Mungkin setelah hari itu, semuanya berubah. Sejak Irsyad mengatakan bahwa aku telah mendapatkan sosok pengganti yang lebih baik, dia seakan ingin menunjukkan itikad bahwa dialah yang akan menggantikan ayah Raihan. Memang pria itu tidak menyatakan secara langsung rasa suka dan cinta, tapi sikapnya, membuatku merasa dihargai, dilindungi dan dimuliakan.Contoh kecilnya, saat kami berkumpul dengan teman teman, pria itu selalu ada di sampingku, dia berusaha membuatku nyaman dan tidak kaku membaur dengan yang lain. Dia tidak meninggalkanku sendiri demi bersenang senang dengan kawan lelakinya. Kemana pun pergi, kalau sempat dia akan mengantarku, setia menunggu lalu membawaku pulang lagi. Kupikir itu sudah hubungan yang lebih dari teman, meski secara tersirat dia jarang mengarah ke hubungan lebih daripada teman.*"Uhm, sudahkah kamu merasa siap untuk kehidupan yang lebih baik?" itu pertanyaannya ketika suatu sore mengantarku pulang."Apa maksudnya?"Aku meraba maksud yang tak mau kutebak s
"... Tidakkah kamu merasa bahwa kita memang sangat akrab dan orang-orang menilai bahwa kita memiliki hubungan khusus seperti sepasang kekasih? Aku sudah bahagia dan percaya diri bahwa kamu akan menerimaku, tapi ... kau mengutarakan penolakan bahkan sebelum aku mengatakannya," jawab pria itu sambil tertawa canggung."Apa hubungan harus dimulai dari ucapan cinta dan proses pacaran?""Tidak juga, aku dan kamu pernah jadi teman sekolah selama tiga tahun, sedikit tidak kau tahu aku. Ditambah sekarang ini, kita sering pergi ke acara dan berbisnis bersama, kita mendewasa dan berpikir, kurasa kau bisa menilai Aisyah.""Kalau begitu, pergilah ke rumah ayahku dan lamarlah aku di sana."Sesaat wajah yang tadinya sendu, langsung terkejut, mata hitamnya membulat lalu ada sunggingan senyum bahagia tergaris di bibirnya."Apa kau menerimaku?""Ini bukan tentang kita, jika kamu berpikir kita akan bahagia dan serasi bersaama, maka tak mengapa lanjutkan saja.""Lalu bagaimana dengan putramu yang sudah k
Mendengar ungkapan Irsyad yang lantang tentu saja Mas Hamdan semakin membabi buta dan langsung mengayunkan batang besi bengkok itu ke arah Irsyad.Tetangga yang yang baru saja terpana tentu saja langsung terperanjat dan berteriak untuk mencegah Mas Hamdan berbuat nekat."Jangan Mas Hamdan, ya Allah.""Stop!"Brak!Batang besi mendarat di punggung temanku dengan keras, kalau dibayangkan tentu bukan kepalang sakitnya, aku yakin, saat ini punggungnya merasa sangat ngilu dan lebam. Untung juga yang terkena bukan kepala, kepala karena Irsyad melindunginya dengan kedua lengan."Kurang ajar, jadi kau yang sudah memisahkan aku dan istriku," teriak Mas Hamdan, sambil menendang irsyad yang tersungkur karena pukulan besi."Tunggu Kak Hamdan, jangan begini!" Karman yang tiba tiba datang langsung menghela Mas Hamdan, dihadangnya pria itu dengan sigap."Minggir kamu akan kuhabisi dia," ujarnya."Sebenarnya Kak Hamdan tak pantas berbuat begini, Mbak Aisyah bukan lagi anggota keluargamu," ujar Karm
Karena Mas Hamdan terus bersikeras marah,. Menuding dan tidak mau didamaikan, maka di sinilah sekarang kami berada, di kantor kepolisian dengan laporan penyerangan dan fitnah.Aku sudah menyuruh Irsyad untuk mengobati lukanya ke rumah sakit, sementara diri ini meluncur ke kantor polisi untuk memberikan laporan dan keterangan. Sebenarnya aku sangat malas berurusan dengan yang namanya kepolisian, tapi karena sikap Mas Hamdan sudah keterlaluan maka aku tidak bisa memaafkannya lagi.Di sana, di ruangan yang sama aku bertemu dengan pria yang sudah duduk di meja interogasi, dia diperiksa dan dicatat keterangannya.Usai pria itu memberi keterangan, giliranku yang duduk untuk melaporkan hal sebenarnya. Lalu tak lama kemudian Irsyad datang dan mengungkapkan keberatannya terhadap sikap Mas Hamdan."Saya sudah berusaha untuk pengertian dan menyelesaikan semua ini di tingkat RT tapi pria ini tetap saja bersikeras dan seakan ingin membunuh orang," ucap kawanku itu ketika kami dipertemukan dalam s
"Maaf, saya salah," ulangnya sekali lagi."Apa? Kami tidak dengar," ucapku kesal. Dia yang merasa dipermalukan makin geram."Aku sudah keliru dan terbawa emosi," sambungnya sambil menahan napas."Bagaimana ibu Aisyah, apakah ibu mau memaafkan?""Jangan penjara ayah Bund ...." Dari luar ruangan putriku menggigil dengan tangisannya, meski dia tahu seperti apa kelakuan ayahnya, tetap saja anakkku mencintainya dan membelanya Aku menjadi sangat dilema, ketika di satu sisi ingin memenjarakan Hamdan dengan segala kejahatannya, tapi di sisi lain tak tega rasanya melihat anakku menangis dan khawatir seperti itu."Iya, saya tak akan menuntut Ayahmu," ucap Irsyad. Dia mendekat dan menyentuh bahu Zahra dengan lembut, hingga anakku langsung terdiam dari tangisnya."Hei, jangan sentuh anakku!" Mas Hamdan berteriak."Tidak apa Pak, toh tidak mengganggu, Pak Irsyad hanya bermaksus menenangkan," ucap Pak Polisi."Saya mau memaafkannya, dengan satu syarat, bahwa mulai detik ini lagi dia tidak akan me
Hari itu, entah apa yang membuat Raihan anakku tiba tiba hadir, tanpa kuberitahu, dia sudah mengenakan pakaian abu abu sutra senada dengan gamisku, ada peci dan kain pinggang yang bersarung hingga ke lututnya. Dia memasuki tempat acara lalu menyalami aku dan irsyad secara bergantian."Selamat, Bunda, selamat Om," ucapnya dengan nada tulus, aku tak melihat sandiwara atau keterpaksaan di wajahnya, wajah dan gestur anakku nampak santai dan ringan."Terima kasih, Nak," jawabku menerima uluran tangannya. Masih dengan rasa heran yang menggelayuti hatiku, aku penasaran sekali kenapa tiba-tiba Raihan datang dan menunjukkan penerimaannya, tapi aku tidak terlalu membiarkan itu kentara, khawatir keheranan Itu akan menular kepada Mas Irsyad.Acara lamaran berlangsung khidmat hingga rangkaian prosesi selesai dilakukan dan tamu tamu berangsur pulang.Mas Irsyad juga mengikuti keluarganya pulang, setelah berpamitan padaku pria itu menaiki mobilnya dan pergi.Tinggallah aku dan keluargaku, juga an
Dia tak menjawab ucapanku tadi, mungkin tercengang, mungkin pula hatinya seakan ditembus tombak ucapan pedas sehingga butuh waktu untuk meresapi perihnya.Panggilan sudah kututup tapi Hamdan memanggil lagi, kutolak, namun ia memanggil dan terus membuatku kesal."Apa lagi!" kujawab tanpa salam karena kesal."Aiisy ...." Dia tak menjawab, tapi menangis sejadi jadinya. Mungkin seumur hidup tak pernah kulihat pria itu menangis sesenggukan macam itu, tapi sekarang dia sungguh terlihat lemah.Kadang, cinta itu menguatkan tapi dengan perhitungan salah serta kecerobohan cinta bisa jadi duri yang menghancurkan. Tadinya hidup Mas Hamdan bahagia, lurus dan damai, kedatangan wanita baru membuatnya berpaling. Lalu, setelah berpisah denganku dia masih menderita juga, berharap bisa menyatukan kami padahal sudah jelas api dan air tidak bisa berada di gelas yang sama."Apa ... kau menelponku hanya untuk memperdengarkan dirimu yang menangis?""Aku tidak punya kata kata, tolong berikan kesempatan andai
"apa-apaan ini Mas, apa kamu berencana untuk membangun rumah di hadapan garasiku?""Aku hanya berkemah untuk melindungi diri dari panas matahari dan hujan?"Ungkapannya terdengar konyol dan polos sekali, aku sampai tercengang!"Oh ya, aku terkesima mendengar jawabanmu yang terdengar innocent sekali, Mas," sindirku."Aku tidak sok Imut Aisyah, aku sedang berjuang," jawabnya santai."Oh ya, hmmm ..." Aku segera naik ke mobil dan berniat untuk pergi meninggalkan tempat itu secepatnya."Tumben pacarmu tidak menjemput!""Hmm, banyak urusan," gumamku sambil memutar bola mata."Mengapa wajahmu tidak senang, aku bicara kenyataan kan?" ujarnya sambil mengejekku, kurasa dia sengaja memancing emosi untuk mencari-cari cara bicara dengan diri ini. Sayang, aku tak punya waktu."Ya, kau bicara kenyataan. Sayangnya kekasihku adalah pria yang sangat sibuk mengurusi bisnis dan menata masa depannya. Dia tidak ada waktu untuk terus bersamaku lagi pulang terus bersama membuat kerinduan tidak berarti rasan