Mayang segera memblokir kembali mantan kekasihnya setelah sebelumnya membatalkan pertemanan. Ia pun kembali menonaktifkan media sosialnya. Cara yang dianggap efektif untuk melupakan rasa sakitnya pada Revan. Mayang kembali menuju ke bank, antrean pun sudah berkurang. "May, dari mana?" tanya Yani yang mendadak berada di bank yang sama dengan Mayang.Mayang menatap Yani dengan tatapan penuh tanda tanya. Bukan menuduh, tetapi teman satu indekos-nya selalu berada di dekatnya saat ini. Mayang merasa ada yang aneh dengan sikap Yani selama ini. Entah apa yang disembunyikannya."Dari depan, Yan. Ini mau ambil uang dulu. Eh, maksud aku buka blokiran atm aku. Keblokir udah lama banget ga ambil uang jadi lupa pin," kata Mayang memberikan alasan."Oh ... bareng aja, yuk," pinta Yani yang seolah dengan nada memaksa. "Maaf, Yan, aku sendirian saja. Karena emang habis ini aku masih ada urusan ke kantor fakultas." Mayang memberikan alasan pada Yani. Yani menghela napas panjang. Kali ini usahanya g
Mayang menghela napasnya panjang. Saat ini ia belum siap untuk menjelaskan apa yang menimpanya. Ibunya pasti akan ikut terpukul dengan apa yang Revan lakukan. Biar bagaimana pun, Bu Darsih adalah pengasuh Revan saat kecil."Aku ga depresi Bu. Depresi itu bahasa mudahnya adalah lagi ada tekanan batin. Aku kemarin sempat down dan ga semangat karena harus revisi skrispsiku. Makanya aku milih berdiam di kosan. Eh, ga tahu gimana tiba-tiba ada kabar aku depresi." Mayang berusaha menyakinkan ibunya saat ini. "Aku emang sengaja diam aja sih, ga ada kemana-mana. Mungkin itu yang bikin mereka mengira kalo aku depresi, Bu," lanjut Mayang sambil menatap ke arah sang ibu. "Apa sesulit itu aaat mengerjakannya?" tanya Bu Darsih penuh selidik pada sang putri."Iya, Bu. Banyak kok temen aku yang kadang milih ga ngerjain skripsi itu. Ya, ga cocok sama dosen pembimbinglah, susah cari referesi, malas karena harus revisi yang setiap kali bimbingan, dan masih banyak lagi. Intinya, skripsi itu momok bagi
Murni terpaksa mengikuti Ara menuju ke warteg yang letaknya kini hanya tinggal beberapa meter dari tempat mereka berdiri. Wanita yang usianya sudah tidak muda lagi itu menoleh ke arah Ara. Gadis yang sangat baik hati, hanya entah mengapa, Murni belum bisa menerima kehadiran Ara saat ini. Beliau tahu jika Revan memendam rasa sakit yang teramat dalam ketika dipaksa berpisah dengan Mayang."Revan suka masakan apa pun dan tanpa penyedap masakan. Jadi hanya bumbu-bumbu alami saja." Murni tidak menjelaskan dengan detail apa yang disukai oleh anaknya itu pada calon menantunya."Oh ... baiklah, Bunda. Nanti Ara akan belajar memasak dengan cepat agar Mas Revan mau makan masakan Ara. Atau jika tidak keberatan, Ara ingin Bunda mengajari Ara memasak," kata Ara sambil tersenyum ramah kepada Murni."Boleh saja." Murni hanya menjawab dengan singkat.Mereka berdua sampai di warteg yang tadi ditunjuk oleh Ara. Murni tidak selera makan saat ini. Hanya sekadar formalitas agar Ara tidak kecewa. Murni ter
Ara segera duduk saat menyadari ada calon suaminya berada di ruangan ini yang entah sejak kapan. Rasanya ia sangat malu, bertemu dengan calon suaminya dalam keadaan seperti ini. Ara bangun dengan cepat dan menjatuhkan jas yang entah sejak kapan menyelimutinya. Sontak membuat ketiga pria dewasa itu menoleh ke arah Ara yang kini wajahnya memanas. "Kamu sudah bangun?" tanya Haris pada putri semata wayangnya itu."Hmm ... iya, Pa. Papa sedang apa?" tanya Ara dan setelah menyadari jika pertanyaan itu sangat konyol membuat wajah manisnya kembali memanas. "Kami hanya rapat kecil saja. Sekitar satu jam yang lalu. Saat Papa dan Revan juga Hardi datang kamu sudah pulas tertidur." Haris beranjak dari kursinya dan menuju ke sofa yang diduduki oleh Ara. "Bagaimana tadi saat pergi dengan Bundanya Revan? Apakah kamu menyusahkan beliau?" tanya Haris ingin tahu apa yang dilakukan Ara hari ini."Em ... itu tadi hanya sebentar sampai makan siang saja. Ara tadi makan di warteg. Bunda Murni tidak begitu
Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Hardi yang mengemudikan mobil. Revan tampak sedang memainkan ponselnya dengan sangat serius. Dahi cucu bos Adhyatsa grup itu tampak mengernyit dalam saat ini."Halo, jadi bagaimana perkembangannya?" Revan sedang menghubungi seseorang yang entah siapa. "Surat-surat rumah itu ada di tangan kakek Anda. Kami tidak bisa memintanya saat ini.""Apa?! Rumah yang dibeli dari hasil curian uang perusahaan itu harus segera diamankan surat-suratnya. Paksa orang tidak tahu diri itu!" Wajah Revan memerah karena menahan amarah. Sesuka hati saja sang kakek tidak mau menyerahkan rumah itu. Tunggu saja, Revan akan menggunakan tangan besinya untuk membuat Adhyatsa bertekuk lutut. Susilo memang benar-benar membuat semuanya menjadi runyam."Di, antar saya ke rumah saja. Besok pagi informasikan jika akan ada rapat mendadak. Hari ini saya mau urus uang yang diambil Kakek itu. Setidaknya jika sertifikat itu berada di tangan kita, perusahaan masih ada jaminan." Revan menga