Ara menatap sang suami karena tidak paham dengan ucapannya. Pertanyaan yang mana? Ara tidak mendengar pertanyaan dari Revan. Ara tampak kikuk saat ini."Kamu apa kabar, Ra?" Revan kembali mengulang pertanyaannya kali ini."Baik." Ara menjawab dengan singkat pertanyaan sang suami.Baik hanya yang tampak dari luar saja. Saat ini Ara sedang berperang mati-matian dengan hatinya. Siapkah ia ketika mengetahui fakta jika ternyata Mayang dan Revan masih saling mencintai? Ara tidak bisa berjanji apa pun saat ini."Kita makan saja dulu," kata Inama sambil mempersilakan menantu mereka untuk duduk. Revan mengambil tempat duduk tak jauh dari Ara. Ia berusaha semua tampak alami. Jika biasanya menjauh, kali ini harus berusaha dekat. Revan belum siap jika harus kehilangan Adhyatsa Grup."Ra, biar aku ambilkan nasinya," kata Revan sambil mengambil piring milik Ara.Haris berpura-pura tidak melihat apa yang dilakukan oleh Revan. Ia yakin jika itu hanya akting saja. Realitanya pasti tidak akan seperti
"Ma, aku masih istri sah Mas Revan. Tidak seharusnya aku pulang ke rumah ini. Pasti akan banyak gunjingan. Aku rasa mereka juga takut buat datang ke sini," kata Ara dan membuat Inama berkedip beberapa kali.Inama tidak mungkin bisa membiarkan Ara datang kembali pada keluarga Adhyatsa. Kakek Revan itu adalah salah satu penyebab Panji meninggal dunia. Kecelakaan yang dialami oleh papa Revan adalah rekayasa yang dibuat oleh Adhyatsa. Kakek tua itu menginginkan aset perushaan Adhyatsa Grup."Baiklah. Mama, harus bicarakan ini semua dengan Papa. Lagian kamu masih harus terapi jalan." Alasan yang dibuat oleh Inama sangat logis kali ini."Aku bisa minta ditemani sama Bunda Murni dan Maa Revan. Mas Revan pasti mau, Ma. Aku janji, pernikahan aku dan dia akan baik-baik saja," kata Ara dengan sungguh-sungguh.Baik-baik saja katanya? Tidak, Inama bahkan tahu bagaimana Revan memperlakukan Ara. Mbok Ijah yang setiap saat melaporkan mereka semua. Katakanlah, Mbok Ijah adalah mata-mata yang andal dan
"Bu, mungkin Mayang memang sangat sibuk. Kebetulan saya yang sedang ada waktu," kata Gilang dengan tulus.Darsih menatap lekat laki-laki muda yang ada di depannya itu. Rasanya Mayang terlalu bodoh jika melepaskan Gilang begitu saja. Hubungan mereka juga bisa dikatakan sedang tidak baik-baik saja. Mayang seolah selalu menghindari Gilang.Entah hanya prasangka Darsih atau memang seperti itu adanya. Wanita paruh baya itu mengembuskan napas berat. Tampak seperti sedang menunjukkan betapa berat masalah antara anak dan ibu. Gilang tampak merasa gundah saat ini."Nak Gilang, kalo ada wanita lain yang lebih baik dari Mayang, Ibu, tidak masalah." Darsih seolah paham bagaimana arah hubungan Gilang dan Mayang."Bu, kami baik-baik saja. Jangan risaukan hubungan kami. Saya masih sering ke kafe Mayang. Pun sebaliknya kadanya dia yang datang ke tempat indekos saya," kata Gilang yang sekarang pandai mengarang cerita.Bulan depan, Gilang akan wisuda untuk S2-nya. Ia telah lulus dalam waktu tidak lebih
Rupanya Tuhan mengabulkan doa Ara. Mayang datang tanpa harus bersusah payah mencarinya. Katakanlah saat ini semesta sedang bercanda. Mayang datang bersama dengan seorang perempuan yang mungkin adalah pegawai kafe tempatnya bekerja."Kabarku, baik, May. Ke mana saja kamu?" tanya Ara setelah Mayang mengurai pelukan mereka."Aku pulang ke Semarang, Ra. Sekarang aku buka kafe kecil-kecilan." Mayang belum sadar jika ada Revan berdiri tepat di belakangnya."Mas, kenalin, ini Mayang, sahabat aku saat kuliah dulu," kata Ara sama sekali tidak 'nyambung' dengan obrolan Mayang.Revan tampak menahan napas saat Mayang berbalik badan. Mereka saling terkejut satu dengan lainnya. Mayang sedikit bisa menguasai keadaan lalu mengulurkan tangan pada Revan. Revan lama menyambut uluran tangan mantan kekasihnya itu.Wajah Revan kali mendadak pucat. Ia sangat takut dan tidak menyangka jika secepat ini akan bertemu dengan Mayang. Wanita masa lalu Revan itu juga masih merasa seperti mimpi. Tatapan keduanya pen
Mayang sangat mempercayai Lina sepenuhnya. Hal ini juga membuat pegawai lainnya iri. Lina adalah karyawati yang masuk paling terakhir di antara pegawai lainnya. Tidak ada yang tahu mengapa Mayang sangat dekat dengan wanita berusia dua puluh tiga tahun itu."Baiklah, kita coba dua ratus porsi bakso untuk semua varian itu. Masing-masing dua ratus." Mayang mengambil ponsel dari dalam tas kecil yang selalu dibawanya."Kalo semua varian yang baiknya masing-masing lima puluh atau paling banyak tujuh puluh lima saja dulu, Bu. Namanya 'kan sedang menguji seberapa diminati dari bakso itu," kata Lina memberikan pendapatnya pada Mayang.Mayang mengangguk sebagai jawaban. Benar juga kata Lina, masih masa percobaan dan kafe ini belum pernah menjual bakso. Kebetulan menu bakso itu bukan masakan Mayang sendiri. Jadi, perlu mencoba agar tahu bagaimana respons dari pengunjung. Hari Sabtu datang dengan cepat. Seperti yang sudah direncanakan, Ara dan sang suami pergi ke kafe milik Mayang. Kebetulan wan
Entah ada keperluan apa, Adhyatsa justru berada di kafe milik Mayang. Laki-laki tua itu datang bersama salah satu menantu laki-lakinya. Wajah Mayang memucat karena rasa takut yang luar biasa. Di depannya, berdiri sosok yang menentang hubungan antara ia dan Revan sejak bertahun-tahun lalu. "Lho? Kakek ke sini?" tanya Ara dengan ramah seperti biasanya. Adhyatsa lantas berusaha mengubah mimik wajahnya seolah tidak terjadi apa pun. Ia duduk tepat di samping Ara tanpa dipersilakan. Tatapan tajam dilayangkan Adhyatsa pada Mayang. Tatapan itu membuat Mayang merasa sedang dikuliti hidup-hidup. "Iya. Sekedar mampir saja. Menantuku lapar katanya," jawab Adhyatsa yang tak melepas pandangan pada Mayang. "Oh, pesen mie rebus aja, ini sangat enak dan bisa aku rekomendasikan untuk beberapa teman di kantor," kata Ara seolah tidak terjadi apa-apa. "Kakek tidak jadi makan, Ra. Haram bagiku untuk makan makanan buatan perempuan bermuka dua ini." Adhyatsa beranjak dari duduknya. "Wanita yang mempunyai
Mayang sangat mempercayai Lina sepenuhnya. Hal ini juga membuat pegawai lainnya iri. Lina adalah karyawati yang masuk paling terakhir di antara pegawai lainnya. Tidak ada yang tahu mengapa Mayang sangat dekat dengan wanita berusia dua puluh tiga tahun itu."Baiklah, kita coba dua ratus porsi bakso untuk semua varian itu. Masing-masing dua ratus." Mayang mengambil ponsel dari dalam tas kecil yang selalu dibawanya."Kalo semua varian yang baiknya masing-masing lima puluh atau paling banyak tujuh puluh lima saja dulu, Bu. Namanya 'kan sedang menguji seberapa diminati dari bakso itu," kata Lina memberikan pendapatnya pada Mayang.Mayang mengangguk sebagai jawaban. Benar juga kata Lina, masih masa percobaan dan kafe ini belum pernah menjual bakso. Kebetulan menu bakso itu bukan masakan Mayang sendiri. Jadi, perlu mencoba agar tahu bagaimana respons dari pengunjung. Hari Sabtu datang dengan cepat. Seperti yang sudah direncanakan, Ara dan sang suami pergi ke kafe milik Mayang. Kebetulan wan
Haris memperhatikan sang putri dengan tatapan tajam. Ia ingin agar sang putri berkata dengan jujur. Murni ikut mendengarkan dari balik pintu sekat antara ruang tamu dan ruang samping rumah mereka. Murni jelas tampak sangat ketakutan."Aku sudah berusaha, Pa. Hanya saja, Tuhan belum memberikan kepercayaan padaku juga Mas Revan. Apalagi kondisiku saat ini belum benar-benar fit. Aku masih memikirkan agar kembali sehat dan bisa berjalan dengan baik dulu," kata Ara memberikan penjelasan setenang mungkin pada sang papa."Baiklah. Hanya saja, sampai kapan?" tanya Haris yang mendesak dan memojokkan Ara. "Aku tidak bisa menjawab karena semua ini adalah kuasa-Nya. Aku dan Mas Revan hanya berusaha saja." Ara tidak salah mengatakan hal itu.Andai Haris tahu jika sang putri masih perawan, maka akan sangat murka. Artinya mereka hanya melakukan pernikahan di atas kertas saja. Tidak menjalankan kewajiban suami dan istri. Haris mengembuskan napas kasar; informasi yang didapatkan dari Gita rupanya mel